Magelang, Suara ‘Aisyiyah – Selama dua dekade terakhir, dinamika dakwah keislaman mengalami pergeseran otoritas keagamaan, dari otoritas lama (ulama) ke otoritas baru (non-ulama). Pergeseran yang muncul seiring dengan menguatnya populisme keagamaan ini memunculkan tantangan bagi institusi keagamaan, salah satunya adalah Muhammadiyah.
Ai Fatimah Nur Fuad, Dosen Fakultas Agama Islam Uhamka menjelaskan bahwa di antara penyebab pergeseran itu adalah: pertama, hadirnya sosial media sebagai media dakwah. Fenomena ini disebut sebagai mentalitas pasar keagamaan di era digital. Dari pihak da’i maupun dari pihak mad’u, sama sekali tidak ada unsur saling memaksa untuk dipatuhi dan mematuhi.
“Jadi mereka yang memberikan fatwa atau berdakwah umumnya tidak memiliki kekuatan untuk memaksakan kepatuhan kepada audiensnya, tetapi lebih mengandalkan kharisma, reputasi, dan the power of persuation,” ujarnya, Senin (23/5)..
Sebaliknya, individu muslim kini juga punya kemauan sendiri untuk memilih dan pengambil wacana, paham, dan praktik keagamaan yang menarik dan cocok bagi dirinya. Selebihnya, kata Ai Fatimah, akan diabaikan.
Kedua, muncul dan berkembangnya gerakan Islam transnasional. Banyak generasi muda lebih tertarik dengan isu-isu Islam di ranah global dan orientasi Islam internasional. Isu-isu ini, menurutnya, lebih menarik bagi generasi milenial ketimbang isu keislaman lokal atau nasional.
Ketiga, demokratisasi di Indonesia. Ai Fatimah menjelaskan, jika Muhammadiya-‘Aisyiyah punya komitmen yang kuat untuk berpartisipasi dalam demokrasi dan komitmen untuk modernizing Islam through process of democracy, sebaliknya, gerakan Islam baru seringkali menolak wacana dan praktik demokrasi karena dinilai tidak sesuai dengan visi keislaman mereka.
Kondisi seperti itulah yang akhirnya membuka ruang untuk mobilisasi agama atau populisme. Menurut dia, daya tarik populisme terletak pada gerakan kesalehan yang dilakukan. Kesalehan itu meliputi kesalehan sosial, solutif, berbasis kekeluargaan, dan yang menitikberatkan pada ketulusan.
Baca Juga: Beginilah Cara Berdakwah di Tengah Tren Populisme dan Evangelisme
Lalu, bagaimana Muhammadiyah mesti memposisikan diri? Dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah Ke-48 yang digelar di Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma) dengan tema “Memperkuat Dakwah Muhammadiyah di Tengah Populisme dan Evangelisme” itu, Ai Fatimah menyebut lima posisi dakwah Muhammadiyah.
Pertama, mengarusutamakan Islam moderat; kedua, menawarkan paham Islam inklusif yang mempunyai komitmen kebangsaan dan kemanusiaan; ketiga, konsolidasi demokrasi dan terus berkontribusi bagi umat dan bangsa; keempat, digitalisasi dakwah dan memperbarui strategi dakwah yang friendly untuk generasi muda, dan; kelima, memperkuat otoritas keilmuan atau keagamaan dan tradisi tabayun.
Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, kata Ai Fatimah melanjutkan, harus menjadi gerakan dakwah alternatif yang moderat dan tidak ekstrem di antara berbagai kecenderungan pemikiran atau gerakan yang ada. Dalam hal ini, Muhammadiyah punya potensi yang besar untuk memainkan peran tersebut.
Adapun strategi dakwah yang dapat digunakan Muhammadiyah adalah: pertama, berbasis tauhid. Tauhid, ujar dia, bukan hanya soal spiritualitas Islam, tetapi juga kesadaran beragama yang toleran, terbuka, dan berempati terhadap kemajemukan.
Kedua, mengedepankan keterlibatan aktif, berupa kesediaan berdialog dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. “Berbaur dalam agenda-agenda kebaikan atau kemanusiaan antar manusia, antar bangsa, antar peradaban,” papar Ai Fatimah.
Ketiga, berdampak jangka panjang. Alih-alih bersikap reaksioner terhadap isu-isu tertentu, Muhammadiyah sebaiknya menyebarkan ide-ide pemikiran dan gerakannya di media massa, artikel jurnal, buku, media sosial, atau melakukan internalisasi nilai dan ajaran Islam di pesantren, sekolah, dan amal usaha lainnya, yang semuanya itu mempunyai dampak panjang.
Keempat, bersifat substantif, bukan simbolik. Yakni dengan cara memahamkan kepada mad’u mengenai hakikat dan makna kebaikan bersama, tentang konsep khairu ummah yang melahirkan kemaslahatan universal. (sb)