Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Di bulan Ramadan Allah swt. “mengobral” ampunan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Allah membebaskan orang-orang yang berdosa dari neraka pada setiap malam bulan Ramadan. Kita tentu tidak tahu siapa di antara manusia yang telah ditetapkan sebagai penghuni neraka. Tetapi, atas ilmu dan kehendak-Nya, Allah membebaskan mereka yang banyak melakukan dosa dari jilatan api neraka. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah,
إذَا كَانَ أوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِرَمَضَان صُفِّدَتْ الشَّيَاطِيْنُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أبْوَابُ الجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِيْ مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ وَيَا بَاغِيَ الشَّرّ أقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
“Jika awal Ramadan tiba, maka setan-setan dan jin dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Sedangkan pintu-pintu surga dibuka, dan tidak satu pintu pun yang ditutup. Lalu ada seruan (pada bulan Ramadan); Wahai orang yang menginginkan kebaikan, datanglah. Wahai orang yang ingin melakukan kejahatan, tahanlah dirimu. Pada setiap malam Allah swt memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka.” (HR Tirmidzi)
Puasa bulan Ramadan adalah rentang waktu penebus dosa hingga datangnya bulan Ramadan berikutya. Rasulullah bersabda,
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَاُن إلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاةٌ مَا بَيْنَهُنَّ إذَاجْتَنَبَ اْلكَبَائِرَ
“Jarak antara salat lima waktu, salat Jumat dengan Jumat berikutnya dan puasa Ramadan dengan Ramadan berikutnya merupakan penebus dosa-¬dosa yang ada di antaranya, apabila tidak melakukan dosa besar.” (HR Muslim)
Puasa Ramadan bisa menebus dosa-dosa yang telah lewat, dengan syarat puasanya ikhlas. Rasulullah bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَان َإيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan karena iman dan mengharap balasan (pahala) dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari Muslim)
Menjalankan dengan penuh keimanan berarti menjalankan puasa Ramadan hanya karena Allah (Lillahi ta’ala). Menjalankan “karena Allah” berarti seseorang menjalankan puasa semata-mata karena perintah Allah dan Rasul-Nya. Sementara itu, saya sering memahami ihtisaban itu dengan “penuh dedikasi”. Artinya, menjalankan puasa itu tidak sekedar menahan lapar, dahaga dan tidak berkumpul dengan suami/istri, tetapi puasa juga menahan dari berbicara dusta, berbohong, menggunjing orang lain, marah tanpa kendali (bukan karena Allah) dan memandang lawan jenis dengan syahwat, serta mengisinya dengan amal kebaikan dan ibadah sosial lainnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ فَيَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah saw. gemar menghidupkan bulan Ramadan dengan anjuran yang tidak keras. Beliau berkata: ‘Barangsiapa yang melakukan ibadah (shalat tarawih/qiyamul-lail) di bulan Ramadan hanya karena iman dan mengharapkan ridha dari Allah, maka baginya diampuni dosa-dosanya yang telah lewat” (HR Muslim).
Begitu juga dengan qiyamul-lail atau salat tarawih. Ia mesti dilakukan dengan ikhlas, semata-mata karena ingin menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Ihtisaban artinya shalat yang dilakukan memberi bekas (atsar) dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Bahwa salat itu bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Semua inilah yang menjadikan Ramadan itu menjadi bulan penuh ampunan dari Allah. Wallahu a’lamu.