Tokoh

Buya Syafii, Pekerjaan Rumah Tangga dan Istri Tercinta

Buya Syafii Maarif

Oleh: Erik Tauvani Somae

Indonesia berduka atas wafatnya sosok Guru Bangsa, kader terbaik Muhammadiyah yang sederhana nan bersahaja, Buya Syafii Maarif. Jumat, 27 Mei 2022, empat hari sebelum ulang tahunnya yang ke-87, Buya berpulang ke haribaan Sang Pencipta hidup dan mati. Semua adalah milik-Nya dan pasti akan kembali kepada-Nya, cepat atau lambat.

Buya Syafii dikenal dekat dengan semua kalangan. Kedekatan itu dibangun di atas ketulusan yang autentik, tanpa kepalsuan, dan kepentingan individu. Kepribadian yang apa adanya, lapang dada, murah hati, dan ringan tangan adalah aktualisasi dari dirinya sebagai seorang ahli ibadah dan kader Muhammadiyah tulen yang sangat mencintai bangsanya. Kader Muhammadiyah, bagi Buya, harus memiliki wawasan kemanusiaan, keindonesiaan, dan keumatan yang melintas batas.

Sebelum mengenal Buya lebih dalam, pada mulanya saya merasa bahwa jarak sosial di antara kami begitu jauh, seperti langit dan bumi. Buya adalah orang besar, sementara itu siapalah saya ini. Namun setelah berkenalan dan tak lama berselang, runtuhlah sekat-sekat sosial itu dengan sendirinya karena egalitarianisme seorang Buya Syafii. Buya tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan status sosial. Baginya, semua adalah sama di hadapan Allah, yang membedakan hanyalah takwa.

Dalam Islam, kedudukan laki-laki dan perempuan yang setara didasarkan pada surat an-Nahl ayat 97. Perihal derajat sosial manusia di hadapan Allah berdasarkan ketakwaannya dipertegas dalam surat al-Hujurat ayat 13. Takwa dalam ayat ini juga dijabarkan dengan makna takwa dalam konteks tegaknya keadilan untuk semua golongan, termasuk laki-laki dan perempuan. Bersikap adil, sebagaimana tersebut dalam surat al-Maidah ayat 8, lebih dekat kepada takwa.

Sikap Buya terhadap isu kesetaraan tak lepas dari kerangka di atas. Hal yang menarik dari Buya tentang isu ini adalah justru bukan hanya dalam ranah wacana semata, namun mewujud dalam kehidupan nyata sehari-hari secara genuine. Hal ini dapat kita simak dalam kisah dan kesan kehidupan Buya dalam rumah tangga, khususnya perlakuannya terhadap istri tercinta, Nurkhalifa (Ibu Lip).

Pekerjaan Rumah Tangga

Buya Syafii sejatinya adalah sosok yang mandiri. Setiap pekerjaan diusahakannya sendiri tanpa merepotkan orang lain. Kepada siapapun, termasuk orang-orang terdekatnya, dalam hal pekerjaan sehari-hari ia enggan untuk dibantu. Selama pekerjaan itu bisa dilakukannya seorang diri, maka pantang baginya menyuruh orang lain.

Sikap hidup Buya Syafii yang egaliter juga tampak dalam rumah tangganya. Adalah hal yang lumrah bagi Buya dalam kehidupannya sehari-hari menyapu rumah, mengepel, mencuci piring, mencuci baju, menjemur, menyetrika, menyiram tanaman, belanja di pasar, memasak, dan sederet pekerjaan rumah tangga lainnya.

Buya pernah berkata supaya tubuh itu jangan dimanjakan. Apa yang Buya katakan itu sudah tentu menjadi aksioma karena itulah yang berlaku pada dirinya dalam kehidupan keseharian. Buya adalah sosok manusia yang antara ucapan dan tindakan tidak pecah kongsi. Hal ini menjadi salah satu alasan hingga dalam usia berkepala delapan ia tetap sehat dan kuat sebelum akhirnya berpulang.

Tentang kemandirian ini, Buya juga pernah berpesan agar hidup harus mandiri dan jangan menggantungkan nasib di pundak orang lain. Prinsip kemandirian inilah yang menjadikan Buya sebagai manusia merdeka. Merdeka dari ketergantungan terhadap orang lain. Buya lebih memilih hidup dari jerih payahnya sendiri meskipun banyak orang yang secara suka rela ingin membantunya.

Dalam beberapa kesempatan saya menemani Buya untuk berbagai acara, tas miliknya dipastikan dibawanya seorang diri. Berkali-kali saya menawarkan diri untuk membantu, tapi jawaban Buya tetap saja: “Saya masih bisa bawa sendiri!”. Tak hanya itu saja, terkadang saat Buya hendak bepergian dan mengabarkannya ke saya, tentu saya selalu menawarkan diri supaya bisa menemani Buya, tapi Buya jawabannya seringkali bisa ditebak: “Sudah ada yang menemani.” Maksudnya adalah ditemani oleh tongkat penuntun.

Banyak kisah tentang kemandirian dan kesederhanaan seorang Buya Syafii, tak terkecuali dalam urusan rumah tangga. Bersepeda di sekitaran kampung Nogotirto merupakan satu di antara aktivitas Buya sehari-hari. Sambil bersepeda, biasanya Buya juga belanja bahan pokok makanan ke pasar kecil di utara masjid, membeli obat di apotek, membeli sabun cuci di toko milik Pak Kusnadi di timur ujung lapangan, dan berbagai aktivitas orang biasa lainnya.

Baca Juga: Di Mata Perempuan Indonesia, Buya Syafii Maarif adalah Telaga Keteladanan yang Langka

Dengan bekal uang kertas yang digulung-gulung dan diikat dengan karet gelang itu Buya menghitung berapa rupiah yang dikeluarkan dalam setiap belanjaan. Tak jarang uang itu dilebihkan untuk si penjual supaya senang. Buya memang bukan tipe orang yang mengiba pada orang lain, tapi rasa haru itu mudah sekali muncul dalam dirinya saat melihat orang lain membutuhkan namun di saat yang sama mau berusaha dan bekerja keras.

Setelah urusan belanja bahan pokok makanan selesai, maka urusan memasak pun tak lepas dari tangan dinginnya. Seperti halnya Ibu Lip, Buya pun pandai memasak dan masakan orang kampung Sumpur Kudus itu sungguh enak. Urusan memasak memang bergantian, kadang Ibu, kadang Buya. Suka-suka. Yang jelas, pedasnya harus terasa. Mencuci pakaian, menjemur, dan urusan sejenisnya juga dikerjakan secara mandiri.

Istri Tercinta

Rasa cinta Buya kepada istrinya, Nurkhalifa, begitu kuat. Hingga malam terakhir sebelum kepergiannya, sebagaimana cerita ibu, Buya sempat menggenggam telapak tangan ibu kuat-kuat dan cukup lama. Namun yang mengesankan sebagaimana kisah kemandirian Buya dalam kehidupan sehari-hari adalah kenyataan bahwa ia tak ingin merepotkan istrinya.

Kita kerap kali menyaksikan dan mengalami bahwa Buya menerima tamu-tamunya di masjid Nogotirto yang hanya berselang satu rumah dari kediamannya. Selain lebih leluasa dan terbuka, pun ternyata Buya tak ingin tamu-tamunya ini akan merepotkan Ibu Lip yang juga telah sepuh (lansia-red).

Bagi ibu barangkali tak jadi soal melayani tamu dengan sebaik-baiknya karena itulah ajaran agama dan budaya kita, namun Buya tak tega jika ibu harus pontang-panting karena jumlah tamu tak sedikit yang datang setiap harinya. Maka sebagian tamu boleh disambut di rumah, tapi sebagian lagi mesti disambut di masjid.

Sesibuk-sibuknya Buya, ia tetap mengerjakan pekerjaan rumah sendiri tanpa merepotkan orang lain, bahkan istrinya sendiri. Hal ini bukan semata-mata karena faktor urusan pribadi, tapi lebih karena rasa cinta yang diwujudkan dengan kebaikan nyata kepada orang yang dicintainya. Buya telah memecah sekat sosial dan kultural yang membatasi kiprah perempuan hanya sebagai konco wingking (teman belakang).

Meskipun kini Buya telah tiada, namun ia meninggalkan legacy (warisan) tentang karakter dan sikap hidup yang didasarkan pada ajaran agama dengan pemahaman yang berkemajuan dan hati yang tulus. Dalam konteks paling sederhana di rumah tangga, Buya telah mendudukkan status laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara dan adil.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Selamat jalan, Buya. Namamu harum beriringan dengan setiap amal baik yang telah engkau ukir selama hidup di dunia yang fana ini.

Related posts
Berita

Berdiang di Perapian Buya Syafii: Mengenang Dua Tahun Wafatnya Syafii Maarif

Bantul, Suara ‘Aisyiyah – Dalam rangka memperingati dua tahun wafatnya Buya Syafii Maarif, SaRanG Building bekerja sama dengan MAARIF Institute dan Anak…
Berita

Kenang Satu Tahun Wafatnya Buya Syafii, Pascasarjana UMY Gelar Sarasehan

 Bantul, Suara ‘Aisyiyah – Dalam rangka memperingati satu tahun wafatnya Ahmad Syafii Maarif, Program Studi Doktor Politik Islam-Ilmu Politik, Program Pascasarjana, Lembaga…
Berita

Wirid Kebangsaan: Mengenang Setahun Wafatnya Buya Syafii Maarif

Bantul, Suara ‘Aisyiyah – Dalam rangka mengenang satu tahun wafatnya Buya Syafii, MAARIF Institute bekerja sama dengan Sarang Building dan Anak Panah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *