Umat Islam Indonesia berduka. Pada 2 Januari 2020 silam, Ketua Muhammadiyah yang sekaligus Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Yunahar Ilyas, menghembuskan nafas terakhir di usianya yang ke-64. Buya Yun, begitu beliau kerap dipanggil, dikenal sebagai ulama yang mempunyai kedalaman ilmu agama dan wawasan yang luas. Sebagai bentuk penghormatan, Suara ‘Aisyiyah menampilkan profilnya.
Jejak Keilmuan
Lahir di Bukit Tinggi pada tanggal 22 September 1956, Yunahar Ilyas tumbuh menjadi laki-laki yang taat beragama. Hal ini tidak terlepas dari peran kedua orangtuanya, H. Ilyas dan Hj. Syamsidar.
Memulai karier intelektual di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol (1984) dan Fakultas Ushuluddin Universitas Ibn Saud, Saudi Arabia, Yunahar melanjutkan jenjang pendidikannya di UIN Sunan Kalijaga. Gelar magister diraih pada tahun 1996, kemudian gelar doktor pada tahun 2003. Penguasaannya atas ilmu agama tidak perlu diragukan. Tahun 2004, putera Minangkabau ini diangkat menjadi Guru Besar Ilmu al-Qur’an oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Banyak karya tulis yang dihasilkan. Karya dalam bentuk buku misalnya Kuliah Aqidah Islam (1992), Feminisme dalam Kajian Al-Qur’an: Klasik dan Kontemporer (1997), Kuliah Akhlaq (2000), Kisah Para Rasul (2006), Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an (2006), dan Tipologi Manusia menurut Al-Qur’an (2007). Sejak tahun 1992, Yunahar rutin mengisi rubrik di Majalah Suara Muhammadiyah. Yunahar juga menjadi kontributor penulisan Tafsir At-tanwir oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Predikat Keulamaan
Buya Yun dikenal mempunyai jiwa dakwah yang tinggi. Metode dan materi dakwahnya dapat diterima oleh berbagai kalangan, sebab menggunakan bahasa yang lugas, sederhana, dan jelas. Materi berat semisal tafsir al-Qur’an di-sampaikan dengan santai dan tidak jarang diselingi dengan candaan. Penjelasan yang disampaian runtut, tertata, dan terutama tidak menghilangkan substansi ajaran berupa dalil-dalil yang kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan. Darinya, orang mudah memahami ajaran Islam dan tergerak untuk mengamalkan.
Pribadi, pengetahuan, dan kiprahnya di masyarakat me-nempatkannya sebagai sosok ulama yang dikagumi. Suara ‘Aisyiyah menghimpun beberapa predikat keulamaan yang disematkan kepada Buya Yun, Pertama, Ulama Benteng Akidah. Penjelasan soal akidah dalam buku Kuliah Aqidah Islam (1992) banyak dijadikan rujukan dan pegangan bagi umat Islam di Indonesia. Selain itu, baik di saat ceramah maupun ketika menanggapi isu-isu yang berkaitan dengan akidah, Buya Yun mempunyai sikap yang tegas.
Kedua, Ulama Moderat. Di antara yang menjadikan Buya Yun diterima oleh berbagai kalangan adalah, ketika menyelesaikan permasalahan, beliau menggunakan ragam perspektif. Tidak mudah menghakimi. Buya Yun biasanya mengurai persoalan terlebih dahulu, misalnya dengan mempertimbangkan aspek fenomena, akar permasalahan, dan sebagainya. Cara beliau bersikap dan mengurai permasalahan menunjukan bahwa beliau memegang nilai-nilai Islam Wasathiyah.
Ketiga, Ulama Gender. Sikap moderat Buya Yun juga tercermin dalam pandangannya terkait gender. Buya Yun merupakan ulama yang menempatkan peran laki-laki dan perempuan dalam tugas amar ma’ruf nahi munkar (Q.S. At-Taubah: 71), serta tanggung jawab sosial secara setara (Q.S. An-nahl: 125). Meskipun Buya Yun juga menegaskan ketika menjelaskan kisah Nabi Zakariya dalam Q.S. Ali Imran: 35-36, bahwa secara fisiologis dan psikologis, ada perbedaan di antara keduanya. Perhatian Buya Yun terhadap isu gender sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum umat Islam di Indonesia ramai membahas isu ini. Ini terbukti dari fokus tesis dan disertasinya.
Keempat, Ulama Indonesia Kaliber Dunia. Kedalaman ilmu agama Buya Yun sudah diakui dunia Internasional. Beberapa kali beliau diminta untuk memberi ceramah dan menyampaikan pandangan seputar isu-isu aktual di hadapan masyarakat dunia. Buya Yun merupakan salah satu ulama Indonesia yang terlibat dalam Forum Liga Muslim Sedunia (Rabithah Al-‘Alam Al-Islamy).
Selain empat predikat tersebut, selayaknya pribadi ulama yang lain, Buya Yun merupakan sosok yang bijaksana, tawa-dhu’, hati-hati dalam bertindak, berakhlak mulia, memberi contoh yang baik, dan ikhlas mengabdikan ilmunya untuk umat dan bangsa. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Buya Yun merupakan penerus jejak pembaharuan Haji Rasul, Syaikh Tahir Jalaluddin, Syaikh Jamil Jambek, dan Buya Hamka. Selamat tinggal, Buya Yun. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya, aamiin. (Sirajuddin)