- Menjelang Pemilu 2024, Suara 'Aisyiyah menyediakan ruang #pemilukita. Ruang ini kami buka agar masyarakat dapat bersama-sama mewujudkan pemilu yang substantif dan inklusif.
Pemilu akan kita songsong kurang dari 1 bulan lagi, tepatnya berlangsung 14 Februari 2024. Kontestasi politik kali ini diprediksi oleh para pengamat politik tidak akan lebih mudah dibandingkan Pemilu pada tahun 2019 lalu. Berbagai partai politik dan calon presiden yang akan “bertanding” di ajang lima tahunan ini memperebutkan suara melalui segala lini media baik media massa maupun melalui media digital. Tercatat riuh rendah Pemilu di tahun 2019 lalu sudah menghasilkan berbagai jenis berita hoaks, ujaran kebencian, yang menyebabkan polarisasi di tengah masyarakat yang multikultur. Tidak hanya itu, perubahan platform media yang semakin berkembang melalui teknologi informasi, memberi ruang kemudahan bagi kandidat dan tim kampanye termasuk buzzer untuk memproduksi sebanyak-banyaknya pesan pada dunia digital yang bisa saja tidak selalu positif, melainkan berakibat kebisingan dan gangguan dalam dunia digital.
Media Sosial dan Keintiman Bermedia
Media sosial dapat disebut sebagai “media keintiman.” Istilah ini lebih cocok digunakan untuk menggambarkan komunikasi dan interaksi yang terjadi melalui media sosial.
Ada beberapa alasan mengapa sosial media bisa dianggap sebagai bentuk media keintiman di antaranya: pertama, media sosial memungkinkan individu untuk terhubung dengan teman, keluarga, atau kolega secara virtual. Individu dapat membagikan pemikiran, foto, video, dan pengalaman mereka dengan orang-orang yang mereka kenal secara personal. Dalam hal ini, media sosial membantu mempertahankan dan memperluas jaringan sosial individu. Kedua, media sosial menyediakan platform yang memungkinkan komunikasi langsung antara individu. Dengan adanya pesan langsung, komentar, atau obrolan grup, individu-individu dapat berinteraksi secara real-time, berbagi informasi, dan bertukar pendapat. Tentu saja hal ini menciptakan rasa keintiman karena pesan-pesan ini dianggap lebih pribadi daripada publikasi atau komunikasi masal.
Hal lain yang juga menarik, pengguna media sosial dapat membagikan cerita, peristiwa, dan momen dalam hidup individu secara rinci. Dalam beberapa kasus, mungkin membagikan hal-hal yang pribadi dan intim. Dengan mengunggah konten yang mendalam dan personal, individu menciptakan ikatan emosional dengan audiens mereka. Meskipun media sosial memberikan platform untuk memperluas jaringan sosial dan terhubung dengan orang-orang, penting untuk diingat bahwa tingkat keintiman yang terbentuk melalui sosial media berbeda dari interaksi langsung dalam kehidupan sehari-hari. Media sosial tidak dapat sepenuhnya menggantikan hubungan pribadi secara langsung. Hal inilah yang memungkinkan adanya sikap-sikap yang perlu disadari oleh para penggunanya.
Kembali kepada kontestasi politik di media sosial. Ketika keintiman melalui media sosial terjadi, maka dapat dilihat semakin maraknya berbagai konten media yang mempopulerkan dan mengkampanyekan figur-figur politik tertentu. Hadirnya media sosial secara langsung mempermudah berbagai unggahan ajakan memilih calon presiden tertentu. Inilah yang agaknya membuat kontestasi politik pilihan presiden sejak 2014 semakin bising dengan berbagai pesan buruk, kampanye hitam, dan unggahan kebencian. Platform media sosial yang dapat diakses melalui genggaman gawai membuat para pengguna media sosial dapat mengakses sembari melakukan hal-hal lain, seperti tidur-tiduran, makan-minum, mendengarkan musik-radio inilah yang membuat proses mencerna pesan secara utuh dapat terdistraksi. Setidaknya itu yang menjadikan fast thinking terjadi.
Fast thinking atau pemikiran cepat merujuk pada kemampuan seseorang untuk melakukan pemrosesan informasi secara cepat dan membuat keputusan dengan cepat berdasarkan intuisi atau penilaian instan. Istilah ini populer dikembangkan oleh psikolog Daniel Kahneman dalam teori yang ia sebut “Sistem 1 dan Sistem 2”. Menurut Kahneman, Sistem 1 adalah pemikiran cepat dan intuitif yang cenderung otomatis dan tidak memerlukan usaha kognitif yang besar. Ini melibatkan proses yang cepat, tidak sadar, dan berorientasi pada pengenalan pola. Sistem 1 berguna dalam situasi-situasi di mana respons instan dan keputusan cepat diperlukan.
Baca Juga: Kebebasan Netizen dan Etika Media Sosial
Sementara itu, Sistem 2 adalah pemikiran lambat dan reflektif yang melibatkan pemrosesan informasi yang lebih terfokus dan usaha kognitif yang lebih tinggi. Ini melibatkan pemikiran analitis dan berorientasi pada pemecahan masalah yang lebih mendalam. Daniel Kahneman bersama dengan rekan penulisnya Amos Tversky, menyelidiki dan mengembangkan konsep sistem pemikiran cepat dan lambat dalam konteks pengambilan keputusan. Karya mereka telah memberikan wawasan yang berharga dalam psikologi kognitif dan ekonomi perilaku. Kahneman dalam bukunya yang terkenal, “Thinking, Fast and Slow,” (2012) menerangkan konsep ini secara rinci dan menggambarkan bagaimana pemikiran cepat dan lambat memengaruhi pengambilan keputusan kita sehari-hari.
Penggunaan media sosial dapat memengaruhi pemikiran cepat (fast thinking) dalam beberapa cara, di antaranya pengaruh berita cepat, sosial media menyediakan akses instan ke berita dan informasi. Ini dapat memengaruhi pemikiran cepat kita dengan memberikan aliran informasi yang terus-menerus dan memungkinkan kita untuk meresponsnya dengan cepat. Namun, karena informasi di media sosial dapat tersebar dengan cepat dan seringkali belum diverifikasi sepenuhnya, ada risiko mengambil keputusan berdasarkan informasi yang belum terbukti kebenarannya atau mengandalkan klaim yang tidak diverifikasi.
Hal ini juga memicu respons emosional cepat. Interaksi di media sosial seringkali berlangsung dalam waktu nyata, termasuk tanggapan cepat seperti like, komentar, atau emoji. Ini dapat memengaruhi pemikiran cepat kita dengan merangsang reaksi emosional yang instan terhadap unggahan atau konten yang kita lihat. Reaksi emosional yang cepat dapat memengaruhi persepsi kita terhadap suatu topik atau orang tanpa melibatkan pemikiran yang mendalam. Tentu saja efek yang dapat terjadi ialah, adanya bias konfirmasi.
Media sosial seringkali memperkuat bias konfirmasi di mana kita cenderung mencari informasi yang mendukung pandangan atau keyakinan yang kita miliki. Karena pemikiran cepat cenderung mencari pemahaman yang instan, kita mungkin cenderung mengabaikan informasi yang bertentangan dengan pandangan kita. Hal ini dapat memengaruhi cara kita memproses informasi di media sosial dan membuat keputusan dengan cepat berdasarkan bias konfirmasi. Penting untuk diingat bahwa penggunaan media sosial tidak selalu berdampak negatif pada pemikiran cepat. Namun, kita perlu waspada terhadap potensi efek negatifnya dan melibatkan pemikiran lambat (slow thinking) dalam mengonsumsi dan mengevaluasi informasi yang ditemukan di media sosial. Mengambil waktu untuk memverifikasi informasi, menghadapi berbagai sudut pandang, dan menjaga sikap skeptis dan kritis dapat membantu meminimalkan pengaruh negatif pada pemikiran cepat kita.
Mencegah Fast thinking dan Polarisasi di Media Baru
Keterbelahan atau polarisasi di media sosial karena politik identitas bisa menjadi masalah serius jelang pemilu. Tidak hanya karena tumpah ruahnya berbagai informasi dalam ruang digital, namun juga karena cara kita semua sebagai individu menggunakan media sosial sehari-hari. Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah keterbelahan ini.
Pertama, membangun kesadaran akan sumber informasi yang dipercayai. Penting untuk memastikan bahwa informasi yang dibagikan dan diterima adalah fakta yang dapat dipercaya. Membangun kesadaran akan sumber informasi yang dipercayai dapat membantu mengurangi penyebaran informasi palsu atau hoaks yang dapat memperburuk keterbelahan.
Baca Juga: Hukum Memilih untuk Tidak Memilih
Kedua, hendaknya individu selalu menyadari ruang digital meskipun menjadi tempat bertukar informasi, namun interaksi dalam dunia nyata sangat penting untuk menjaga kewarasan kita sehari-hari. Untuk itulah menjalin dialog yang terbuka dan bermakna dengan berbicara secara terbuka dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda dapat membantu mengurangi keterbelahan. Menciptakan ruang dialog yang aman dan terbuka di mana orang dapat saling mendengarkan dan memahami pandangan masing-masing dapat membantu mengurangi kecenderungan untuk membatasi diri pada kelompok yang sependapat.
Ketiga, individu perlu menghindari stereotip dan generalisasi. Seringkali, keterbelahan terjadi ketika orang mempersempit pandangan mereka dengan mengandalkan stereotip dan generalisasi. Penting untuk menghindari stereotip dan generalisasi yang mengurangi kompleksitas dan keragaman pandangan.
Keempat, kita perlu menghargai pandangan yang berbeda. Meskipun pandangan orang lain mungkin tidak selalu sejalan dengan pandangan pribadi, penting untuk tetap menghormati pandangan orang lain. Ini bisa membantu membangun kesadaran dan pengertian yang lebih baik, yang dapat membantu mengurangi keterbelahan.
Kelima, dunia digital yang sangat mengandalkan kerja-kerja algoritma –pengkodean angka-angka untuk mengarahkan kecenderungan pencarian pesan pengguna– maka akan lebih sulit untuk mendapatkan pesan yang berbeda apabila kita tidak berusaha keluar dari pencarian pesan yang kita percayai. Fenomena ini sering disebut sebagai echo chamber (ruang yang terdengar gema, dari suara yang kita ciptakan sendiri).
Untuk itulah penting untuk mencari tahu dan memahami pandangan yang berbeda baik di dunia nyata maupun digital. Mencari tahu dan memahami pandangan yang berbeda dapat membantu membuka pikiran dan melihat berbagai sudut pandang yang ada. Hal ini dapat membantu mengurangi keterbelahan dengan mengurangi kecenderungan untuk mempersempit pandangan hanya pada satu sudut pandang atau kelompok. Dengan mengambil langkah-langkah ini, kita dapat membantu mencegah keterbelahan di media sosial karena politik identitas dan membangun kesadaran dan pemahaman yang lebih baik di antara kelompok yang berbeda.
NB: tulisan ini terbit di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Juni 2023. Dimuat ulang dengan beberapa perbaikan tanpa mengubah substansi.
* Peneliti LPPA dan Dosen Media dan Budaya Digital UMY