Oleh: Muhammad Ridha Basri
Judul : Hamka dan Islam, Reformasi Kosmopolitan di Dunia Melayu
Penulis : Khairudin Aljuneid
Penerjemah : Aditya Pratama
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan : I, November 2021
Tebal, ukuran : xvi + 238 hlm, 15 x 23 cm
ISBN : 978-602-6268-94-5
Abad ke-20, umat Islam di Tanah Melayu sedang memasuki fase baru. Di satu sisi, kolonialisme Barat telah banyak menguras sumber daya alam, memperparah keterbelakangan, dan kemiskinan pribumi yang mayoritasnya umat Islam. Sisi lain, kedatangan Barat diklaim membawa misi pemberadaban, menawarkan ide kosmopolitan, pencerahan, revolusi industri, globalisasi, modernisasi, dan sekularisasi ala Eropa Barat. Kegemilangan Barat saat itu dipengaruhi oleh berbagai karya peradaban Muslim yang pernah berjaya pada abad ke-8 hingga ke-14, lalu menyelinap ke Barat melalui Spanyol dan Sisilia.
Situasi berbalik yang membuat ketertinggalan umat Islam dari Barat, kata Bernard Lewis, telah melahirkan kemarahan pada Barat. Rasa luka dan kemarahan itu kadang ditunjukkan dengan sikap ekstremis-fundamentalis. Ekspresi lainnya ditunjukkan dalam sikap anti terhadap semua produk dan gagasan yang datang dari Barat. Ekspresi lainnya berupa sikap ingin membuktikan bahwa Islam lebih unggul dari Barat, Islam merupakan agama sempurna dan menjadi satu-satunya solusi, Islam diklaim sebagai agama yang mengatur semua urusan dunia dan akhirat. Mereka memperjuangkan Islam sebagai suatu ideologi negara untuk mengatur semua urusan.
Ada pula yang ingin mengadopsi semua pemikiran Barat guna mencapai kemajuan. Lainnya, ingin umat Islam mencari jalan sendiri untuk menentukan nasib mereka sendiri. Pencarian identitas diri ini melahirkan gesekan ideologi di Tanah Melayu pada dekade awal abad ke-20. Ketika penjajahan berakhir, mereka berbeda pandangan tentang ideologi negara.
Di internal umat Islam, mereka berbeda strategi mengejawantahkan Islam dalam suatu negara bangsa modern yang majemuk: apakah diwujudkan dengan formalisasi negara Islam atau cukup dengan membumikan nilai substansi Islam dalam kehidupan bernegara. Di luar itu, ada pertentangan tradisionalisme dengan modernisme, salafisme dengan reformisme, sufisme dengan puritanisme, liberalisme dengan konservatisme, nasionalisme dengan chauvinisme, dan seterusnya.
Baca Juga: Buya Hamka dan Muhammadiyah Menjelang 40 Tahun
Hamka berada di tengah pusaran persengketaan itu, menyadari bahwa melarikan diri bukanlah solusi. Hamka gelisah dengan polemik dan perpecahan umat Islam yang tidak pernah usai. Ia ingin umat Islam mengejar ketertinggalannya dan membangun suatu peradaban baru dengan landasan yang kokoh. Aljuneid menemukan bahwa Hamka mengambil posisi elegan dalam merekonstruksi alam pikiran umat Islam di Tanah Melayu, yaitu melakukan: reformasi kosmopolitan. Hamka dengan kecerdasannya berhasil meramu berbagai mazhab pemikiran yang telah ada, mengambil saripati gagasan terbaik dari berbagai penjuru, kemudian melahirkan suatu gagasan otentik.
Buku ini menunjukkan bahwa pemikiran Hamka sangat kompatibel dengan corak keislaman di Nusantara. Ia menekankan pada kesederhanaan, yang dipahami sebagai sikap tengahan, tidak berlebih-lebihan, tidak ekstrem dalam segala urusan. Dari posisi moderat inilah Hamka memandang semua persoalan secara proporsional. Misalnya, tentang pertentangan kelompok Islam yang mendewakan akal rasional dan pengetahuan empiris dengan kelompok yang mendewakan wahyu dan pengetahuan mistis.
Hamka mengapresiasi akal yang berpedoman bahwa pengetahuan dapat diperoleh dengan akal, tetapi akal punya batasan. Hamka menggemari salah satu karya filsuf Muslim, Ibnu Thufail, berjudul Hayy bin Yaqzan, yang menceritakan tentang seorang laki-laki yang terdampar di suatu pulau. Tanpa bantuan Nabi dan kitab suci, laki-laki itu seorang diri berusaha menemukan kebenaran sejati melalui akal dan panca inderanya. Hamka menyakini bahwa akal dapat menemukan kebenaran, tetapi akal masih perlu dibimbing oleh wahyu.
Kalangan sufi menolak akal dan bergantung pada pengetahuan irfani semata. Hamka mengupayakan penggabungan akal dan hati melalui tasawuf modern. ia menyakini bahwa pengetahuan intuisi masih berguna di tengah kehidupan modern-sekuler. Menurut Hamka, tasawuf berguna untuk memperbaiki budi manusia supaya terhindar dari hawa nafsu yang tidak terkendali. Memang, ada aliran tasawuf tertentu yang dinilai melenceng, seperti mengharamkan yang dihalalkan Allah, tidak mau mencari rizki dan menyibukkan diri dengan khalwat. Sikap eskapisme seperti ini, ungkap Hamka, akan melemahkan umat Islam.