AnakWawasan

Cara Membangun Kedisiplinan Pada Anak

Membangun Kedisiplinan pada Anak
Membangun Kedisiplinan pada Anak

Membangun Kedisiplinan pada Anak

Oleh: Budi Santosa, S.Psi.,MA

Disiplin adalah pilar keberhasilan dalam segala hal. Semua aspek kehidupan, mulai dari ibadah, muamalah, dan berbagai bentuk prestasi lain akan sangat ditentukan oleh karakter kedisiplinan diri. Kedisiplinan merupakan kunci dari kesuksesan, dunia dan akhirat. Kedisiplinan tidak dilahirkan menyertai seorang bayi. Kedisiplinan merupakan aspek kepribadian yang ditentukan keberadaannya dalam proses pembelajaran seorang manusia dalam perjalanan hidupnya.

Istilah disiplin berasal dari bahasa Latin: “disciplina”, yang memiliki makna mendidik, membimbing, dan belajar. Dengan demikian, ketika kita bermaksud mendisiplinkan anak, maka seharusnya kita mendidik anak dengan memberikan bimbingan agar anak belajar untuk mampu bertindak, berperilaku, atau bertabiat sebagaimana yang semestinya. Apabila disiplin sudah terinternalisasi dalam diri anak, menjadi disiplin diri (inner-discipline) maka anak akan mampu membimbing/mengontrol diri untuk selalu menghindar dari perbuatan yang tidak baik.

Disiplin Bukan Hubungan antara Kesalahan dan Hukuman

Anak memiliki kemampuan asosiatif.  Semuda apapun anak, mereka sudah memiliki kemampuan mengaitkan atau mengasosiasikan perilakunya dan konsekuensi yang menyertainya. Apabila dalam mendidik orang tua menggunakan pendekatan reward-punishment untuk membentuk kedisiplinan anak, maka konsekuensi-konsekuensi tersebut yang akan menjadi alasan dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku. Jadi dalam menanamkan disiplin bukanlah hukuman yang ditekankan, melainkan konsekuensi.

Kedisiplinan secara eksternal akan terlihat dalam bentuk kebiasaan atau ketertiban mematuhi suatu aturan. Dalam hal ini orang tua terkadang salah memahami dan salah menerapkan pembentukan disiplin pada diri anak. Sering orang tua cenderung menerapkan metode hukuman (punishment) untuk menangkal atau menghilangkan kebiasaan yang tidak baik. Sebagai contoh, agar anak tidur tidak terlalu larut malam maka orang tua memberikan hukuman kepada anak, misalnya sekadar memarahi anak atau bahkan dengan bentuk hukuman fisik.

Sebaiknya orang tua menghindari hukuman jika hendak mendisiplinkan anak. Hukuman cenderung bersifat: hanya berorientasi pada orang tua, menggunakan pendekatan kekuasaan/otoritas, memunculkan rasa benci dan amarah, serta perasaan negatif lainnya. Dengan kata lain hukuman cenderung lebih bersifat destruktif apabila dimaksudkan untuk membentuk kedisiplinan pada diri anak.

Hukuman hanya memfokuskan permasalahan pada kesalahan. Hukuman selalu berasosiasi dengan kesalahan. Oleh karena itu, anak yang mendapatkan hukuman atas suatu perbuatan, maka dia akan menaruh fokus pada penilaian bahwa perbuatannya salah, dan bahwa dirinya salah. Selain itu hukuman seringkali dilakukan dalam bentuk ketidaknyamanan psikis, yaitu berbagai bentuk perasaan/emosi negatif, kadang juga fisik. Selain itu, hukuman juga cenderung menjauhkan anak untuk menyadari tindakan/perilakunya.

Ketika anak mendapatkan hukuman, maka anak bisa saja mengingkari kesalahannya, atau menyalahkan situasi atau pihak lain. Meskipun seandainya dapat memunculkan perilaku yang diharapkan, tetap saja hukuman adalah harga mahal yang harus dibayar. Oleh karenanya, sebisa mungkin dihindari.

Jika yang dimaksud dengan kedisiplinan adalah kepatuhan tanpa syarat pada otoritas pada waktu yang sesaat, maka hukuman merupakan pilihan pertama. Namun apabila kedisiplinan dimaknai sebagai bentuk kekuatan internal untuk mematuhi aturan yang ada (inner-discipline), maka ‘penyadaran’ adalah kata kuncinya. Anak menyadari manfaat dari aturan yang ada, dan bertanggungjawab untuk melaksanakannya, serta kesiapan untuk menerima konsekuensi jika tidak mengikutinya. Hukuman tidaklah efektif, karena hukuman akan membangun pesan otoritas orang tua, dan menekan pertumbuhan rasa tanggung jawab.

Disiplin Bukan Hubungan Barter Imbalan

Banyak orang tua menguatkan kebiasaan baik pada anak dengan cara memberikan berbagai bentuk imbalan (reward), misalnya hadiah, atau sekadar pujian. Contoh lain adalah orang tua menjanjikan akan memberikan sesuatu yang disukai anaknya apabila nilai sekolahnya baik. Imbalan, meski tidak sejelas hukuman, juga relatif bersifat destruktif bila tidak diiringi dengan penjelasan dan pembinaan. Imbalan dengan berbagai bentuknya dapat memunculkan pesan pada anak bahwa kebaikan atau perilaku baik dapat dibeli atau dibarter. Anak juga akan melakukan kebaikan ketika ada imbalan.

Namun demikian tidak berarti bahwa perilaku positif tidak boleh mendapatkan respon positif. Untuk menghindari hal demikian, respon positif sebaiknya diberikan dalam bentuk apresiasi. Apresiasi adalah berbagai bentuk respon terhadap perilaku yang diberikan secara tulus, apa adanya, dan sebisa mungkin menggunakan konsekuensi alami, misalnya dengan menunjukkan bahwa orang yang telah dibantu sangat bahagia. Imbalan atau reward akan bisa berfungsi baik bila disertai dengan proses penyadaran dan pembimbingan.

Disiplin adalah Hubungan antara Aturan, Perbuatan, dan Konsekuensi

Disiplin selalu berkenaan dengan kebiasaan, ketertiban, dan keteraturan menjalani suatu aturan. Seorang anak yang memiliki disiplin dalam menjalankan salat, tentu akan memiliki dorongan yang sangat kuat untuk melaksanakan salat sesuai dengan yang seharusnya. Dia selalu berusaha melaksanakan  salat dengan baik dan benar, serta tepat waktu, meski ada kegiatan lain yang sedang dikerjakan. Seorang anak dikatakan memiliki disiplin dalam berlalu-lintas, jika ia mematuhi aturan lalu-lintas, meski tidak ada polisi dan dalam keadaan terburu-buru.

Sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pendidikan anak, orang tua memiliki tanggung jawab atas perkembangan karakter kedisiplinan pada diri anak. Orang tua dalam mendisiplinkan anak harus fokus pada tujuan supaya anak menyadari sepenuhnya bahwa mereka memiliki kuasa penuh atas perilakunya dan bertanggung jawab penuh untuk membuatnya menjadi lebih baik.

Disiplin berkenaan dengan cara menghadapi realitas situasi, bukannya kekuasaan atau kendali orang tua terhadap anak. Membangun kedisiplinan pada anak adalah mendidik dan membimbing anak untuk membangun inner-discipline. Strategi orang tua dalam membangun kesadaran anak untuk berdisiplin dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, menunjukkan pada anak mengenai apa yang seharusnya dilakukan. Kedua, memberi kesempatan pada anak untuk menghadapi suatu masalah sejauh mereka dapat menanganinya. Ketiga, memberikan berbagai alternatif untuk mengatasi suatu masalah. Empat, tetap sepenuhnya menjaga martabat. Khusunya pada anak, keempat hal tersebut tidak dapat dicapai dengan cara menghukum.

Konsekuensi yang Efektif

Pada prinsipnya, konsekuensi yang paling efektif adalah yang bersifat alamiah. Orang sudah pasti akan menghindari menyentuh api, ketika merasakan bahwa terbakar api adalah sakit. Anak akan suka es krim ketika telah merasakan es krim, dan lezat rasanya. Meski paling efektif membentuk perilaku, namun terkadang konsekuensi demikian bersifat membahayakan, atau tidak hadir dengan segera. Apabila demikian, maka perlu untuk menerapkan konsekuensi logis.

Yang dimaksud dengan konsekuensi logis adalah akibat yang mengikuti suatu perilaku/tindakan yang memiliki hubungan logis sebab-akibat, namun keterkaitan tersebut muncul karena aturan. Sebagai contoh apabila si Fulan yang baru usia empat tahun memecahkan gelas, maka akan berbahaya apabila dia harus memberesi pecahan gelas tersebut, sebaiknya dia diminta untuk mengambil sapu, dan memegangi kantong tempat sampah saja. Kita juga tidak bisa mengatur anak kita yang berusia enam tahun untuk mencuci baju dan menyeterika sendiri, yang lebih logis adalah kita berharap dia dapat menjaga kerapihan baju di almari ketika dia mengambil salah satunya. Beberapa hal berkait dengan penerapan konsekuensi antara lain sebagai berikut.

Pertama, konsekuensi logis tersebut harus berupa tanggung jawab, bukannya suatu bentuk hukuman. Si Fulan sebaiknya tidak dimarahi karena menjatuhkan gelas, tapi diberi penjelasan yang proporsional, dan apa yang harus dilakukan selanjutnya adalah suatu bentuk tanggung jawab, bukannya hukuman. Kedua, konsekuensi harus mudah dipahami. Pastikan bahwa konsekuensi tersebut masuk akal bagi si anak, bukannya bagi orang tua. Oleh karenanya menentukan aturan mengenai konsekuensi harus melibatkan anak.

Ketiga, konsekuensi harus bernilai. Anak harus menangkap nilai pembelajaran keterkaitan antara perbuatan dan konsekuensi yang harus ditanggungnya. Dengan demikian, anak akan dapat memahami perlu atau tidaknya, boleh tidaknya perilaku tersebut dilakukan kembali di kemudian waktu. Maka menegakkan aturan harus dipastikan anak memahami dan menerimanya. Keempat, konsekuensi harus bersifat praktis. Apa yang harus dilakukan anak sebagai konsekuensi dari perbuatannya sebaiknya berupa kegiatan yang mendukung pengembangan dirinya. Bukan sesuatu yang dapat merusak mental dan menjatuhkan harga diri anak.

Anak adalah “Pengamat Sosial”

Anak merupakan makhluk yang memiliki potensi belajar luar biasa. Salah satu potensi belajar anak yang paling kuat adalah belajar-sosial (social learning). Harus selalu diingat bahwa anak adalah “pemerhati sosial” yang handal. Anak dapat mengambil kesimpulan hanya dengan mengamati perilaku orang lain (terutama pada orang tua), tanpa harus mengalami sendiri. Bahkan peniruan dapat dilakukan oleh anak tanpa alasan logis yang memadai, apa yang biasa disebut sebagai imitasi. Oleh karena itu, sehebat apapun metode dan teknik yang diterapkan, akan tidak ada gunanya apabila lingkungan pada umumnya, dan orang tua pada khususnya tidak memberikan teladan yang selaras dengan yang kita ajarkan kepada mereka.

Hal ini juga berarti bahwa dalam membangun kedisiplinan pada diri anak, konsistensi merupakan syarat mutlak untuk dapat berhasil. Konsistensi yang harus dijaga adalah konsistensi antar waktu dan konsistensi antar orang. Aturan tidak boleh ada pengecualian tanpa penjelasan logis dari “kaca mata” anak. Apabila orang tua mengatur agar anak tidak banyak bermain HP, padahal orang tua sering terlihat menggunakan HP maka sudah pasti anak akan menangkapnya: “boleh menggunakan HP”.

Membangun kedisiplinan acap kali mengalami kendala pada permasalahan ini. Setiap pihak yang menjadi agen pembangunan kedisiplinan pada anak harus memiliki pemahaman dan arah kebijakan yang sama, baik antar kedua orang tua, juga kakek-nenek, apabila memiliki hubungan yang relatif intensif dengan anak. Posisi serupa juga terjadi antar lingkungan, lingkungan keluarga sebaiknya juga mendapatkan lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah yang selaras.

Related posts
AnakPendidikan

Hak Pendidikan bagi Anak pada Situasi Darurat

Oleh: Diyah Puspitarini* Kejadian kerusuhan yang terjadi di Pulau Rempang pada 7 September 2023 lalu telah berdampak, terutama pada anak-anak yang berada…
Berita

Masa Depan Dunia di Tangan Anak, Abdul Mu’ti Sebut Tiga Pihak yang Bertanggung Jawab pada Anak

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyebutkan bahwa masa depan dunia ada di tangan anak. Hal…
Anak

Membawa Anak ke Masjid, Salahkah?

Oleh: Aninda Khairunnisa Sudiaji* Membawa anak kecil ke masjid merupakan keputusan baik dan bermanfaat untuk membangun landasan keimanan yang kuat sejak dini….

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *