Di dalam al-Quran, Allah swt. menjelaskan bahwa segala sesuatu, termasuk manusia, diciptakan saling berpasang-pasangan. Tujuan dari penciptaan yang berpasang-pasangan itu adalah agar manusia mengingat kebesaran Allah. Selain itu, secara spesifik di dalam Q.S. ar-Rum: 21 dijelaskan bahwa tujuan manusia membangun bahtera keluarga adalah untuk mewujudkan ketenteraman dan ketenangan.
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya, “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.
Sakinah merupakan keadaan damai, tenteram, harmonis, dan kompak. Keadaan itu akan terwujud jika pasangan suami istri mengembangkan sikap mawaddah dan rahmah. Mawaddah merupakan sikap saling mencintai dan menyayangi dengan penuh tanggung jawab. Adapun rahmah berarti sikap saling pengertian dan penghormatan antara suami dan istri.
Berangkat dari pengertian itu, Muhammadiyah lantas mendefinisikan keluarga sakinah sebagai “bangunan keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah… yang dilandasi rasa saling menyayangi dan menghargai dengan penuh rasa tanggung jawab dalam menghadirkan suasana kedamaian, ketenteraman, dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat yang diridlai Allah swt” (HPT Muhammadiyah, Jilid 3, Hlm. 359).
Memilih Jodoh
Untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah dibutuhkan beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Tidak sekadar suka sama suka, perkawinan antara laki-laki dan perempuan harus sekufu dalam segi agama, moral, pendidikan, dan sosial. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَجَمَالِهَا وَحَسَبِهَا وَدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Artinya, “dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad saw. bersabda: perempuan dikawini karena empat perkara, yaitu karena kekayaannya, status sosialnya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah perempuan yang kuat agamanya, maka kamu pasti beruntung” (HR. Ahmad).
Dalam hadits yang lain, Nabi saw. menjelaskan bahwa kecantikan/paras bisa menjerumuskan seseorang ke dalam kerendahan budi. Adapun kekayaan bisa menjerumuskan seseorang ke dalam perbuatan tidak pantas. Dari empat pertimbangan itu, Nabi secara eksplisit menyatakan bahwa pertimbangan utama dalam memilih pasangan adalah agama.
Baca Juga: Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Beribadah Menuju Keluarga Sakinah
Selain memilih jodoh yang sekufu, perkawinan harus didasarkan atas prinsip kerelaan pihak laki-laki dan perempuan. Islam tidak membenarkan perkawinan yang dilakukan dengan paksaan. Allah menegaskan bahwa perkawinan adalah perjanjian kuat (mitsaqan ghalizhan) antara laki-laki dan perempuan untuk saling mencintai dan menyayangi, sehingga tidak boleh ada paksaan di dalamnya.
Suatu ketika, seorang gadis mengadu kepada Nabi Muhammad karena ia dijodohkan oleh ayahnya. Tujuan perjodohan itu barangkali baik, yakni mengangkat harkat dan martabat keluarga. Menyikapi itu, Nabi saw. sepenuhnya memberikan keputusan perjodohan kepada sang gadis.
Pada akhirnya, gadis tersebut memang menerima keputusan ayahnya untuk dijodohkan. Akan tetapi, pesan penting dari kejadian tersebut adalah bahwa orang tua tidak berhak memaksakan anaknya agar menikah dengan calon pilihannya.
قَالَتْ فَإِنِّي قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلْآبَاءِ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ
Artinya, “perempuan itu berkata: sesungguhnya aku memang telah menerima apa yang ayahku perbuat terhadapku. Tetapi aku bermaksud (dengan menemui Rasulullah) agar para perempuan tahu bahwasanya tidak ada urusan apa-apa bagi para ayah dalam perkara ini” (HR. Ibn Majah).
Perkawinan juga tidak dianjurkan dilakukan ketika seseorang masih belum matang, baik dari segi biologis, psikologis, sosial, maupun ekonomi. Hal ini mengingat di dalam perkawinan dibutuhkan sikap tanggung jawab yang besar. Ada tanggung jawab sebagai suami-istri, juga tanggung jawab sebagai orang tua.
وَٱبْتَلُوا۟ ٱلْيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَٱدْفَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ أَمْوَٰلَهُمْ
Artinya, “dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (memelihara harta), maka serahkanlah mereka harta-hartanya” (Q.S. an-Nisa: 6).
Jika segala sesuatunya sudah sesuai dan sudah dipersiapkan matang-matang, Nabi saw. menganjurkan umatnya untuk bersegera menikah. Perkawinan akan menjaga diri seseorang dari melakukan kejahatan dan menjaga kehormatannya (aghudhdu lil bashar wa ahshanu lil farji). (siraj)