Muhammadiyah tidak hadir begitu saja di tengah pentas sejarah Indonesia. Muhammadiyah hadir melalui seperangkat pemikiran yang membawa cita-cita kemajuan, baik kemajuan peradaban Islam maupun kemajuan bangsa Indonesia.
***
Muhammad Darwisy –yang kemudian hari berganti nama menjadi Ahmad Dahlan—dikenal sebagai sosok yang punya wawasan dan lingkaran pergaulan yang luas. Perihal ilmu, Ahmad Dahlan banyak mengambil ilmu dari ulama-ulama Nusantara dan Timur Tengah. Sementara perihal pergaulan, Ahmad Dahlan diketahui pernah melibatkan diri di Budi Utomo dan bertukar sapa-pikiran dengan Syarikat Islam (SI), Indonesia Sosial Demokrat Vereniging (ISDV), dan sebagainya.
Minat lebih Ahmad Dahlan di bidang pemikiran dan pergerakan Islam mengantarkannya untuk mendirikan sebuah perkumpulan bernama Muhammadiyah. Catatan Kiai Syuja’ dalam Kyai Ahmad Dahlan atau Islam Berkemajuan: Kisah Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal menjelaskan alasan pemilihan nama Muhammadiyah, sebagai berikut:
“Muhammadiyah. Nama itu memang diambil dari nama Nabi ikutan kita, Muhammad saw., yang menjadi nabi dan rasul akhir zaman. Karena, kami ingin mentafaulkan nama itu dengan nama Nabi panutan (ikutan) kita. harapan kami mudah-mudahan Muhammadiyah menjadi jamiah akhir zaman, sebagaimana Nabi Muhammad menjadi nabi dan rasul akhir zaman. Adapun ditambah ya’ nisbah, maksud kami hendaknya barang siapa yang menjadi anggota Muhammadiyah dapat menyesuaikan diri dengan pribadinya Nabi Muhammad saw.,” ujar Kiai Ahmad Dahlan yang disampaikan dalam rapat pembentukan Muhammadiyah.
Baca Juga: Abdul Mu’ti: Muhammadiyah Harus Melihat Masa Lalu untuk Merancang Masa Depan
Pernyataan tersebut secara implisit menjelaskan kenapa yang dipilih adalah nama Muhammadiyah, dan bukan Ahmadiyah atau Dahlaniyah. Muhammadiyah tidak berdiri dalam rangka mengkultuskan pemikiran Ahmad Dahlan. Muhammadiyah berdiri di atas pemikiran dan cita-cita Ahmad Dahlan dan para muridnya. Pemilihan nama Muhammadiyah secara tidak langsung juga menujukkan sikap keterbukaan dan egaliter. Dalam bahasa kekinian, Muhammadiyah mempunyai karakter gerakan yang kolektif-kolegial.
Menjadi Jembatan
Pada masa itu, umat Islam umumnya terpetakan ke dalam dua kelompok: putihan dan abangan. Putihan adalah sekelompok Muslim yang taat menjalankan syariat agama dan kaku terhadap adat istiadat yang berkembang di masyarakat. Sementara abangan adalah sebaliknya. Kedua kelompok tersebut sulit dipertemukan. Masing-masing berdiri di atas batu pijak pandangannya.
Melihat kondisi tersebut, Ahmad Dahlan berusaha menjembatani jurang pemisah antara kelompok abangan dan putihan itu dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang memadukan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Tercetuslah apa yang dinamakan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah. Mulanya, apa yang dilakukan Ahmad Dahlan ini mendapatkan pertentangan dari sekelompok pihak. Namun seperti yang dapat diamati sekarang, benih yang ditanam Ahmad Dahlan telah berbuah manis.
Baca Juga: Empat Alasan ‘Aisyiyah Tetap Eksis Hingga Saat Ini
Lebih lanjut, melalui Muhammadiyah, Ahmad Dahlan berusaha menyediakan jembatan solusi bagi persoalan sosial-keagamaan yang terjadi pada waktu itu. Muhammadiyah menjembatani jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dengan gerakan amal salehnya (schooling, healing, feeding). Muhammadiyah menjembatani jurang pemisah antara tradisi-budaya Timur dan tradisi-budaya Barat. Muhammadiyah juga menjembatani jurang pemisah antara pemikiran Islam yang terlalau kaku, rigid, dan tekstual dengan pemikiran yang mengarah pada liberalisme-sekulerisme.
Menjadi jembatan adalah wujud keterlibatan Muhammadiyah terhadap upaya penyelesaian konflik dan persoalan yang menghantui umat Islam dan bangsa Indonesia. Muhammadiyah tidak sekadar mengkritik, mengutuk, mengecam, atau rerasan, tapi aktif melibatkan diri. Dan itu dilakukan dulu, kini, dan nanti. Muhammadiyah hadir dengan semangat dan cita-cita membangun peradaban utama. (brq)