Sejarah

Daftar Ketua Umum PP Aisyiyah dari Masa ke Masa

logo aisyiyah

Dari masa ke masa, ‘Aisyiyah telah melahirkan banyak tokoh perempuan muslim berkemajuan. Sampai saat ini, tercatat ada 10 (sepuluh) nama perempuan yang pernah menjabat sebagai ketua umum PP ‘Aisyiyah. Jika diamati, peralihan kepemimpinan di ‘Aisyiyah berputar secara dinamis dan meritokratis.

***

Berdiri pada 19 Mei 1917, ‘Aisyiyah terus tumbuh dan berkembang. Seperti halnya Muhammadiyah, kehadiran ‘Aisyiyah di panggung sejarah Indonesia berangkat dari kegelisahan ketika melihat situasi sosial-keagamaan pada awal abad ke-20. “Cahaya Islam mulai pudar karena perbuatan umat Islam sendiri” (Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan ‘Aisyiyah, PPA).

Waktu itu, kondisi perempuan sangat memprihatinkan. Mereka ditempatkan hanya sebagai konco wingking (teman untuk urusan rumah tangga). Akses pendidikan bagi perempuan adalah barang mewah. Tidak mengherankan jika saat itu banyak di antara kaum perempuan yang tidak bisa membaca.

Kehadiran ‘Aisyiyah adalah dalam rangka mendobrak kondisi itu. Berbekal pemahaman ajaran Islam yang menghargai dan menghormati kesetaraan laki-laki dan perempuan, ‘Aisyiyah bertekad mengangkat derajat perempuan. Tekad itu diwujudkan dengan mengadakan dan membangun ruang-ruang belajar, seperti pengajian, lembaga pendidikan, hingga penerbitan majalah.

Organisasi yang dikelola oleh para perempuan muslim berkemajuan itu telah melahirkan banyak tokoh persyarikatan, umat, bangsa, dan kemanusiaan. Peran dan sumbangsihnya dalam mencerdaskan dan memajukan kehidupan umat dan bangsa tidak perlu diragukan.

Berikut adalah daftar Ketua Umum PP ‘Aisyiyah dari masa ke masa:

Siti Bariyah

Siti Bariyah merupakan putri dari Haji Hasyim Ismail. Ia merupakan salah satu di antara perempuan yang dikader langsung oleh Kiai Ahmad Dahlan. Ia mahir berbahasa Belanda dan Melayu.

Melalui rapat pendirian ‘Aisyiyah tahun 1917, dipilihlah Siti Bariyah sebagai ketua yang pertama. Pemilihan itu bukan tanpa alasan. Dari awal ia aktif di pengajian Sopo Tresno, tamatan Neutraal Mesijes, dan dikenal cakap dalam memimpin. Ia memimpin ‘Aisyiyah dari tahun 1917 sampai 1920.

Siti Walidah

Siti Walidah merupakan aktor penting di balik berdirinya ‘Aisyiyah. Meski begitu, ketika ‘Aisyiyah berdiri, istri Kiai Dahlan ini tidak serta merta didaulat sebagai ketua. Ketika itu, Siti Walidah belum menguasai baca-tulis Latin dan manajemen organisasi modern. Ia merasa belum mampu memimpin ‘Aisyiyah.

Tahun 1921, barulah Siti Walidah terpilih menjadi ketua ‘Aisyiyah menggantikan Siti Bariyah. Masa kepemimpinan pertamanya berlangsung sampai tahun 1926. Tahun 1927, dalam Kongres ke-16 Muhammadiyah di Pekalongan, Siti Bariyah kembali terpilih menjadi ketua. Waktu itu, digambarkan kondisi politik umat Islam sedang memanas.

Siti Walidah kembali memimpin ‘Aisyiyah berdasarkan hasil keputusan Kongres ke-19 Muhammadiyah di Bukittinggi, kongres pertama yang diadakan di luar Pulau Jawa.

Siti ‘Aisyah Hilal

Siti ‘Aisyah Hilal adalah putri Kiai Dahlan dan Nyai Walidah. Ia merupakan perempuan generasi kedua yang menempuh pendidikan di sekolah umum, bersama Siti Zaenah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti Hayinah, Siti Badilah, dan beberapa perempuan muda Kauman lainnya.

Dalam Kongres ke-20 Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1931, Siti ‘Aisyah terpilih menjadi ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah Bahagian ‘Aisyiyah menggantikan sang ibu. Masa kepemimpinannya waktu itu hanya berlangsung satu tahun. Tahun 1932 hingga 1936, tampuk kepemimpinan beralih ke tangan Siti Munjiyah.

Siti ‘Aisyah kembali memimpin ‘Aisyiyah tahun 1937 hingga 1953. Posisinya sempat tergantikan dua kali, yaitu oleh Siti Badilah pada 1938 hasil Kongres ke-27 di Malang dan oleh Siti Hayinah pada 1946 hasil Kongres Darurat di Yogyakarta.

Siti Munjiyah

Siti Munjiyah lahir di tengah keluarga aktivis Muhammadiyah. Oleh keluarganya, ia disiapkan untuk menjadi seorang figur ulama perempuan. Kepiawaiannya berpidato tidak diragukan.

Karena kepiawaiannya itu, ia terlibat di forum-forum penting: menjadi satu-satunya perempuan yang menyampaikan ceramah keagamaan di forum Sarekat Islam (SI), memberi sambutan di Kongres Perempuan Indonesia I, hingga pidato di depan forum pembentukan Comite Pemberantasan Perdagangan Anak-anak (CPPA).

Pada 1932, dalam Kongres ke-21 di Makassar, Siti Munjiyah terpilih menjadi ketua menggantikan Siti ‘Aisyah. Masa kepemimpinannya berlangsung selama 4 (empat) tahun, yakni sampai 1937. Ia digantikan (kembali) oleh Siti ‘Aisyah dalam Kongres ke-26 di Yogyakarta.

Siti Badilah

Siti Badilah merupakan perempuan yang cerdas. Ia menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Ketika ‘Aisyiyah berdiri, ia ditunjuk untuk menjadi sekretaris mendampingi Siti Bariyah sebagai ketua. Pada 1928, ia juga terlibat dalam Kongres Perempuan Indonesia I bersama Siti Hayinah dan Siti Munjiyah.

Siti Badilah terpilih menjadi ketua ‘Aisyiyah hasil keputusan Kongres ke-27 di Malang pada 1938. Posisinya sebagai ketua tidak berlangsung lama, hanya satu tahun. Ia dikenal aktif berdakwah di masyarakat, mulai zaman kolonial, kemerdekaan, hingga orde baru. Tak heran jika ia disebut sebagai “mubalighat tiga zaman”.

Siti Hayinah

Tahun 1946, Muhammadiyah mengadakan Kongres Darurat di Yogyakarta. Salah satu keputusan kongres tersebut adalah menunjuk Siti Hayinah sebagai ketua ‘Aisyiyah. Sempat tergantikan oleh Siti ‘Aisyah pada 1950, ia kembali memimpin ‘Aisyiyah pada 1953 hingga 1962, ketika usia organisasi perempuan Islam ini genap berusia setengah abad.

Tidak hanya aktif di ‘Aisyiyah, Siti Hayinah juga banyak terlibat dalam gerakan perempuan nasional. Misinya jelas, yakni untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Untuk mendukung misi itu, ia mengusulkan agar didirikan perpustakaan dan majalah bagi perempuan. Ia dinilai sebagai ikon gerakan keilmuan ‘Aisyiyah.

Siti Baroroh Baried

Siti Baroroh Baried adalah pelopor kiprah internasionalisasi ‘Aisyiyah. Ia tercatat selalu membawa nama ‘Aisyiyah ke pentas global, mulai dari UNICEF, UNESCO, The Asian Foundation, World Conference of Religion and Peace, dan lain-lain. Guru Besar perempuan pertama di Indonesia ini punya semboyan, “hidup saya harus menuntut ilmu”.

Siti Baroroh terpilih menjadi ketua ‘Aisyiyah dalam Muktamar ke-37 di Bandung pada 1965. Kepemimpinannya berlangsung selama 20 (dua puluh) tahun atau 5 (lima) periode, yakni dari 1965 sampai 1985. Berkat jasanyalah banyak peneliti luar negeri yang mempelajari ‘Aisyiyah.

Elyda Djazman

Elyda Djazman lahir di Medan dari keluarga aktivis Muhammadiyah. Sebelum terpilih menjadi ketua ‘Aisyiyah, ia tercatat aktif sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA). Istri Djazman Alkindi ini juga pernah menjadi bendahara PP ‘Aisyiyah.

Elyda Djazman diamanahi sebagai ketua ‘Aisyiyah dalam Muktamar ke-41 yang berlangsung di Solo pada 1985. Ia menggantikan posisi Siti Baroroh. Selama tiga periode kepemimpinannya, ia membawa ‘Aisyiyah kian maju dan berkembang.

Siti Chamamah Soeratno

Siti Chamamah Soeratno adalah pakar di bidang kesusasteraan Melayu. Perempuan yang menjadi ketua ‘Aisyiyah dari tahun 2000 hingga 2010 itu dikenal cerdas, ulet, dan gigih. Ia menguasai bahasa Inggris, Arab, Prancis, Belanda, dan Jerman.

Siti Chamamah juga dikenal sebagai sosok yang punya kepedulian dan keberanian yang tinggi. Suaranya ditujukan untuk kepentingan anak bangsa. Meski dikaruniai ilmu yang melimpah, ia tidak memposisikan diri di atas menara gading. Ia peka terhadap fenomena sosial-budaya yang terjadi di sekitarnya.

Siti Noordjannah Djohantini

Siti Noordjannah Djohantini terpilih sebagai ketua ‘Aisyiyah dalam Muktamar ke-46 ‘Aisyiyah di Yogyakarta pada 2010. Sebelumnya, ia pernah memimpin Nasyiatul ‘Aisyiyah periode kepemimpinan 1990-1995 dan Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) PP ‘Aisyiyah periode 2000-2005.

Istri dari Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2015-2020, Haedar Nashir ini dikenal gigih memperjuangkan derajat perempuan. Bagi dia, perempuan harus berpendidikan, berdaya, dan bermartabat. Masa kepemimpinannya sebagai ketua akan berakhir pada Muktamar ke-48 ‘Aisyiyah yang akan dihelat November 2022 depan. (bariqi)

*diolah dari berbagai sumber

Related posts
Lensa OrganisasiSejarah

Di Mana Aisyiyah Ketika Masa Revolusi Indonesia?

Oleh: Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi* Tahun ini, Indonesia telah memasuki usia yang ke-79. Hal ini menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan para pendahulu…
Berita

107 Tahun Aisyiyah, Perkuat Komitmen Menjawab Berbagai Problem Kemanusiaan Semesta

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Mengusung tema “Memperkokoh dan Memperluas Dakwah Kemanusiaan Semesta” ‘Aisyiyah  akan memperingati miladnya yang ke-107 tahun pada 19 Mei…
Berita

Pendidikan Politik Perempuan Berkemajuan

Pekalongan, Suara ‘Aisyiyah – Dalam rangka menjelang Pesta Demokrasi, Pilpres dan Legislatif yang Insyaallah akan berlangsung tanggal 14 Februari 2024 Pimpinan Daerah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *