Oleh: Machendra Setyo Atmaja
Kaum muda muslim bergerak cepat merintis format baru dakwah digital melalui platform berupa blog, kanal YouTube, hingga Instagram. Konten-konten produksi kaum muda muslim mengisi segmentasi baru dalam ruang publik keagamaan. Mereka mampu menyulap materi atau konten keagamaan yang terasa monoton, kaku, dan normatif menjadi lebih segar, berwarna, dan aktual.
Pengaruh transformasi teknologi komunikasi terhadap kaum muda muslim belum terbayang sebagaimana saat ini. Sebab, dalam dunia media lama (old media) berupa televisi, koran dan radio, hanya sedikit orang yang terlibat memproduksi konten. Malah, kalau bisa dibilang sangatlah terbatas. Tidak semua orang berhak memproduksi konten karena berbiaya mahal dan ekslusif. Bahkan pernah ada debat panas apakah jurnalisme warga (citizen journalism) layak disebut produk informasi atau bukan.
Saat ini, di era media baru (new media) semua berubah. Simbol utama era ini adalah akses internet dan teknologi komunikasi yang semakin murah. Jumlah kepemilikan smartphone dan perangkat komputer portabel meningkat pesat. Kisaran usia pengguna teknologi pun sebagian besar ada pada kelompok muda.
Melihat kondisi semacam ini, tidak ada lagi debat mengenai siapa yang berhak memproduksi konten. Berbekal smartphone dan internet, setiap orang menciptakan atau menikmati informasi. Sebagai contoh, di Facebook dan Twitter, orang-orang berbagi kabar aktual. Bahkan ada grup-grup khusus yang mengakomodasi kabar lokal, dari dan untuk sesama warga member grup. Sekarang, setiap orang menganggap dirinya sebagai produsen konten. Tiap orang punya daya untuk mempersonalisasi informasi.
Ini juga menjadi salah satu alasan tak langsung mengapa dalam era media baru muncul fenomena disrupsi. Data dan informasi menjadi objek material penting dan merupakan navigasi perkembangan teknologi. Kunci pengendalian di era digital adalah data dan informasi. Pada mulanya dunia bisnis dan industri yang pelan-pelan terserap ke dalam skema-skema digitalisasi. Kemudian merambah pada praktikpraktik birokrasi hingga kehidupan beragama.
Konten Lebih Berani
Konten-konten produksi kaum muda muslim di media platform digital menunjukkan kepercayaan diri tinggi. Mereka sangat terbuka mendiskusikan topik-topik sensitif. Di platform blog, penulis-penulis muslim muda menjajal tema-tema berat secara kreatif. Mulai dari filsafat, politik, dan dinamika sosial. Sedangkan di media sosial, mereka sangat aktif dan berani menunjukkan opini pribadi melalui berbagai fitur yang tersedia.
Di tingkat yang lebih tertata, kaum muda muslim mengembangkan diri sebagai influencer media. Sehingga, mereka secara tidak langsung memadukan kepentingan eksistensi diri, partisipasi, dan bisnis.
Konten-konten yang berani tidak berarti digarap dengan mengorbankan estetika. Di YouTube, konten-konten audio-visual dakwah bahkan dikemas berbasis feature, wawancara, dokumenter, atau sketsa. Uniknya beberapa konten-konten dakwah ini menyajikan wacana keagamaan melalui kisah motivasi hidup atau cerita sukses para pebisnis milenial muslim. Konten-konten keagamaan bukan cuma monolog. Tetapi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan personal seseorang.
Baca Juga: Era Digital dan Perempuan Berkemajuan
Ada lagi satu fakta penting terkait keberanian mengekspresikan pandangan-pandangan keagamaan dalam konten-konten digital. Refleksi pemikiran keislaman kini tidak harus ada pada konten kategori keagamaan. Bahkan dapat disisipkan dalam konten yang biasa mengulas otomotif maupun gawai. Misalnya mengenai masalah-masalah teologis (akidah), fikih, hingga muamalah.
Tidak asing lagi kalau content creator muslim berani menyinggung tema-tema ini di setiap konten yang mereka sajikan kepada publik. Misalnya, seorang influencer muslim milenial berpengikut 2.5 juta subscriber di bidang otomotif bahkan berani mengkampanyekan anti-riba di kanal YouTube miliknya.
Mad’u Baru
Konten-konten dakwah digital mengisi celah baru. Perubahan perilaku konsumsi informasi akibat perkembangan teknologi media, menciptakan kelompok sasaran dakwah atau mad’u yang baru. Kategori mad’u ini tidak lain adalah orang-orang yang sebagian besar mengonsumsi informasi melalui perangkat smartphone. Dengan kata lain, konten dakwah digital punya kesempatan menjangkau semakin banyak orang dari latar belakang dan batas geografi yang berbeda.
Ada karakter khusus pada jenis mad’u baru penyimak konten dakwah digital. Pertama, mad’u ini berposisi tidak sebagai objek, tapi subjek. Banyak di antara mereka juga sama-sama praktisi atau ahli. Sehingga mad’u di era digitalisasi dakwah menciptakan perdebatan yang lebih intensif dengan content creator.
Kedua, jenis mad’u ini memaksa content creator beradaptasi terus menerus dengan kebutuhan informasi harian mereka yang sering berubah-ubah. Tetapi pada sisi lain, mereka menuntut kemasan konten yang juga mudah dipahami dan diterima.
Baca Juga: Peran Dakwah Aisyiyah di Era Digital
Ketiga, content creator harus siap dengan polarisasi paham keagamaan yang ada pada mad’u jenis baru ini. Meski ada di antara para penyimak konten dakwah digital yang punya tingkat literasi cukup baik, jumlah mereka hanya sedikit. Mayoritas para mad’u ini adalah orang-orang mencari pengetahuan dari tahap paling awal.
Mad’u baru berarti segmentasi konsumen media dakwah digital juga baru. Tantangan utama di sini adalah penyajian konten yang lebih kreatif. Tidak sekedar menghantarkan teks-teks keagamaan secara mentah pada publik. Tapi meramu ajaran-ajaran agama menjadi produk konten siap pakai, baik dalam pengertian rekreatif atau reflektif.
***
Era digital adalah kesempatan baru bagi kaum muda muslim untuk berpartisipasi menentukan bentuk informasi dan konten publik. Selain bahwa menjadi seorang content creator di platform digital membuka peluang finansial, tetapi juga menyediakan arena eksperimentasi kreatifitas tanpa batas. Inilah momentum paling pas untuk memperbaiki kualitas siar publik keagamaan yang paling sesuai dengan minat dan kebutuhan generasi muda sendiri.
*MPM PP Muhammadiyah