
Sc: KOMPAStv
Oleh: Abd Rohim Ghazali*
Ada dua prinsip dasar yang menjadi acuan dakwah yang dikembangkan pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan. Pertama adalah pembebasan, yakni bagaimana membebaskan manusia dari belenggu kebodohan; dan yang kedua adalah penghargaan pada harkat dan martabat kemanusiaan.
Pada era Kiai Dahlan, umumnya kebodohan warga masyarakat disebabkan penjajahan, baik penjajahan dari sesama manusia (kolonialisme asing) maupun corak budaya dan kepercayaan. Untuk membebaskan masyarakat dari kolonialisme asing, Kiai Dahlan melakukan lompatan kultural justru dengan cara mengadopsi aspek-aspek positif kultur asing itu, yang kemudian diterapkannya dalam corak dakwah kultural yang dikembangkan Muhammadiyah, antara lain melalui jalur pendidikan, pembentukan panti-panti sosial, dan balai pengobatan.
Jadi, ibarat dalam perang, Kiai Dahlan menerapkan the art of war ala Sun Tzu, yakni berusaha mengalahkan lawan justru dengan memanfaatkan jurusjurus lawannya. Kiai Dahlan melawan kolonialisme Barat dengan aspek-aspek positif dari apa yang dibawa oleh Barat. Agak unik memang, tetapi melalui cara itulah Kiai Dahlan mengalahkan kolonialisme dengan elegan dan bermartabat. Bukan dengan cara eskapisme anti-Barat yang membuat masyarakat semakin terbelakang yang bahkan, pada batas-batas tertentu, telah melahirkan penyakit inferiority complex atau minderwaardig yang amat parah.
Sementara itu, untuk membebaskan manusia dari belenggu budaya dan kepercayaan, Kiai Dahlan mengembangkan pendidikan yang berbasis pada pengembangan akal dan rasionalitas. Kepada anak didiknya ia ajarkan ilmuilmu sekular yang secara harfiah barangkali tak selalu ada dalam doktrin kitab suci atau hadis Nabi. Kiai Dahlan berusaha menerjemahkan pesan-pesan kitab suci secara rasional sesuai dengan konteks kebutuhan zamannya. Karena, hanya dengan corak seperti itulah, Islam diharapkan bisa memajukan dan menaikkan derajat suatu masyarakat. Sebagai implikasi dari lompatan dakwah yang berbasis pengembangan akal dan rasionalitas itulah Kiai Dahlan sering dipersepsikan sebagai cenderung antibudaya lokal, karena budaya lokal pada saat itu memang berbalut mistik yang irasional.
Maka kemudian muncullah konsep anti-TBC (tahayul, bidah, dan churafat). Jadi, jelaslah bahwa inti pesan dakwah Kiai Dahlan adalah bagaimana mengimplementasikan Islam dalam perspektif yang rasional, yang mampu membebaskan masyarakat dari belenggu penjajahan dan kebodohan. Islam yang dikembangkan Kiai Dahlan adalah yang mengangkat derajat dan martabat manusia. Oleh Kiai Dahlan, Islam dijadikan sebagai penggerak lompatan budaya yang konstruktif bagi kehidupan masyarakat.
Islam bukan dijadikan dogma yang justru semakin membelenggu kreativitas masyarakat yang sudah terbelenggu baik oleh kebodohannya sendiri maupun oleh kolonialisme asing. Perlu digarisbawahi bahwa TBC dalam pengertian yang berkembang pada era Kiai Dahlan terletak pada irasionalitasnya, bukan pada bentukbentuk nyata dari corak budayanya.
Dengan demikian, tidak semua corak budaya masyarakat lantas identik dengan TBC; dan mengidentikkan TBC dengan budaya lokal adalah sebuah penilaian yang gegabah atau kurang cermat. Dilihat dari prinsipnya, TBC bisa berada pada budaya lokal, dan bisa juga berada pada budaya asing. Korelasi antara TBC dan bentuk budaya bukan terletak pada dimensi ruang dan waktunya, melainkan pada semangatnya. Memang, di sini terdapat sedikit kerumitan ketika sebuah corak budaya (baik lokal maupun asing) harus diidentifikasi apakah termasuk dalam kategori TBC atau bukan.
Baca Juga: Memaknai Tujuh Pelajaran Ahmad Dahlan
Untuk menghindari kerumitan ini dibutuhkan kajian antropologi budaya yang memadai sebelum memberikan justifikasi. Sayangnya, kebanyakan dai dan mubaligh, khususnya dari kalangan Muhammadiyah yang sangat concern dengan TBC, tak mau berpikir secara mendalam, apalagi mengkajinya secara antropologis.
Oleh karena itu, yang muncul kemudian adalah para dai dan mubaligh yang hanya bisa menjustifikasi, mengklaim ini TBC, itu haram, ini kafir, dan klaim-klaim dogmatis lainnya. Munculnya para dai dan mubaligh yang pandai menjustifikasi (hanya bermodalkan klaim-klaim kebenaran) itulah yang membuat Muhammadiyah cenderung antibudaya lokal. Mereka menganggap budaya lokallah yang sarat dengan TBC. Karena profil dai dan mubaligh yang demikian itu menjadi arus utama (mainstream) dalam Muhammadiyah, pada gilirannya Muhammadiyah cenderung kehilangan kearifan ketika berinteraksi dengan corak budaya, terutama budaya lokal.
Karena itu, bisa dipahami, jika sejak Muktamar Muhammadiyah tahun 1995 di Banda Aceh, mulai muncul keinginan untuk mengembangkan “dakwah kultural” dalam Muhammadiyah. Keinginan itu dikukuhkan dalam Muktamar tahun 2000 di Jakarta, dan dikonkretkan dalam Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali, Januari 2002.
Banyak kalangan menilai bahwa gerakan “dakwah kultural” merupakan kritik atau bahkan pengingkaran terhadap model dakwah yang dikembangkan Kiai Dahlan yang cenderung anti-TBC. Padahal jika dipelajari secara agak cermat, dengan cara: (1) menempatkan TBC pada aspek semangatnya, bukan pada dimensi ruang dan waktunya; (2) mengindentifikasi TBC melalui kajian antropologi budaya; dan (3) memahami Islam secara rasional dan obyektif, tidak dogmatis, maka gerakan “dakwah kultural” justru merupakan bentuk kontekstualisasi dari corak dakwah kultural yang pernah dikembangkan Kiai Dahlan.
Oleh karena itu, inti dari semangat dakwah kultural adalah bagaimana mengimplementasikan Islam dengan cara melihat dan mengapresiasi setiap realitas budaya secara konstruktif, objektif, dan rasional. Bukan dengan cara memusuhi, menjustifikasi, atau bahkan menolaknya dengan klaim-klaim kebenaran yang subjektif. Wallahu’alam bishshawab!
*Direktur Eksekutif Maarif Institute
1 Comment