Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Bulan suci Ramadan telah menyapa. Jumat pagi (15/3), suasana Pengajian Ramadan 1445 H di Gedung AR Fachruddin begitu syahdu ketika Adib Sofia membuka paparannya dengan sebuah kidung Jawa “Srengenge Nyunar” yang dulu semasa kecil kerap dinyanyikan di berbagai sekolah taman kanak-kanak ‘Aisyiyah Busthanul ‘Athfal (ABA) serta ranting dan cabang ‘Aisyiyah.
Perempuan yang merupakan Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah itu bercerita, saat mengisi kajian di ranting-ranting ‘Aisyiyah, banyak dari para peserta yang hapal dan ikut bernyanyi bahkan sambil berdiri. Hal yang menjadi kebanggaan ini rupanya juga memberi catatan evaluasi.
Adib menyampaikan bahwa lagu tersebut sebetulnya sempat diunggah ke kanal YouTube, namun terpaksa harus di-takedown karena adanya beberapa tuduhan plagiat. Rupanya, di dokumen negara, lagu tersebut juga tercatat sebagai ciptaan pengarang lain. Hingga saat ini, penyusuran mengenai catatan lagu tersebut di ‘Aisyiyah pada masa lampau masih terus diupayakan.
Peristiwa tersebut menjadi refleksi bagi Adib, “Dakwah kultural kita itu masih banyak yang terserak dan belum terdokumentasi.” Tidak jarang, dokumen atau karya itu terlambat untuk muncul di publik dibandingkan dengan produk-produk gerakan lain. Selain itu, karya-karya tersebut juga tak diuruskan HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) atas kepemilikannya sehingga tidak kaget jika kemudian diklaim pihak lain. Belum lagi, persoalan dakwah kultural ini juga rupanya tidak dianggap prioritas oleh internal persyarikatan.
Baca Juga: Dakwah Kultural Kiai Dahlan
Dalam pemaparannya, Adib mengangkat teori yang disampaikan oleh Siti Baroroh Baried, Guru Besar perempuan pertama di Indonesia. Perempuan yang mengajar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) itu pernah menyampaikan tiga syarat pengembangan kebudayaan. Pertama, kemampuan memahami al-Quran dan hadis dari bahasa asalnya sampai cara menginterpretasikannya. Bagi seorang muslim, tugas ini sudah barang tentu hal yang wajib.
Kedua, kemampuan komunikasi. Adib menjelaskan bahwa hal ini merupakan “kemampuan menyampaikan Islam secara efektif kepada masyarakat”. Sehingga, upaya-upaya mendengar aspirasi, mengamati, serta melakukan riset terhadap karakteristik anggota masyarakat mestinya terus dilakukan. Terakhir yaitu kemampuan untuk terhubung dengan komunitas muslim di seluruh dunia serta menyesuaikan zaman.
Mengutip Baroroh, Adib menyampaikan, “Dakwah kebudayaan atau dakwah kultural itu adalah tugas raksasa.” Sehingga, persyarikatan Muhammadiyah perlu membangun sinergi dengan berbagai pihak, menyusun konsep yang jelas, serta memberikan perhatian penuh untuk menggarapnya. Sudah bukan lagi waktunya memperdebatkan soal halal atau haramnya. “Sudahkah wadah kita itu jenius dan serius terorganisasi menyusun perencanaan yang strategis?” ujar narasumber itu.
Menurutnya, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah perlu menyeriusi dakwah ini dengan membangun sebuah wadah untuk menampung para ahli dan peminat kebudayaan yang nantinya dapat melakukan berbagai kajian dan gerakan yang dibutuhkan. Selain itu, langkah lain yang perlu dilakukan adalah melahirkan banyak mikroselebritas di akar rumput, termasuk di ranting maupun cabang, yang dapat menandingi selebritas-selebritas di media mainstream yang diboncengi oleh gerakan yang lain. (Ahimsa)