Oleh: Rachminawati
Setiap 5 Juni, dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup Internasional untuk mengingatkan kita bahwa bumi ini sedang tidak baik-baik saja. Krisis iklim, polusi plastik, kehilangan keanekaragaman hayati, dan degradasi lingkungan bukanlah peristiwa alam semata, melainkan hasil dari sistem global yang gagal menyeimbangkan pembangunan dan keberlanjutan.
Tema yang diangkat pada tahun ini adalah “Beat Plastic Pollution”. Ini bukan slogan kosong, tapi panggilan mendesak untuk menuntut pertanggungjawaban negara, industri, dan sistem hukum internasioanl yang selama ini kurang berpihak pada bumi. Dalam konteks ini pula, komunitas atau organisasi masyarakat seperti ‘Aisyiyah justru memiliki peran kunci untuk menghadirkan perubahan dari bawah (grass rote) yang akan membawa etika dan spiritualitas hijau masyarakat ke ruang kebijakan publik.
Krisis Plastik, Iklim, dan Hukum Internasional: Masalah dan Solusi Bersama
Krisis plastik adalah krisis global. Diperkirakan jutaan ton plastik dibuang ke laut setiap tahunnya. Selain limbah plastiknya, proses produksi plastik juga berkontribusi besar pada krisis iklim dunia. Plastik diproduksi dari bahan bakar fosil, yang proses produksinya berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca.
Menyadari hal itu, komunitas internasional telah merumuskan dan menyepakati berbagai instrumen hukum internasional, diantaranya: Konvensi Basel (1989, amandemen 2019) mengatur perdagangan limbah berbahaya, termasuk plastik; Konvensi Stockholm dan Konvensi Rotterdam yang menyoroti senyawa kimia berbahaya dalam plastic; Paris Agreement (2015) yang mengikat 196 negara, termasuk Indonesia, untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 2°C, dan berusaha membatasi hingga 1,5°C. Sustainable Development Goals (SDGs), terutama Tujuan 12 (konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab) dan Tujuan 13 (aksi terhadap perubahan iklim), mewajibkan negara melakukan transformasi nyata.
Pada Maret 2022, 175 negara menyepakati mandat untuk menyusun Perjanjian Plastik Global (UN Plastics Treaty), perjanjian internasional yang akan menjadi hukum internasional plastik pertama di dunia untuk mengakhiri polusi plastik, dengan fokus pada seluruh siklus hidup plastik. Namun, pada sesi kelima (INC-5) di Busan Korea akhir 2024 yang seharusnya menjadi perundingan final, negara-negara gagal mencapai kesepakatan terutama terkait pengurangan produksi plastik, akibat tekanan dari industri plastik dan bahan bakar fosil serta sikap beberapa negara penghasil minyak.
Baca Juga: Perkuat Peran Strategis, ‘Aisyiyah Kaltim Adakan Talkshow Ketahanan Pangan
Situasi ini mencerminkan lemahnya hukum internasional yang sangat bergantung pada konsensus negara yang dipenuhi kepentingan para pemilik industri. Selain itu, Hukum Internasional pun tidak memiliki mekanisme penegakan hukum yang kuat terkait hal ini. Ketidaksepakatan yang terus terjadi menunjukkan rendahnya komitmen politik global dan dominasi kepentingan ekonomi jangka pendek, yang seringkali mengalahkan urgensi perlindungan lingkungan dan keadilan ekologis terutama bagi kelompok paling terdampak termasuk Perempuan.
Indonesia sendiri telah menandatangani Paris Agreement dan membuat komitmen melalui Nationally Determined Contributions (NDC). Pemerintah menargetkan penurunan emisi 31,89% dengan usaha sendiri, dan hingga 43,2% dengan bantuan internasional pada 2030. Namun, di sisi lain, perizinan terhadap industri plastik dan petrokimia masih longgar. Tanpa pembaruan regulasi dan penegakan hukum yang tegas, komitmen ini hanya akan jadi catatan administratif, tanpa dampak yang nyata.
Krisis plastik menuntut pertanggungjawaban yang konkret. Negara harus memperketat semua izin industri plastik, memastikan adanya Extended Producer Responsibility, di mana setiap produsen wajib bertanggung jawab terhadap daur hidup plastik yang mereka hasilkan, termasuk memberi kompensasi ekologis. CSR dari industri harus direformulasi menjadi skema berkeadilan, bukan hanya pencitraan. Dana sosial perusahaan harus diarahkan untuk mendukung gerakan nyata akar rumput seperti komunitas pecinta lingkungan, bank sampah, lembaga pendidikan lingkungan.
Sanksi yang tegas dan transparansi publik atas pelanggaran yang dilakukan oleh industri pun harus ditegakkan. Pemerintah harus menjamin hak setiap warga negaranya atas lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.
Dakwah Ekologis ‘Aisyiyah: Spirit Perempuan Melawan Ketidakadilan Ekologis
Aisyiyah, sebagai gerakan perempuan Islam, memiliki posisi strategis untuk menghidupkan kembali semangat dakwah ekologis. Dakwah yang bukan hanya mengajak pada ibadah mahdhah, tetapi juga pada gerakan cinta lingkungan untuk menjaga bumi, air, dan udara. Islam telah lama mengajarkan prinsip keberlanjutan melalui larangan berbuat kerusakan, perintah menjaga keseimbangan, serta peran dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Merawat lingkungan ini, termasuk dari ancaman Plastik adalah bagian dari ibadah sosial.
Dakwah ekologis Aisyiyah bisa diwujudkan dalam pendidikan lingkungan melalui institusi Pendidikan ‘Aisyiyah dari jenjang PAUD, DASMEN, Pesantren, hingga Perguruan Tinggi. Kemudian berbagai pelatihan pengelolaan sampah bisa dilakukan melalui majelis taklim yang menyasar para Ibu rumah tangga untuk bisa menerapkan gaya hidup minim sampah di rumah tangganya. ‘Aisyiyah pun bisa berperan dalam mengadvokasi berbagai kebijakan yang terkait dengan dampak lingkungan akibat industri. ‘Aisyiyah bisa mendorong transparansi CSR, mengkritisi izin industri yang merusak lingkungan. Terakhir, ‘Aisyiyah dapat membangun jejaring komunitas perempuan untuk terus menggaungkan Gerakan cinta lingkungan ini menjadi gerakan kolektif.
“Beat Plastic Pollution” tema di Hari Lingkungan Hidup Internasional ini jangan hanya sekadar tema tahunan, tapi harus menjadi seruan moral dan spiritual agar kita tidak terus merusak bumi ini. ‘Aisyiyah dapat membawa suara perempuan ke panggung internasional, menjadi aktor moral dalam diplomasi iklim, dan menyuarakan pentingnya keadilan ekologis sebagai bagian dari keadilan gender dan keadilan sosial.
*Penulis adalah Anggota Majelis PAUDASMEN PWA Jawa Barat, Dosen Hukum Internasional FH Unpad, dan Founder Komunitas “Garut Zero Waste”


3 Comments