Oleh: Yafi Sabila Rosyad
Anggapan umum menyatakan bahwa tempat yang berbahaya adalah di luar rumah. Namun tidak demikian bagi sebagian perempuan. Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Banyak kekerasan terjadi di rumah yang seyogianya menjadi tempat yang aman bagi anggota keluarga. Kebanyakan pelaku kekerasan justru berasal dari orang terdekat dan dikenal baik oleh korban, bahkan masih memiliki hubungan darah dengan korban yang seharusnya menjadi pelindung korban.
Inses merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual yang terjadi pada kehidupan bermasyarakat terutama dalam keluarga, karena inses adalah hubungan seksual antara dua orang yang mempunyai ikatan pertalian darah. Kasus Inses sebenarnya bukanlah hal baru, sayangnya fakta tentang inses seringkali tidak muncul karena dianggap aib keluarga. Pendampingan kasus inses bukanlah hal yang mudah. Perlu keberanian dari berbagai pihak, terutama keluarga agar dapat melihat kasus ini secara proporsional.
Dampak dari inses dapat merusak masa depan korban karena mereka akan mengalami kesuraman, stres, bahkan merasa hidup tidak mempunyai makna lagi. Korban juga rentan mengalami trauma berkepanjangan yang menyebabkannya bersikap introvert atau menarik diri, tidak mau bersosialisasi, merasa bersalah pada diri sendiri, dan rendah diri.
Pada beberapa kasus, anak korban inses mengalami kerusakan pada organ internal reproduksi terutama alat kelamin seperti perdarahan dan infeksi PMS (penyakit menular seksual) yang menyebabkan kematian. Hubungan seksual sedarah dapat menimbulkan risiko kehamilan sedarah, seperti kecacatan pada bayi yang dikandung.
Tidak hanya itu, kehamilan sedarah juga dapat menimbulkan kehamilan tidak diinginkan yang berakhir dengan tindakan aborsi tidak aman. Jika aborsi tidak berhasil dilakukan maka sering terjadi bayi dilahirkan dengan cacat fisik maupun mental.
Trauma lainnya yang terjadi akibat kekerasan seksual dapat mempengaruhi fisik seseorang. Sebagai contoh, perempuan yang pernah mendapatkan perkosaan memiliki beberapa trauma fisik, seperti radang sendi, nyeri panggul kronis, masalah pencernaan, gejala pramenstruasi yang intens, dan kejang non-epilepsi.
Akibat dari perbuatan inses dengan kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak-anak, maka korban akan mengalami dampak jangka pendek (short term effect) dan dampak jangka panjang (long term effect). Dampak jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian yang mempengaruhi fisik korban, seperti gangguan pada organ reproduksi (infeksi, kerusakan selaput dara, dan lain sebagainya) maupun luka-luka pada bagian tubuh yang lain, akibat perlawanan atau penganiayaan fisik. Sedangkan dampak jangka panjang dapat berupa sikap atau persepsi yang negatif terhadap laki-laki atau terhadap seks.
Dari aspek medis, kehamilan yang terjadi karena perbuatan inses dapat melahirkan keturunan yang memiliki kelainan atau gangguan kesehatan. Dampak lainnya dari hubungan inses adalah kemungkinan menghasilkan keturunan yang lebih banyak membawa gen homozigot.
Beberapa penyakit yang diturunkan melalui gen homozigot resesif dapat menyebabkan kematian pada bayi, yaitu fatal anemia, gangguan penglihatan pada anak umur 4-7 tahun yang dapat berakibat kebutaan, albino, polydactyl (jari tangan atau kaki lebih banyak dari keadaan normal), dan sebagainya.
Baca Juga: Bencana Kemanusiaan dalam Praktik Inses
Pada perkawinan sepupu yang memiliki gen albino maka kemungkinan keturunan albino lebih besar 13,4 kali dibandingkan perkawinan biasa. Kelemahan genetik lebih berpeluang muncul dan riwayat genetik yang buruk akan bertambah dominan ketika lahir dari orang tua yang memiliki kedekatan keturunan. Selain itu, banyak penyakit genetik yang berpeluang muncul lebih besar pada anak yang dilahirkan dari kasus inses.
Penyakit genetika yang berpeluang muncul lebih besar, seperti Skizoprenia: kromosom yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Penyakit ini merupakan gangguan psikologis fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri. Penyakit ini mempunyai beberapa tipe, yaitu Skizofrenia tipe I, ditandai dengan menonjolnya gejala-gejala positif seperti halusinasi dan delusi. Sedangkan pada Skizofrenia tipe II ditemukan gejala-gejala negatif seperti penarikan diri, apatis, dan perawatan diri yang buruk.
Dampak lain dari inses adalah anak yang dilahirkan akan mengalami idiot, yaitu keterlambatan mental serta perkembangan otak yang lemah. Ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relatif pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang mongoloid maka sering pula dikenal dengan mongolisme.
Kecacatan kelahiran juga dapat muncul akibat ketegangan saat ibu mengandung dan adanya rasa penolakan secara emosional dari ibu. Gangguan emosional yang dialami ibu akibat kehamilan yang tidak diharapkan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin pra dan pasca kelahiran. Pada akhirnya bayi yang ada dalam rahim akan mengalami kelainan-kelainan genetik yang nantinya akan berdampak buruk pada bayi tersebut.
Kelainan lain sebagai dampak inses adalah hemophilia, yaitu penyakit sel darah merah pecah yang mengakibatkan anak harus terus menerus mendapatkan transfusi darah. Penyakit ini merupakan gangguan perdarahan yang bersifat herediter akibat kekurangan faktor pembekuan.
Dampak lain dari perkawinan sedarah termasuk peningkatan infertilitas pada orang tua dan keturunannya; cacat lahir seperti asimetri wajah, bibir sumbing, atau kekerdilan tubuh saat dewasa. Selain itu, juga dapat terjadi gangguan jantung, beberapa tipe kanker, berat badan lahir rendah, tingkat pertumbuhan lambat, dan kematian bayi baru lahir.
Satu studi menemukan bahwa 40 persen anak hasil hubungan sedarah antara dua individu tingkat pertama (keluarga inti) lahir dengan kelainan fisik bawaan atau defisit intelektual yang parah. Risiko membawa gen rusak menjadi sangat tinggi. Setiap keluarga kemungkinan besar memiliki gen penyakit tersendiri (misalnya diabetes), dan perkawinan sedarah adalah kesempatan bagi dua orang carrier dari gen rusak untuk mewarisi dua salinan gen yang rusak kepada anak-anaknya. Pada akhirnya, keturunan mereka dapat memiliki penyakit tersebut.