Oleh: Wahyu Dewi Hapsari*
Pajak daerah merupakan sumber pendapatan penting bagi pemerintah untuk membiayai pembangunan dan pelayanan publik. Namun, belakangan ini, beberapa daerah menaikkan tarif pajak secara drastis—bahkan ada yang mencapai lebih dari 100%—tanpa persiapan atau sosialisasi yang memadai.
Alasannya, tarif pajak tersebut belum dinaikkan selama bertahun tahun sehingga dianggap perlu disesuaikan. Padahal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) secara tegas mengatur bahwa kebijakan pajak daerah harus memperhatikan prinsip keadilan, kemampuan masyarakat, dan efektivitas pemungutan (Pasal 216).
Selain itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juga menekankan pentingnya asas proporsionalitas dalam penetapan tarif pajak.
Meskipun penyesuaian tarif dapat dimengerti dari sisi fiskal, kenaikan yang terlalu tajam justru menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi masyarakat kecil dan pelaku usaha mikro. Pasal 23A UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa pajak harus bersifat adil dan tidak memberatkan rakyat.
Pemerintah daerah seharusnya mempertimbangkan aspek keadilan, kemampuan ekonomi masyarakat, dan dampak jangka panjang sebelum menerapkan kebijakan ini. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Pajak Daerah sebenarnya memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk menerapkan tarif progresif yang lebih berkeadilan.
Dampak kenaikan pajak ini semakin terasa berat karena minimnya perlindungan bagi masyarakat kecil. Paturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2020 tentang Kriteria Wajib Pajak Daerah Berpenghasilan Rendah seharusnya menjadi dasar pemberian keringanan pajak. Kenaikan pajak secara tiba-tiba berdampak buruk pada masyarakat berpenghasilan rendah.
Bagi mereka, kenaikan Rp50.000–Rp100.000 saja sudah sangat berarti karena langsung mengurangi daya beli untuk kebutuhan pokok. Selain itu, pelaku UMKM yang masih berjuang pulih pasca-pandemi juga terbebani biaya tambahan. Kenaikan pajak bisa mengurangi modal kerja atau memaksa kenaikan harga, yang akhirnya melemahkan daya saing mereka.
Yang lebih memprihatinkan, kenaikan ini sering kali tidak diimbangi dengan peningkatan pelayanan publik. Masyarakat pun wajar mempertanyakan ke mana kontribusi pajak mereka dialokasikan jika tidak ada perbaikan signifikan di bidang infrastruktur, kesehatan, atau Pendidikan.
Baca Juga: Kemiskinan di Balik Standar, Saatnya Indonesia Mengadopsi Standar Global
Solusi yang lebih berkeadilan sebenarnya telah diatur dalam berbagai regulasi. UU HKPD misalnya, mengamanatkan adanya mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap kebijakan pajak daerah (Pasal 221). Pemerintah pusat seharusnya dapat menggunakan kewenangan ini untuk mengoreksi kebijakan daerah yang tidak proporsional.
Selain itu, Permendagri No. 13/2022 juga mengatur kewajiban pemerintah daerah untuk melakukan kajian dampak dan sosialisasi sebelum menetapkan kenaikan pajak. Sayangnya, ketentuan ini sering kali diabaikan.
Sebenarnya, ada beberapa solusi yang lebih adil untuk mengatasi masalah ini. Pertama, kenaikan pajak sebaiknya dilakukan secara bertahap, misalnya 10–20% per tahun, disertai sosialisasi yang transparan. Hal ini memberi waktu bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk menyesuaikan diri.
Kedua, pemerintah bisa menerapkan tarif berbeda berdasarkan kemampuan ekonomi, seperti memberikan diskon atau pembebasan pajak untuk kendaraan roda dua berkapasitas kecil atau rumah sederhana. Ketiga, sebelum menaikkan pajak, pemerintah daerah harus mengevaluasi efisiensi belanja daerah terlebih dahulu.
Apakah dana yang ada selama ini sudah dikelola secara optimal, atau justru terjadi pemborosan? Terakhir, proses pengambilan keputusan harus melibatkan partisipasi publik melalui konsultasi dengan masyarakat dan DPRD, bukan sekadar keputusan sepihak dari pemerintah.
Pada akhirnya, kenaikan pajak daerah yang drastis tanpa pertimbangan keadilan sosial hanya akan memperlebar ketimpangan dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kebijakan fiskal harus seimbang—tidak hanya mengejar target pendapatan, tetapi juga memastikan keberlanjutan ekonomi masyarakat, terutama kelompok rentan.
Jika pemerintah tetap ingin menaikkan pajak, langkah tersebut harus dibarengi dengan transparansi pengelolaan anggaran, kompensasi yang jelas bagi masyarakat kecil, dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Dengan begitu, kenaikan pajak tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga diterima secara moral oleh masyarakat.
*Dosen Akuntansi UAD

