Sejarah

Dari Muballigh Keliling Hingga Anak Panah Muhammadiyah

Oleh: Mu’arif

Istilah “anak panah” Muhammadiyah yang pernah disampaikan K.H. Ibrahim dalam salah satu khutbah al-arsy-nya untuk menyebut anak-anak atau para kader yang dikirim ke seluruh pelosok negeri untuk berdakwah sebenarnya irisan dari program muballigh keliling yang dicanangkan pasca kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan. Saat ini, istilah “anak panah” identik dengan para abiturien Madrasah Mu’allimin-Mu’allimaat Muhammadiyah. Namun jika dilacak geneologinya, sebenarnya julukan ini tidak hanya ditujukan kepada para lulusan Madrasah Muallimin Muhammadiyah saja, tetapi hampir semua lulusan sekolah Muhammadiyah mendapat predikat sebagai “anak panah.”

Muballigh Keliling

Program muballigh keliling adalah program resmi Muhammadiyah pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim (1923-1933) dan K.H. Hisyam (1933-1937) (lihat H.A.R. Fakhruddin, Muhammadiyah Menuju Masa Mendatang, t.t.). Asal-usul program ini berasal dari keputusan dalam Perkoempoelan Tahoenan (Jaar Vergadering) Moehammadijah (30 Maret-2 April 1923) di Yogyakarta.

Salah satu voorstel (usulan) yang ditampung adalah usulan dari Cabang Pekalongan, yaitu “soepaja Pengoeroes Besar mengadakan propagandist keliling…” (lihat Soewara Moehammadijah, no. 5 & 6 Tahoen 1923). Perlu dicatat di sini, propagandist (muballigh) keliling sebenarnya sudah menjadi tren di Muhammadiyah sejak masa kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan, yang dilanjutkan pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim dan K.H. Hisyam menjadi agenda resmi Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah.

Usulan yang kemudian disambut dengan antusias oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah ini menandai penyebaran agenda revolusi tabligh Muhammadiyah. Revolusi tabligh yang diselenggarakan pada masa kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan—terutama digerakkan oleh pemuda-pemudi—telah menjadi penanda era baru gerakan Islam di Yogyakarta (Kiai Syujak, Islam Berkemajuan, 2009).

Jika pada masa-masa sebelumnya program tabligh di tanah air dilakukan secara pasif, yaitu ketika para kiai/ulama/muballigh harus dikunjungi oleh para jamaah, maka revolusi tabligh telah mengubah pola lama, yaitu para muballigh muda yang justru harus mendatangi para jamaah. Tabligh diselenggarakan secara terbuka, menggunakan mimbar bebas, sehingga siapa saja dapat terlibat diskusi interaktif antara muballigh dengan jama’ah. Dalam hal ini, menarik apa yang disampaikan Pak A.R. Fakhruddin bahwa tabligh bukanlah pekerjaan.

Dalam buku Muhammadiyah Menuju Masa Mendatang, Pak A.R. menegaskan bahwa tabligh bukanlah matapencaharian untuk mendapatkan penghasilan. Namun, tabligh adalah kewajiban bagi setiap muslim yang secara langsung mewajibkan setiap warga Muhammadiyah untuk memikul tanggung jawab ini.

Oleh karena itulah, Muhammadiyah dan segenap pengurus dan warganya dengan senang menyambut permintaan tabligh sekalipun di daerah-daerah terpencil, jauh dari pusat keramaian kota. Pak A.R. sendiri adalah “muballigh keliling”—di kemudian hari dikenal dengan julukan “anak panah”—lulusan Tablighschool (Darul Ulum) Brosot yang pada tahun 1935 ditempatkan di Talangbalai Tanjung Raja Ogan Ilir, Palembang.

Keterlibatan angkatan muda dalam muballigh keliling menjadi kunci keberhasilan program ini. Karena tidak hanya di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya saja sasaran muballigh keliling, tetapi mencapai luar pulau Jawa, bahkan telah mencapai seantero negeri ini. Bukan hanya di daerah yang sudah maju atau berpenduduk padat, agenda muballigh keliling juga menyasar ke daerah-daerah terpencil di seantero negeri. Sebut saja Gorontalo (Sulawesi), Merauke (Irian Jaya), Alabio (Kalimantan Selatan), Sampit (Kalimantan Tengah), Menggala (Lampung), Talangbalai (Palembang), Tubohan Baturaja (Sumatra Selatan), dan lain-lain.

Baca Juga: Senam ‘Aisyiyah Bahagia Turut Semarakkan Triwulan PCA Tahunan Jepara

Perluasan jangkauan tabligh seiring dengan keluarnya izin ruang lingkup gerakan Muhammadiyah se-Hindia Nederland. Maka pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim dan K.H. Hisyam, meningkatnya permintaan untuk dikirimi muballigh keliling di daerahdaerah yang jauh menjadi tantangan bagi Hoofdbestuur Muhammadiyah di Yogyakarta.

Mu’allimin dan Anak Panah Muhammadiyah

Istilah “anak panah” yang semula ditujukan untuk para kader atau anakanak lulusan sekolah Muhammadiyah yang siap dikirim untuk berdakwah di mana saja tempatnya kemudian menjadi identik dengan para abiturien Madrasah Mu’allimin-Mu’allimat Muhammadiyah. Sumber H.Mh. Mawardi dalam artikelnya, “Perkembangan Perguruan Muhammadiyah” (Suara Muhammadiyah no. 10 Th. Ke-58/1978) menyebutkan, “Pada dasarnya abiturien (lulusan) Madrasah Mu’allimin ialah anak panah Muhammadiyah, ditempatkan di pelosok, menjadi guru Muhammadiyah, dan memimpin jalannya gerakan Muhammadiyah.”

Rupanya, istilah atau julukan ”anak panah” menjadi identik dengan Mu’allimin-Muallimat karena hanya dua lembaga pendidikan Muhammadiyah inilah yang paling banyak dan paling sering mengirimkan para alumninya menjadi muballigh yang ditempatkan di berbagai pelosok di negeri ini. Dalam artikel, ”Sementara Anak Panah Muhammadiyah”, Pak A.R. Fakhruddin merilis 71 kader ”anak panah Muhammadiyah” sejak masa kepemimpinan K.H. Ibrahim hingga K.H. Hisyam. Dari 71 kader anak panah Muhammadiyah, sebagaian besar memang berasal dari lulusan Madrasah Mu’allimin, termasuk Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah. Sebagian kecil dari mereka berasal dari beberapa sekolah Muhammadiyah, baik di Yogyakarta maupun di luar Pulau Jawa.

Di antara nama-nama kader anak panah Muhammadiyah yang berasal dari lulusan Madrasah Mu’allimin Mu’allimat Muhammadiyah sebagai berikut: M. Bazar Ma’ruf (ke Cirebon), Mh. Djaiz, M. Habib (ke Merauke), Mh. Muammal, M. Mahjub, Muhadjir Ridwan (ke Alabio), R. Sutopo Abd. Rauf (ke Sulawesi Selatan), Wuhaib Syarkowi (ke Sampit), M. Bakhar Abdullah (ke Sleman), M. Akhiyat, M. Haron Dahlan (ke Gorontalo), M. Asdi Narju, M. Daim Saleh (ke Sumatra Selatan), M. Bakri Syarbini (ke Talangbalai), M. Naim Syarbini (ke Ogan Ilir), M. Jamal Dahlan (ke Palembang), M. Sumiyat Yasin (ke Baturaja), dan lain-lain.

Adapun kader anak panah Muhammadiyah yang bukan berasal dari lulusan Madrasah Mu’allimin-Mu’allimat Muhammadiyah antara lain: Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dari Maninjau dikirim ke Makassar, Raden Himam Trayu dari Brosot (Yogyakarta) dikirim ke Gorontalo, Abdulghani Dwijosoeparto dari Pakualaman dikirim ke Menggala (Lampung), dan lain-lain.

Membaca daftar rilis anak panah Muhammadiyah sejak periode K.H. Ibrahim hingga K.H. Hisyam yang disampaikan oleh Pak A.R. Fakhruddin di atas dan mengetahui capaian tugas masing-masing mengingatkan penulis pada sebuah kenangan hangat bersama almarhum Buya Ahmad Syafii Maarif—Allahu yarhamhu. Penulis yang memang sedang meneliti dengan subjek Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta ini mendapat penjelasan yang menarik tentang filosofi anak panah. Ketika anak panah ditarik dari busurnya lalu dilesatkan, maka ia akan menancap pada suatu objek dengan sangat eratnya.

Itulah ciri khas kader muballigh Muhammadiyah, bahwa ia akan selalu bisa beradaptasi, bahkan membumi di mana tempatnya bertugas, lalu membentuk komunitas atau masyarakat yang kuat, membangun perekonomian yang mandiri, menyiapkan generasi penerus, dan seterusnya. Seluruh ikhtiar dan amal sejalan dengan cita-cita gerakan Muhammadiyah.

Sumber gambar: https://muallimin.sch.id/tentang/sejarah/

*) Penulis adalah Pengkaji sejarah Muhammadiyah-’Aisyiyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *