Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Sampai saat ini, belum ada angka pasti jumlah anggota persyarikatan Muhammadiyah. Menyikapi hal itu, dengan nada guyon Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, “pokoknya yang salat Ied di tanah lapang ketika normal, itulah anggota Muhammadiyah”.
Menurut Haedar, Muhammadiyah memang tidak terlalu mempersoalkan jumlah anggotanya. Dibandingkan fokus pada jumlah, Muhammadiyah lebih menitikberatkan perhatian pada kinerja dan kontribusi bagi umat dan bangsa.
Pernyataan itu disampaikan Haedar ketika diwawancarai Helmy Yahya di akun YouTube-nya pada Selasa (31/8). Dalam kesempatan tersebut, Haedar menyampaikan bahwa sejak didirikan Kiai Ahmad Dahlan pada tahun 1912, kontribusi dan/atau pelayanan yang diberikan Muhammadiyah tidak pernah pilih-pilih. Spirit al-Maun yang diajarkan Kiai Dahlan adalah gerakan kemanusiaan untuk semua, tanpa diskriminasi.
Mengikuti jejak Kiai Dahlan, Muhammadiyah juga membuka ruang persaudaraan dengan berbagai kelompok suku, agama, dan bangsa. Ruang persaudaraan itu salah satunya dibuka melalui pendirian lembaga pendidikan dan/atau amal usaha di daerah-daerah yang mayoritas non-Muslim.
Baca Juga: Kosmopolitanisme Muhammadiyah
Haedar menceritakan bahwa di Kupang, ada seorang tokoh Katolik yang menghibahkan lahan 7 hektar untuk Muhammadiyah setelah melihat sendiri kontribusi Muhammadiyah untuk warga setempat. “Saya tidak bisa menjelaskan ini. Ini fenomena kemanusiaan, pluralitas, sekaligus persaudaraan bangsa yang genuine. Itulah yang kami yakini bahwa ketika kita berbuat tulus, berkarya nyata untuk bangsa atau untuk siapapun, energi positif dan semsesta akan memihak kita. Itu cermin rahmatan lil ‘alamin,” ungkapnya.
Inklusifitas dan rasa kemanusiaan universal itu, menurut Haedar, merupakan warisan Kiai Dahlan yang sangat berarti bagi generasi penerus Muhammadiyah. Selain itu, Kiai Dahlan juga mengajarkan anggota Muhammadiyah untuk menjadi Muslim yang cerdas dan berpikiran maju.
“Ciri ulil albab, ciri orang cerdas –yang sering dikutip dan diajarkan Kiai Dahlan– adalah orang yang selalu menerima pendapat, proposisi, pandangan, informasi dari berbagai pihak, dan kita ambil yang terbaik. Jadi itu kan melintas batas. Kita belajar ke timur, ke barat, ke selatan, ke utara, nggak masalah. Yang penting ambil yang terbaik, dan kita bagi pula yang terbaik. Itulah yang menghidupkan dan melahirkan daya hidup kita, sekaligus optimisme bahwa peradaban itu memang dibangun harus bersama, tidak sendirian,” jelas Haedar.
Haedar kemudian menyebutkan tiga modal utama untuk meraih kehidupan yang maju. Tiga modal itu adalah rasional (akal sehat), melintas batas, dan hidup bersama. Dan itulah yang coba terus digaungkan oleh Muhammadiyah. (sb)