Inspirasi

Dawiesah dalam Sejarah Pendidikan Kesehatan ‘Aisyiyah

Unisa Yogyakarta
Siti Dawiesah dan Pendidikan Kesehatan 'Aisyiyah

Siti Dawiesah dan Pendidikan Kesehatan ‘Aisyiyah (foto: unisayogya.ac.id)

Sejarah Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta tidak dapat lepas dari keberadaan Sekolah Pendidikan Keperawatan yang didirikan sejak tahun 1963. Membicarakan SPK tentu tidak dapat lepas dari peran dr. Siti Dawiesah, Ketua BPH SPK di masa awal berdiri, yang turut merintis pengembangan lembaga pendidikan kesehatan ‘Aisyiyah yang terus berkembang hingga kini ‘Aisyiyah memasuki abad kedua.

Latar Belakang Keluarga

Siti Dawiesah Dhalhar merupakan perempuan kelahiran Yogyakarta, 12 Juni 1932. Ia merupakan anak ketiga dari Mohamad Dhalhar atau akrab dipanggil Pak Dhalhar BKN dan Siti Badiyah. Penyebutan BKN merupakan nama trah keluarga  besar Kartoirono. Dalhar menempuh pendidikan di sekolah tabligh sebagai lembaga kader Muhamamdiyah, dan menjadi seorang guru serta ulama yang piawai.  Dalhar pernah dipercaya menjadi Kepala Sekolah Menengah II Putri Muhammadiyah sekitar tahun 1950, dan pernah menjadi Direktur Madrasah Mu`alimat pada tahun 1960-an. Dalhar aktif di Majlis Tabligh dan pernah menjadi anggota Majelis Tarjih.

Siti Badiyah yaitu ibu dari Siti Dawiesah juga merupakan seorang aktivis `Aisyiyah, yang terlibat dalam berbagai kegiatan dakwah maupun kegiatan sosial lainnya. Sejak kecil, baik Siti Dawiesah dan kakaknya telah bergabung dalam Nasyiatul Aisyiyah. Pada masa perjuangan Kemerdekaan, Kauman menjadi markas Angkatan Perang Sabil (APS).

Hampir semua penduduk Kauman terlibat dalam berbagai aktifitas pendukung perjuangan, termasuk Siti Dawiesah dan kakaknya Siti Hadifah. Keduanya mengikuti pelatihan  PPPK/Palang Merah. Bahkan Siti Dawiesah dan Siti Hadifah sempat mengikuti latihan kemiliteran  bersama teman-teman sebayanya. Mereka dilatih menembak dan melempar granat oleh perwira dari Akademi Militer  Magelang. Menurut teman-temannya, Siti Dawiesah dinilai paling berani dan cekatan serta terampil.

Masa Pendidikan

Dawiesah menempuh pendidikan dasar di Sekolah Pawiyatan Muhammadiyah, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammadiyah bagi anak-anak putri. Selanjutnya, Dawiesah meneruskan pendidikan di SMP Putri Muhammadiyah atau yang kini dikenal sebagai SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta. Lulus dari SMP Muhammadiyah 2, Dawiesah masuk di Sekolah Negeri atau SMA B 1 yang dikenal sebagai sekolah unggulan dan berada di wilayah Kotabaru.

Berbeda dengan kakak perempuannya yang memilih jurusan Guru Agama, Siti Dawiesah memilih menjadi dokter.  Ia pun melewati masa pendidikan tinggi di Universitas Gadjah Mada pada fakultas kedokteran. Pada masa itu, masih minim dokter perempuan sehingga keberadaannya dibutuhkan masyarakat. Di kampus Kedokteran UGM, Siti Dawiesah sangat dikenal sebagai satu-satunya mahasiswi yang berkerudung. Berkebaya dan berkerudung tidak mengganggu aktivitas belajarnya.

Siti Dawiesah sempat menjadi asisten praktikum di Laboratorium Biokemi, yaitu cabang dari ilmu kimia yang mempelajari pengaruh kimiawi pada mahluk hidup khususnya manusia. Di laboratorium inilah ia bertemu dengan Ismadi, asisten Biokimia yang lebih senior yang kemudian menjadi suaminya.

Keberhasilan Dawiesah meraih gelar dokter ini disambut baik oleh para pimpinan ‘Aisyiyah.  Selanjutnya para pimpinan ‘Aisyiyah berharap Siti Dawiesah dapat mengabdi pada `Aisyiyah/ Muhamadiyah. Apalagi, saat itu, `Aisyiyah akan merintis Sekolah Bidan yang membutuhkan kompetensi dari para tenaga medis. Gelar master diperolehnya di Osmania University India  pada tahun 1971. Selanjutnya Dawiesah mengikuti Program Doktor di UGM.

Merintis Lembaga Pendidikan Kesehatan ‘Aisyiyah

Salah satu keputusan dalam Muktamar Aisyiyah ke-35 di Bandung adalah pendirian pendidikan keperawatan. Gayung bersambut, Siti Dawiesah yang telah 2 tahun meraih gelar dokter lantas dilibatkan untuk mengelola pendidikan kesehatan. Selanjutnya Siti Dawiesah sebagai kader `Aisyiyah dipercaya menjadi Ketua Badan Pimpinan Harian SPK sejak 1963 hingga 1971.

Amanah tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Dawiesah, seorang dokter muda yang sedang asyik menjalankan praktik di Rumah Sakit, namun harus pula mendorong lahirnya tenaga kesehatan melalui lembaga pendidikan. Bersama para pimpinan dan staf yang lain, ia mengembangkan administrasi sekolah, fasilitas sekolah, perkembangan gedung sekolah, asrama bagi peserta didik, hingga kerja sama dengan RS PKU Muhammadiyah sebagai tempat praktik bagi para siswi sekolah.

Kehadiran SPK sejatinya merupakan kebutuhan mendesak bagi masyarakat. Ketersediaan tenaga kesehatan perempuan khususnya pada layanan kesehatan ibu dan anak merupakan isu lama bagi gerakan perempuan di masa pergerakan nasional. Masih tingginya angka kematian ibu dan bayi lantaran kurangnya ketersediaan layanan dan SDM layanan menjadi perhatian khusus bagi ‘Aisyiyah, yang sejak masa awal berdirinya telah menaruh perhatian pada problem kesehatan ibu dan anak.

Mengacu pada Peraturan MenKes saat itu maka didirikanlah Sekolah Pendidikan Keperawatan (SPK). Lembaga pendidikan ini bersifat multi program, yakni Pendidikan Penjenang Kesehatan, Pendidikan Keperawatan, dan Pendidikan Kebidanan. Kepala Sekolah SPK pertama dipercayakan pada dr. Hardjo Djoyodarmo, dokter PKU Muhammadiyah yang mendalami Ilmu Kebidanan. Istrinya, Siti Buchairoh, merupakan aktivis ‘Aisyiyah. Keberadaan SPK sendiri sudah lama diimpikan oleh Alfiyah Muhadie maupun Siti Buchairoh. Satu periode dr. Hardjo Djoyodarmo menjabat sebagai Kepsek SPK dan menaruh fondamen berbagai kebijakan dalam pengelolaan SPK.

Rupanya keberadaan SPK mendapat sambutan positif dari pimpinan ‘Aisyiyah di berbagai daerah. Mereka tak segan mengirim putrinya untuk mengikuti pendidikan SPK di Yogyakarta. Siti Dawiesah pun segera merekrut tenaga pendidik, baik laki-laki maupun perempuan sesuai bidang yang dibutuhkan.

Sekolah ini awalnya bertempat di Jl. Munir, Serangan, yang berdekatan dengan Panti Asuhan `Aisyiyah. Jumlah siswinya terus meningkat setiap tahunnya. Alumninya pun banyak diminati oleh RS PKU Muhammadiyah dari beberapa daerah, dan tidak sedikit yang bekerja di RS Pemerintah. Para alumni SPK juga bersedia bekerja di berbagai kota kecil bahkan di pedesaan sebagai tenaga bidan, di tengah masih minim-nya tenaga bidan di banyak daerah di Indonesia. Bahkan kemudian ‘Aisyiyah merasa berkepentingan mendirikan Rumah Bersalin `Aisyiyah. Kini ‘Aisyiyah telah memiliki tidak sedikit RS ‘Aisyiyah, mulai dari Klaten, Muntilan (Magelang), Kudus, Ponorogo, dan Malang yang terus berkembang.

SPK Yogyakarta ini merupakan lembaga pendidikan kesehatan percontohan yang dikelola di bawah PP ‘Aisyiyah. Para pimpinan ‘Aisyiyah di beberapa wilayah pun selanjutnya tertarik mengikuti jejak dalam mendirikan lembaga pendidikan kesehatan ini sekaligus sebagai pelaksanaan Keputusan Muktamar ke-35 di Bandung. Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah yang menyusul mendirikan SPK saat itu adalah PWA Jawa Timur di Surabaya, PWA Sumsel di Palembang, PWA Jateng di Surakarta,  PWA Riau di Pekanbaru, dan PWA Sulsel di Ujung Pandang.

Dalam perjalanannya, SPK yang dikelola ‘Aisyiyah terus berkembang baik dari aspek pertambahan siswi, pengelolaan, dan kualitas pembelajaran. Setelah 15 tahun berdiri, pada 1978-1980, program pendidikan di SPK berkembang dengan adanya program Perawat Bidan dan Perawat Kesehatan. Tiga tahun setelahnya, pada 1981-1991 mulai berkembang Program D1 Kebidanan. Sampai kemudian pada 1991, SPK melangkah maju dengan berubahnya status dari Pendidikan Menengah menjadi Tingkat Akademi, yakni dari SPK menjadi menjadi
AKPER  dengan Program D1 maupun D2 Kebidanan dan Keperawatan. Pada tahun 1998, AKPER berubah menjadi AKBID (Akademi Kebidanan) lantaran penyesuaian dengan kebutuhan di lapangan. Perubahan menjadi STIKES `Aisyiyah berlangsung pada tahun 2003.

Di mata kolega maupun muridnya, Dawiesah dipandang sebagai profil yang semangat, giat, disiplin, dan disegani. Dawiesah juga dikenal sebagai sosok pimpinan yang suka berbagi ilmu  secara non-formal dengan para staf. Perempuan yang turut turut merintis program S1 Kebidanan UMY ini, selain menjadi panutan, juga dikenal demokratis lantaran senantiasa mengedepankan musyawarah. Dawiesah pun dikenal aktif dalam kepengurusan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. Ia juga pernah menjadi pemimpin umum majalah Suara ‘Aisyiyah. Kepemimpinan dan pengabdiannya layak menjadi inspirasi. (Uswatun/Hajar)

Related posts
Lensa OrganisasiSejarah

Di Mana Aisyiyah Ketika Masa Revolusi Indonesia?

Oleh: Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi* Tahun ini, Indonesia telah memasuki usia yang ke-79. Hal ini menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan para pendahulu…
Berita

107 Tahun Aisyiyah, Perkuat Komitmen Menjawab Berbagai Problem Kemanusiaan Semesta

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Mengusung tema “Memperkokoh dan Memperluas Dakwah Kemanusiaan Semesta” ‘Aisyiyah  akan memperingati miladnya yang ke-107 tahun pada 19 Mei…
Berita

Kolaborasi Bangun Generasi Unggul Melalui Literasi dan Kesehatan di PDA Kabupaten Sukabumi

Sukabumi, Suara ‘Aisyiyah – Dalam upaya menciptakan generasi yang berpengetahuan luas, sehat, dan berkarakter, peran pendidikan dan sosialisasi sangatlah penting. Hal ini…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *