“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya!”
Lagu Indonesia Raya yang sudah dihapalkan di luar kepala oleh masyarakat Indonesia ini rupanya menyiratkan pesan tentang pentingnya kesehatan jiwa. Ini terlihat pada kata “jiwa” yang disebut lebih dulu daripada “badan” yang menunjukkan betapa kesehatan jiwa atau mental bukanlah hal yang patut dipandang sebelah mata atau dikesampingkan daripada kesehatan fisik.
Berefleksi dari potongan lagu tersebut, Mamnu’ah, Dosen Keperawatan Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta yang mengambil spesialisasi dalam kesehatan jiwa sejak tahun 2009, menyampaikan, “Gangguan jiwa itu sama dengan gangguan fisik.” Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) juga memerlukan perawatan dan penanganan yang tepat. Sayangnya, sebagian besar masyarakat yang belum menyadari hal ini lebih memilih untuk abai ataupun menutup-nutupi ketika ada salah seorang anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa.
Mamnu’ah yang mendapatkan kesempatan pendanaan dari Dirjen Dikti maupun AIPNI (Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia) untuk program riset dan pengabdian menginisiasi beberapa kegiatan untuk mewujudkan Desa Peduli Gangguan Jiwa khususnya di wilayah Kulon Progo, yang pada tahun 2018 memiliki angka gangguan jiwa paling tinggi di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Program Demi Program
Mengawali risetnya pada tahun 2009, perempuan kelahiran Indramayu ini menemukan dua fenomena dalam isu kesehatan jiwa di masyarakat. Pertama, adanya stigma negatif yang memandang bahwa gangguan jiwa adalah aib dan harus disembunyikan. Akibatnya, kerap kali orangorang yang sebenarnya butuh penanganan kesehatan malah tidak bisa terpenuhi kebutuhannya karena mereka hanya dilarikan ke “orang pinter” dan pada akhirnya terlambat ditangani.
Menurut Mamnu’ah, “Semakin diketahui dari awal, semakin cepat diintervensi, diterapi, itu akan semakin bagus.” Lebih sulit lagi, jika keluarga juga belum memiliki pemahaman yang baik dalam menghadapi ODGJ ketika di rumah. ODGJ hanya dibiarkan sendiri dan tidak diajak berbicara yang menyebabkan mereka jadi lebih sering berhalusinasi. Bahkan, sebagian keluarga memilih memasung anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa agar tidak pergi kemana-mana.
Selain itu, fenomena kedua dari penanganan kesehatan jiwa dalam temuan di Kulon Progo adalah akses pengobatan. Obat yang perlu dikonsumsi memang tidak murah dan lokasi tempat berobat yang bisa diakses terkadang jaraknya sulit terjangkau. Melihat ada dua kondisi itu, Mamnu’ah bersama tim kemudian berinisiatif memberdayakan Puskesmas Galur 2 di Kulon Progo yang melingkupi Desa Kranggan, Desa Nomporejo, serta Desa Banaran untuk mengadakan programprogram peduli sehat jiwa. Bersama tim, ia membentuk Posyandu Kesehatan Jiwa yang memberikan berbagai layanan untuk ODGJ.
Di sana, para pengakses layanan mendapatkan KMS alias Kartu Menuju Sehat Jiwa yang menunjukkan rekam perkembangan kesehatan jiwa warga yang bersangkutan. Di antara layanan-layanan yang disediakan adalah sesi pemeriksaan fisik, sesi pengkajian kesehatan jiwa (screening), serta sesi konseling yang dilakukan baik untuk ODGJ maupun keluarganya.
Baca Juga: Pentingnya Menjaga Kesehatan Jiwa Mahasiswa
Lebih lanjut, Mamnu’ah juga melatih kader-kader yang terdiri dari warga setempat untuk dapat terlibat dalam pelaksanaan program. Di samping itu, program-program terapi berupa pelatihan keterampilan juga diadakan, meskipun pelaksanaannya belum bisa berjalan secara berkelanjutan. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah pelatihan menjahit, membuat kerajinan, beternak, dan sebagainya. Perempuan yang mengajar mata kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa di UNISA tersebut menjelaskan bahwa program-program pelatihan semacam itu memiliki dampak positif dalam meningkatkan kepercayaan diri ODGJ.
Harapan: Komprehensif dan Berkelanjutan
Saat menjalankan programnya, Mamnu’ah juga menemui beberapa tantangan dalam proses pemulihan ODGJ. Misalnya, pasien yang tiba-tiba berhenti berobat di tengah jalan. Hal ini bisa terjadi karena mereka berpikir sudah sembuh atau malah khawatir akan kecanduan kalau terus menerus mengonsumsi obat, padahal sebetulnya itu bisa dikonsultasikan kepada dokter yang bersangkutan.
Tantangan lainnya adalah jika keluarga tidak bisa mendampingi secara optimal. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa mereka juga memiliki beban tersendiri ketika mendampingi ODGJ di rumahnya. Oleh karena itu, menurut Mamnu’ah, diperlukan adanya penanganan kesehatan jiwa yang komprehensif dan berkelanjutan. Terapi tidak hanya dilakukan untuk individu, namun juga keluarga dan komunitas di lingkungan ODGJ menetap.
Program-program yang dijalankan di puskesmas, menurutnya, juga masih memerlukan dukungan pihak-pihak lain. Keterlibatan multisektor diperlukan agar usaha penguatan kesehatan jiwa ini bisa mencakup aspek preventif, promotif, kuratif, maupun rehabilitatif. Selain proses pemulihan, ia juga menjelaskan bahwa ada upaya lain yang perlu dipikirkan. “Bagaimana membuat mereka berdaya, bisa produktif,” tuturnya.
Mereka perlu diajak belajar melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih-lebih bisa menghasilkan keuntungan agar menumbuhkan kepercayaan diri. Selain itu, dengan melakukan berbagai kegiatan, ODGJ jadi tidak fokus terhadap halusinasinya. Tentu hal-hal seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh institusi kesehatan saja, namun juga pihak-pihak lain.
Perempuan yang merupakan bagian dari Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah Brajan, Tamantirto, Bantul ini juga menyebut bahwa ‘Aisyiyah memiliki potensi untuk bisa turut berperan. Misalnya dengan mendirikan Ranting ‘Aisyiyah Siaga Sehat Jiwa, yang sedang mulai dirintis juga di Brajan. Selain itu, kampus dan lembaga pendidikan Muhammadiyah juga bisa saling turut mendorong edukasi kesehatan jiwa sejak dini di pendidikan formal. [10/23] (Ahimsa W. Swadeshi)