Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Meski tidak sederhana, menurut Amin Abdullah, tema “Posisi Perempuan Berkemajuan: Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Kemanusiaan Universal” yang diangkat dalam Pengajian Ramadhan 1443 H PP ‘Aisyiyah merupakan tema yang harus dibicarakan. “Tema yang diangkat ini minimal dibicarakan,” kata dia, Kamis (21/4).
Guru Besar Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga ini memulai pembicaraanya dengan menjelaskan bahwa banyak ayat al-Quran yang menekankan pentingnya keseimbangan antara iman dan ilmu. Beriman tidak cukup tanpa ilmu. Pun demikian, berilmu saja tidak cukup tanpa punya keimanan. Merujuk Q.S. ar-Rahman: 33, Amin menekankan bahwa penguasaan ilmu sangat penting dalam rangka mengeksplorasi alam semesta.
Meski begitu, sebagaimana Q.S. ar-Rum: 41, penguasaan ilmu pengetahuan disebut beriringan dengan kerusakan alam dan perubahan iklim. Atas dasar itu, manusia perlu berhati-hati bersikap dan bertindak. “Abad kedua Muhammadiyah–‘Aisyiyah harus turut serta nimbrung menyelamatkan bumi,” terangnya menegaskan.
Menurut Amin, peradaban Islam saat ini banyak terjadi kemiskinan, kesenjangan, kemunduran, dan sebagainya. Jika ditarik ke belakang, kemunduran Islam itu bukan karena era kolonialisme, tetapi karena muncul dan berkembangnya pemahaman yang rigid pada abad 11-13. Pemahaman yang rigid itu menjadikan umat Islam mengalami krisis kebudayaan dan peradaban.
Baca Juga: Kader Aisyiyah Harus Jadi Uswah Hasanah di Bidang Iptek
Ketika ilmu dan pengetahuan dipandang secara terbuka, kata dia, muncullah kemajuan. Sebaliknya, ketika umat Islam tidak menguasai ilmu pengetahuan, maka toleransi akan berubah menjadi xenophobic, anti terhadap orang lain yang berbeda. Sikap anti itulah yang selanjutnya menjadi penghalang bagi adanya kemajuan.
Amin mengatakan, sumbangan peradaban Islam terhadap peradaban sains modern memang sangat besar. Peradaban Islam dulu mengenalkan metode observasi, analisis, dan sebagainya. Sayangnya, itu dulu. Sekarang, dunia Islam tidak punya pengalaman tentang penemuan iptek yang brilian. “Ini tugas Islam berkemajuan untuk membangkitkan kembali agar kita kembali percaya diri dengan menguasai iptek,” ujarnya.
Salah satu sebab utama kenapa sains tidak berkembang pada abad modern dan post-modern di dunia Islam adalah karena penguasaan sains umat Islam masih rendah. Dengan populasi sekitar 1,5 miliar, kata Amin, umat Islam hanya memproduksi 1,4% atau sekitar 12 orang peraih nobel sejak tahun 1901. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan kaum Yahudi dan umat Kristiani.
Lebih lanjut, mengutip pandangan Mohammad Arkoun, sebelum mengalami kemunduran, humanisme di dalam dunia Islam punya tiga pilar, yakni al-insiyyah al-diniyyah, al-insiyyah al-adabiyyah, dan al-insiyyah al-falsafiyyah-‘ilmiyyah. Artinya, umat Islam perlu mengunggulkan kembali nilai agama, akal pikiran, dan kemanusiaan universal.
Dalam rangka membangun peradaban Islam yang maju itu, Amin berpandangan bahwa perempuan harus ditempatkan sebagai partner in progress yang setara. Selain itu, perlu juga dilakukan integrasi keilmuan. “Integrasi ilmu menjadi penting. Cara kita berilmu tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama. Termasuk para perempuan harus punya keilmuan yang multi perspektif,” pungkasnya. (sb)