Brasil, Suara ‘Aisyiyah – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti dalam The 2024 G20 Interfaith Forum and PaRD Annual Forum on Religion and Sustainable Development yang digelar pada tanggal 19-21 Agustus 2024 di Brasil mengenalkan Muhammadiyah sebagai organisasi non-profit yang pendanaan utamanya dari filantropi Islam yaitu zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah, dan hadiah.
“Muhammadiyah saat ini memiliki 167 pendidikan tinggi, 5346 pendidikan dasar dan menengah termasuk 444 pesantren, lebih dari 20.000 taman kanak-kanak, 126 rumah sakit, 630 panti asuhan, dan layanan sosial lainnya,” jelas Mu’ti pada Jumat (23/8).
Dalam forum tersebut Mu’ti juga menjelaskan bahwa pendidikan di Muhammadiyah bersifat inklusif, dimana siswanya memiliki agama, ras, etnis, dan budaya yang berbeda.
“Siswa dalam pendidikan Muhammadiyah mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan agama mereka masing-masing yang diajarkan oleh guru pendidikan agama yang memiliki agama yang sama dengan siswa. Ini adalah pendidikan agama yang pluralistis yang bertujuan membangun masyarakat yang harmonis dan inklusif,” jelas Mu’ti.
Mu’ti juga memaparkan bahwa agama yang multikultural dan inklusif didasarkan pada empat fondasi. Yang pertama adalah fondasi teologis. Agama adalah disposisi alami dan martabat manusia. Manusia memiliki kebebasan untuk atau dari agama.
“Oleh karena itu, tidak ada paksaan dalam beragama: la ikraha fi al-din,” ungkap Mu’ti. Kedua adalah fondasi teoritis yaitu pluralisme positif. Pluralitas agama dan budaya adalah kehendak Tuhan (sunnatullah). Fondasi ketiga adalah budaya.
Baca Juga: Gerakan Infak Pendidikan 111 Muhammadiyah Ikhtiar Pengadaan Dana Abadi Pendidikan Muhammadiyah
Orang Indonesia memiliki tradisi toleransi, keterbukaan, dan harmoni antar agama. Ada tradisi dan hikmah lokal yang relevan dengan pengajaran agama. Fondasi keempat adalah politik.
“Indonesia adalah negara Pancasila yang mengakui keberadaan agama dan budaya sebagai kekayaan negara. Sejalan dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika, persatuan bukanlah keseragaman,” jelas Mu’ti.
Dalam hal ini, Negara menghormati, melindungi, dan memfasilitasi masyarakat untuk memiliki dan mengekspresikan agama dan budaya semua warga negara.
Mu’ti dalam forum itu juga memaparkan bahwa pendidikan agama yang inklusif dan multikultural dikembangkan menurut tiga strategi. Yang pertama adalah head to head (secara langsung) yang bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama dan budayanya sendiri dan orang lain.
“Muhammadiyah dengan Institut Leimena dan mitra lainnya menyelenggarakan lokakarya tentang Cross Cultural Religious Literacy (CCRL) sebagai salah satu contoh bagaimana membangun literasi tentang agama dan budaya lain,” jelas Mu’ti.
Kedua adalah heart to heart (hati ke hati) yang bertujuan membangun empati, simpati, dan penerimaan terhadap orang lain.
“Terakhir adalah bergandengan tangan atau bersama-sama untuk membangun tanggung jawab bersama demi kebaikan bersama,” pungkas Mu’ti.