Lensa OrganisasiSejarah

Di Mana Aisyiyah Ketika Masa Revolusi Indonesia?

Oleh: Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi*

Tahun ini, Indonesia telah memasuki usia yang ke-79. Hal ini menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan para pendahulu di masa proklamasi maupun mempertahankan kemerdekaan yang dikenal dengan masa revolusi yang periodenya merentang pada 1945-1950.

Saat membuka buku-buku sejarah nasional untuk melihat lebih dalam periode revolusi di Indonesia, sekilas tidak banyak ditemukan narasi tentang perempuan. Lebih khusus kalau kita ingin menengok kiprah ‘Aisyiyah di masa revolusi Indonesia pada buku-buku sejarah nasional mainstream, terkesan kurang tampak lagi.

Seakan seluruh rangkaian peristiwa di masa revolusi diisi oleh kaum laki-laki saja. Padahal kaum perempuan juga eksis dengan segala peran yang diambil. Tulisan ini ingin mengulas eksistensi ‘Aisyiyah di masa revolusi Indonesia sekaligus menjawab mengapa terkesan tulisan tentang ‘Aisyiyah di masa itu tidak banyak ditemukan.

‘Aisyiyah Tetap Eksis

Menjelang kedatangan Jepang, kiprah ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan yang progresif masih terekam dalam dokumen-dokumen koran Belanda seperti Soerabaijasch handelsblad, De Indische courant, dan Bataviaasch nieuwsblad. Koran-koran itu memberitakan tentang Kongres Muhammadiyah di Purwokerto pada bulan 30 Desember 1941 dan secara khusus ‘Aisyiyah juga mengambil bagian karena ada beberapa agenda kongres yang dikhususkan untuk anggota ‘Aisyiyah.

Tercatat dalam rangkaian kongres yang diselenggarakan pada 24-29 Desember itu tedapat beberapa bahasan yang terkait perempuan. Pada Kamis, 25 Desember Ki Bagus Hadikusumo menyampaikan tentang pendidikan, gizi, dan isu perempuan. Selain itu, pada Sabtu malam, 27 Desember diselenggarakan sidang pleno ‘Aisyiyah dengan agenda utama pidato oleh Siti Hidjanah tentang aspirasi perempuan.

Sedangkan di hari berikutnya, tema-tema yang dibahas dalam sidang ‘Aisyiyah adalah tentang “dunia remaja” oleh Ibu Parjaman dari Bandung; “Aisyiyah dan perekonomian” oleh perwakilan ‘Aisyiyah Solo; dan motivasi berjuang di ‘Aisyiyah oleh Ibu Siti Mundjiah (tertulis Moendiah) dari Yogyakarta.

Jauh sebelum itu, ‘Aisyiyah juga sudah terlibat dalam Kongres Perempuan Pertama pada 22 Desember 1928 dengan mengirimkan Siti Mundjijah dan Siti Hajinah. Dalam kongres itu lahirlah Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia dan dirubah pada setahun setelahnya menjadi Perikatan Perkoempoelan Isteri Indonesia (PPII).

Pada 1946 PPII berubah menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Perwakilan ‘Aisyiyah terus aktif dalam organisasi dan hadir dalam setiap kongresnya. Skripsi Yuliana (2006) di UIN Sunan Kalijaga mengutip wawancara dengan Uswatun Chasanah mengisahkan bahwa ‘Aisyiyah mengu- sulkan agar KOWANI menerbitkan publikasi yang menyuarakan aspirasi perempuan dan kemudian ditunjuklah Siti Hajinah sebagai pimpinan redaksi. Siti Hajinah sudah memiliki pengalaman dalam dunia media karena sudah bertahun-tahun menjadi Pimpinan Redaksi Suara Aisyiyah.

Pada kongres KOWANI di Magelang pada 1947 yang salah satunya dihadiri oleh ‘Aisyiyah, ‘Aisyiyah mengirimkan resolusi yang menentang pengiriman pasukan Belanda ke wilayah kedaulatan Indonesia. Meski pada 1947 juga, ‘Aisyiyah sempat menyatakan keluar dari KOWANI karena afiliasinya para organisasi perempuan yang berhaluan komunis, Women’s International Democratic Federation (Yuliana, 2006). Dinamika ‘Aisyiyah di KOWANI tersebut menunjukkan eksistensi Aisyiyah di masa revolusi dan wujud kepekaan ‘Aisyiyah pada isu-isu global.

Minimnya Literatur

Sebagai organisasi perempuan yang telah memiliki jaringan luas baik di internal maupun eksternal organisasi, menjadi sebuah tanda tanya besar jika ‘Aisyiyah kemudian menghilang begitu saja di sekitar masa revolusi. Hal yang perlu disadari bahwa eksistensi ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan di masa revolusi sebenarnya banyak diperankan oleh person pimpinan maupun anggotanya.

Maka wajar jika tidak banyak literatur sejarah yang tidak mengulas ‘Aisyiyah sebagai organisasi di masa ini. Selain itu, ‘Aisyiyah di masa revolusi masih merupakan bagian dari Hoofdbestuur (Pengurus Besar) Muhammadiyah. Secara organisatoris, perjuangan Muhammadiyah secara fisik saat itu menyatu melalui Masyumi dengan sayap para-militernya, yakni Hizbullah dan Sabilillah Muslimat (Lihat: Fogg, 2020). Selain itu, secara khusus di Yogyakarta juga dibentuk Markas Ulama Askar Perang Sabil (MUAPS) yang sebagian para pimpinannya merupakan para pimpinan Muhammadiyah.

Baca Juga: Perkembangan Aisyiyah dari Masa ke Masa (Pasca Kemerdekaan)

Surat kabar Boelan Sabit yang diterbitkan oleh Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang merupakan sayap pemuda dari Partai Masyumi merilis “Amanat Jihad Moehammadijah“ yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Muhammadiyah. Di halaman pertama surat kabar yang terbit di Solo pada 15 Juni 1946 tersebut fatwa untuk berjihad ini ditutup dengan kalimat motivasi

Kita jang ada digaris moeka soepaja teroes madjoe menjerboe pantang moendoer! Dan bagi kita jang ada digaris belakang soepaja tahan memperbanjak toendjangan dan pertolongan, dan pantang kaboer! Kerahkan segenap tenaga, harta benda, dan kepandaian oentoek mempertahankan kekalnja kemerdekaan Negara Repoeblik Indonesia dgn sema- ngat pemberani, djoedjoer, ichlas dan TAQWA. Moedah2-an dengan segera kita menang dan berbahagia. Negara kita kembali aman dan sentausa, kekal merdeka dan berdjasa!” (Suara Muhammadiyah, 7 Agustus 2021).

Fatwa ini diresapi betul oleh warga Muhammadiyah tak terkecuali anggota ‘Aisyiyah. Ada peran-peran yang diambil untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia baik di garda depan maupun belakang. Meski fatwa ini bisa dibilang terbit terlambat, namun semangat jihad fisabilillah mengusir penjajah telah muncul jauh sebelumnya.

Dari garda depan, seorang pelajar berusia tujuh belas tahun di pedalaman Sumatera Barat, Lela Rosma, dicatat kisahnya oleh Kevin Fogg dalam bukunya Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia. Rosma tergabung dalam Sabilillah Muslimat, sayap perempuan Sabilillah yang memiliki hubungan longgar dengan partai Masyumi yang secara lokal telah tumbuh dengan para ulama, sekolah Islam dan Muhammadiyah di Sumatera Barat, salah satunya Sekolah Menengah Putri Muhammadiyah (Trisnawati, 2019). Rosma mengisahkan ia terlibat langsung dalam perang dengan melontarkan bubuk cabai dicampur pasir ke mata para tentara Belanda (Fogg, 2020).

Di Yogyakarta, ibukota Indonesia di masa revolusi, saat penyerbuan markas Jepang di Kotabaru 7 Oktober 1945, peran kaum perempuan dan anggota ‘Aisyiyah lebih banyak terlihat dalam aktivitas palang merah dan dapur umum. Mengutip wawancara dengan Wasi’ah, mereka mendirikan dapur umum di Bausasran yang tidak jauh dari Kotabaru. Mereka bekerja sejak pagi buta untuk menyiapkan makan dan membagikan di sepanjang jalan yang dilalui oleh para pejuang (Yuliana, 2006).

Pos medis juga didirikan di sekitar Pos Polisi Gondokusuman. Para perempuan pejuang ini membantu para pejuang yang terluka di medan pertempuran Kotabaru di sekitar Kridosono dan membawanya ke rumah sakit PKU (Tashadi, dkk, 2000). Hal ini logis karena RS Petronela (sekarang Bethesda) yang jaraknya lebih dekat saat itu dikuasai Jepang dan diberi nama Jogjakarta Tjuo Bjoin. Beberapa pejuang yang wafat saat penyerbuan Kotabaru dimakamkan di makam belakang Masjid Gedhe Kauman, antara lain Abu Bakar Ali dan Muhammad Wardani.

Selain itu, terbentuknya MUAPS di Masjid Taqwa Suronatan pada 23 Juli 1947 dalam rangka merespons Agresi Belanda I yang menduduki beberapa wilayah kedaulatan Indonesia yang bertahan hingga 1949, menjadi ruang aktualisasi dan kontribusi bagi para pimpinan dan anggota ‘Aisyiyah.

Meski kiprah para perempuan pejuang ini tidak tercatat secara eksplisit, keberadaan para pimpinan Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo sebagai penasehat, H. R. Hadjid sebagai ketua, dan oleh K.H. Ahmad Badawi sebagai wakil ketua, serta Sarbini sebagai komandan di MUAPS yang seringkali berkegiatan di Masjid Takwa Suronatan maupun Masjid Gedhe Kauman tidak mungkin tidak melibatkan para warga ‘Aisyiyah di sekitar Suronatan dan Kauman untuk mendukung penyiapan logistik, palang merah, ataupun peran-peran lain.

Demikian catatan singkat tentang signifikansi kiprah dan eksistensi Aisyiyah di masa revolusi Indonesia yang datanya banyak terserak dan mungkin juga belum banyak digali serta perlu keberanian lebih untuk diinterpretasikannya.

*Sejarawan Muhammadiyah, Dosen Prodi Bisnis Perjalanan Wisata UGM

Nb. Tulisan ini telah terbit di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 8/24 dengan beberapa perubahan

Related posts
Berita

107 Tahun Aisyiyah, Perkuat Komitmen Menjawab Berbagai Problem Kemanusiaan Semesta

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Mengusung tema “Memperkokoh dan Memperluas Dakwah Kemanusiaan Semesta” ‘Aisyiyah  akan memperingati miladnya yang ke-107 tahun pada 19 Mei…
Berita

Tri Hastuti Dorong Warga Aisyiyah Kawal Demokrasi di Indonesia

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Menghadapi momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, banyak pertanyaan dari warga ‘Aisyiyah menyangkut pilihan dan keberpihakan ‘Aisyiyah. Sekretaris Umum…
Berita

Ikhtiar Wujudkan Pemilu Inklusif dan Berkeadaban, PP Aisyiyah Adakan Madrasah Politik Perempuan

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) PP ‘Aisyiyah bekerja sama dengan Program Inklusi ‘Aisyiyah pada Sabtu (20/1) mengadakan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *