Liputan

Di Tengah Perubahan Iklim, Apa yang Dapat Kita Lakukan?

menyelamatkan bumi
menyelamatkan bumi

menyelamatkan bumi (foto: pixabay)

Secara sederhana, perubahan iklim (climate change) dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika terjadi perubahan signifikan pada iklim bumi. Perubahan tersebut terjadi karena meningkatnya jumlah CO2 (karbon dioksida) di atmosfir yang mengakibatkan panas matahari terperangkap di sekitar bumi. Kondisi bumi yang semakin panas akan berdampak pada terjadinya berbagai bencana alam, seperti mencairnya es di kutub, banjir, badai, kekeringan, cuaca ekstrem, dan sebagainya.

Kondisi Bumi Saat Ini

Editor in Chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim menyampaikan bahwa sebenarnya tidak ada periode tertentu kapan terjadinya perubahan iklim bumi. Menurutnya, kenaikan emisi CO2 (gas buang karbon dioksida) dan temperatur suhu bumi terjadi secara gradual (bertahap). Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa setiap harinya jumlah manusia terus mengalami peningkatan, sedangkan luas bumi tidak bertambah. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan meningkatnya kebutuhan, dan gaya hidup manusia yang cenderung banyak melepaskan emisi CO2.

Sementara itu, Senior Ambassador GreenFaith Nana Firman menyatakan bahwa kenaikan tersebut terjadi secara signifikan dimulai sejak Revolusi Industri, terutama sejak aktivitas manusia banyak menggunakan energi fosil (minyak bumi, batu bara, dan gas bumi). “Ketika energi fosil banyak digunakan,” jelas Nana, “maka akan ada emisi yang dilepas”.

Selain penggunaan energi fosil yang berlebihan, Nana menjelaskan bahwa perubahan iklim tidak lepas dari masifnya pembabatan hutan dan perubahan fungsi lahan. Sebagaimana diketahui, satu-satunya makhluk hidup yang dapat menyerap CO2 adalah pohon. Ketika hutan dibabat secara besar-besaran, secara otomatis jumlah pohon akan berkurang. Berkurangnya jumlah pohon akan berdampak pada menurunnya daya serap CO2 di udara.

Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim bagi Kehidupan Bumi

Hutan Hujan Tropis (HHT) sebenarnya mempunyai fungsi untuk menurunkan kadar CO2, mengingat di sana terdapat konsentrasi pohon dalam jumlah yang banyak. Sayangnya, keberadaan HHT mayoritas berada di negara berkembang, seperti Brazil dan Indonesia. Sebagai negara yang sedang berkembang, proyek industrialisasi akan terus digenjot. Dan salah satu langkah buruknya adalah dengan melakukan pembabatan hutan (deforestasi).

Proyek deforestasi seringkali dilakukan dengan cara yang tidak bertanggungjawab, yakni dibakar. Parahnya, pembakaran tersebut dilakukan di atas lahan gambut, sehingga kian menambah jumlah CO2 yang keluar. Akhirnya, temperatur suhu bumi mengalami peningkatan. Selain peningkatan jumlah CO2 di udara, masyarakat sekitar juga menjadi korban karena lahan menyempit dan udara menjadi tidak bersih.

Perubahan fungsi lahan, misalnya dengan tujuan membuka lahan pertanian atau peternakan dengan level industri, juga punya efek negatif. Pasalnya, pembukaan pertanian atau peternakan industri akan menghasilkan limbah metana (CH4) yang tinggi. Gas metana dengan jumlah tinggi akan memperburuk kesehatan bumi.

Informasi yang dimuat di laman co2.earth mempertegas bahwa bumi sedang tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. Disebutkan per-tanggal 19 Maret 2021, emisi CO2 di atmosfir bumi berada pada angka 418.22 ppm (part per-million). Padahal angka amannya adalah 350 ppm. Tingginya angka emisi CO2 berdampak pada meningkatnya temperatur suhu bumi, apalagi mengingat jumlah pohon yang terus berkurang. Menurut Nana, kondisi tersebut menjelaskan kenapa ketika pandemi –di mana pengeluaran emisi CO2 berkurang—kondisi bumi tidak berangsur membaik. “Pandemi hanya berpengaruh sedikit. Tidak terlalu signifikan,” jelasnya.

Komitmen Bersama

Tahun 2015 yang lalu, 197 perwakilan dari negara-negara dunia menandatangani suatu kesepakatan yang isinya di antaranya adalah untuk menahan agar temperatur suhu bumi tidak berada di angka 2o C. Kesepakatan yang dibuat dalam forum UN Climate Change Conference 2015 (Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015) tersebut dinamai The Paris Agreement (Kesepakatan Paris).

Banyak kalangan menganggap kesepakatan tersebut sebagai titik balik bagi upaya mengurangi angka pemanasan global (global warming). Akan tetapi, sebagian yang lain merasa pesimis dan melontarkan kritik tajam karena menganggap kesepakatan tersebut ‘sebatas’ coretan hitam di atas putih tanpa ada komitmen serius dari negara peserta.

Tidak adanya komitmen serius tersebut misalnya terbukti dengan sedikitnya negara yang menyerahkan Nationally Determined Contribution (Kontribusi yang Ditentukan secara Nasional) pada tahun 2020. Padahal NDC merupakan inti dari Kesepakatan Paris, di mana negara peserta membuat strategi dan target nasional untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan angka pemanasan global. Selain itu, akhir tahun kemarin, tepatnya 4 November 2020, Amerika Serikat memutuskan untuk keluar dari kesepakatan tersebut.

Lemahnya komitmen negara peserta untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan angka pemanasan global tentu sangat disayangkan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perubahan iklim merupakan fenomena global. Dampaknya sangat luas dan besar bagi kelangsungan hidup seluruh ekosistem di bumi. Oleh karenanya, semestinya semua pihak, baik itu negara, organisasi keagamaan, kelompok masyarakat, maupun individu turut berkontribusi untuk menyelamatkan bumi, dan bukan malah memalingkan muka.

Masih Adakah Harapan?

Dalam QS. ar-Rum [30]: 41, Allah swt. menjelaskan secara gamblang bahwa kerusakan yang terjadi, baik di darat maupun di laut, adalah hasil perbuatan tangan manusia sendiri. Perbuatan tersebut di antaranya beruwujud sikap serakah, egois, acuh tak acuh, dan sebagainya. Perubahan iklim merupakan salah satu dampak dari perbuatan sewenang-wenang tersebut.

Didi Kaspi menyadari bahwa saat ini manusia tidak akan mampu menyelesaikan persoalan perubahan iklim. Meski begitu, manusia punya peran sentral untuk meminimalisir dampak buruk dari kondisi tersebut. “Perubahan iklim terjadi karena perilaku atau gaya hidup manusia, maka kita bisa meminimalisir dampak buruknya dengan mengubah pola hidup kita untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan sejahtera,” ujarnya ketika dihubungi SA.

Lebih lanjut, ia optimis bahwa manusia masih punya kesempatan untuk tinggal di planet yang sejahtera dengan ekosistem yang tangguh. Tentu ada syarat yang mesti dipenuhi. Syarat utama, menurutnya, adalah dengan mengubah stigma bahwa alam akan terus menyediakan semua kebutuhan manusia. Stigma tersebut terbukti membuat segelintir orang menjadi kalap dengan melakukan eksploitasi terhadap alam tanpa mempertimbangan efek negatif yang ditimbulkan terhadap masa depan bumi dan terutama umat manusia.

Baca Juga: Gerakan Peduli Lingkungan

Senada dengan Didi Kaspi, sikap optimis juga disampaikan Nana Firman. Wakil Ketua Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat itu mengatakan bahwa upaya untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan aman masih sangat memungkinkan, meskipun tidak dalam waktu dekat. Ia melihat adanya kesadaran oleh berbagai pihak untuk (kembali) bersikap ramah terhadap lingkungan. Kesadaran itu misalnya tercermin dengan dikembangkannya teknologi yang ramah lingkungan.

Nana membayangkan sekiranya organisasi keagamaan dan kelompok masyarakat menerapkan teknologi ramah lingkungan di lingkupnya masing-masing, seperti di masjid, universitas, pesantren, dan sebagainya, tentu akan terjadi perubahan yang cukup signifikan bagi kesehatan bumi.

Ia tidak menampik fakta bahwa untuk menuju cita-cita tersebut dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karenanya, semua komponen harus terlibat; mulai dari memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan, mendorong agar tiap-tiap institusi atau komunitas agama merancang kebijakan dan program ramah lingkungan di levelnya masing-masing, menekan pemerintah untuk menunjukkan iktikad baiknya dengan menutup pintu bagi para mafia lingkungan mengekspoitasi alam, dan menuntut negara-negara maju untuk memberikan bantuan finansial bagi negara berkembang.

Kita tidak dapat menutup mata bahwa bumi tengah menderita sakit kronis akibat perubahan iklim. Akan tetapi, kita tidak boleh berputus asa dan berhenti berusaha. Bukankah dalam QS. Yusuf [12]: 87 Allah swt. mengingatkan kita untuk tidak berputus asa? Dan bukankah Rasulullah saw. pernah bersabda untuk tetap menanam benih atau tunas pohon bahkan sekiranya besok terjadi kiamat? Lantas, apa lagi yang kita tunggu? Mari bergerak, mari berkontribusi. (Sirajuddin)

Related posts
Berita

Lingkungan Rusak, Siapa Paling Terdampak? Ya, Anak Muda!

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Banjir parah yang melanda provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2021 terekam jelas dalam ingatan Kholida Annisa. Perempuan yang…
Inspirasi

Resep Ala Aeshnina: Perjuangan Menyelamatkan Lingkungan

Pada tahun 2019, masyarakat Jawa Timur sempat digegerkan oleh temuan beberapa telur ayam yang mengandung senyawa berbahaya dioksin. Tepatnya, di Desa Bangun,…
Berita

Semarak Milad ke-105, Madrasah Muallimaat Gelar Aksi 1500 Santri Muallimaat dan Aisyiyah

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Dalam rangka menyemarakkan Milad yang ke-105, Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta menggelar Aksi 1500 Santri Mu’allimaat dan ‘Aisyiyah, Sabtu…

9 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *