Wawasan

Dilema Pernikahan Usia Anak: Bolehkah Jatuh Cinta Sebelum Siap Nikah?

(ilustrasi: pixabay)

Oleh: Alimatul Qibtiyah

Allah swt. menciptakan manusia dan menghiasinya dengan naluri, antara lain senang kepada lawan jenisnya. Hal ini tidak hanya terjadi kepada manusia dewasa, bahkan juga terjadi pada anak-anak dan remaja. Zaman sekarang banyak orang menikah karena memang mencintainya sebelum mereka menikah bukan karena dijodohkan oleh orang tua atau ustadznya yang dikenal dengan istilah cinta ba’da nikah.

Fenomena ini melahirkan dilema boleh tidaknya seseorang jatuh cinta sebelum menikah. Atau juga kalau sudah terlanjur jatuh cinta akankah segera dinikahkan untuk menghindari perzinaan walaupun belum siap baik secara fisik, psikis, sosial, dan ekonomi? Ataukah perlu dikelola cinta yang ada sehingga tidak terjerumus kepada perilaku ta’aruf (pacaran) yang dilarang oleh agama, seperti berduaan, bermesraan, berciuman, bahkan perzinaan. Dengan demikian, jika memang sudah siap secara fisik, psikis, sosial, dan ekonomi, cinta dua sejoli ini dapat dilanjutkan ke pernikahan yang halal dan aman.

Tulisan ini akan membahas tentang salahkah jatuh cinta sebelum siap menikah dan bagaimana mengelola cinta sebelum siap menikah supaya tidak terjerumus kepada perilaku yang dilarang agama? Cinta adalah anugerah Allah. Dalam al-Quran surat ar-Rum ayat 21 disebutkan bahwa Allah menciptkan pasangan kita agar kita merasa tenteram dan bahagia. Selain itu, dalam al-Quran surat al-Hujarat ayat 13 juga disebutkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan supaya saling mengenal. Paling tidak dua ayat ini menunjukkan bahwa sebenarnya jatuh cinta itu adalah naluriah, dan merupakan salah satu rahmat Allah swt. Poin penting yang perlu dikaji lebih lanjut adalah bagaimana mengelola cinta tersebut.

Baca Juga: Benarkah ‘Aisyah Menikah pada Usia Enam Tahun?

Selain landasan al-Quran, ada hadis populer yang terkait dengan pengelolaan cinta ini yaitu sabda Nabi saw. yang ditujukan kepada Ali bin Abi Thalib,

Artinya, janganlah mengikutkan pandangan dengan pandangan, karena pandangan pertama ditoleransi bagimu, dan tidak untuk selainnya” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan at-Tirmidzi melalui Buraidah).

Hadis ini sering disingkat dengan “pandangan pertama nikmat dan pandangan kedua laknat”. Hadis ini menunjukkan bahwa pandangan pertama nikmat atau ditoleransi itu rasa jatuh cinta. Jatuh cinta itu adalah tanda bahwa dia seorang yang normal, sehingga jika ada remaja yang mulai tertarik dengan lawan jenisnya maka orang tua tidak perlu langsung menyalahkan, malah justru harus bersyukur bahwa putra atau putrinya adalah manusia yang normal.

Pandangan kedua laknat ini adalah pandangan birahi yang mengarah pada nafsu terlarang oleh agama atau disebut sebagai “pengantar surat zina”. Akan tetapi, bagaimana kalau pandangan kedua atau ketiga dan seterusnya itu tidak disertai dengan syahwat atau tidak dikhawatirkan adanya rangsangan berahi? Secara subtantif hal itu tidak masalah. Namun yang penting dalam hadis ini adalah bagaimana mengelola pandangan itu agar tidak sampai dilaknat dan tidak dapat ditoleransi.

Dalam konsep pendidikan seksualitas ada istilah “I feel and I believe”. Perbedaan antara kenyataan dan nilai adalah aspek penting ketika berbicara nilai dalam pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Pernyataan yang dimulai “apa yang saya yakini (I believe) dan apa yang saya rasakan (I feel)” akan membantu anak atau remaja dalam menghadapi perbedaan antara nilai dan kenyataan yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan yang benar. Di saat melihat orang yang disukai itu gemetar (I feel), ini adalah hal yang normal. Namun saat itu juga harus ingat dengan apa yang saya yakini atau ajaran agama yang harus saya pegang teguh (I believe), tidak boleh rasa cinta ini diteruskan ke arah nafsu birahi selayaknya suami-istri.

I feel dan I believe ini harus dibarengi dengan pendidikan seksualitas secara tepat dan benar, di antaranya dengan memberikan penjelasan bahwa jika perempuan sudah haid dan laki-laki sudah mimpi basah, maka secara fisik mereka sudah dapat menciptakan manusia baru jika mereka melakukan hubungan layaknya suami-istri. Perlu ditekankan bahwa dari sisi kesehatan reproduksi, sebelum berumur 21 tahun belum dapat dikatakan sehat, terutama bagi perempuan masih rentan dengan permasalahan reproduksi.

Selain itu jika merencanakan menjadi suami istri juga tidak hanya siap fisik tetapi juga siap secara psikis, sosial, dan ekonomi. Secara psikis mereka harus siap dan menyadari bahwa mereka sudah mulai hidup berpasangan, tidak sendiri lagi, dan siap juga menghadapi perbedaan dan konflik tidak hanya dengan pasangannya tetapi juga dengan keluarga besar pasangannya.

Secara sosial mereka akan dianggap dewasa oleh masyarakat karena sudah berkeluarga, karena itu kewajiban sosial sebagai warga negera sudah otomatis melekat padanya. Secara ekonomi jelas bahwa keluarga harus memenuhi kebutuhan dasarnya, sandang, pangan, papan, dan juga kesehatan.

Baca Juga: Prinsip al-Musawa dalam Pernikahan

Ada konsep yang mudah disampaikan kepada remaja yang sudah mulai jatuh cinta tetapi belum siap menikah, yaitu ta’aruf dengan rukun Islam.

Pertama, syahadat: Ungkapkan cinta Anda pada orang yang memang anda cintai, jangan hanya dibatin, karena tidak banyak orang yang dapat membaca suara hati seseorang. Namun bukan asal rasa cinta, karena cinta itu buta tanpa kematangan diri. Lebih elok lagi ungkapkan rasa cinta itu kepada dzat yang memiliki rasa cinta. Adukan kegalauan hati, mohon kekuatan dan bimbingan-Nya agar terpelihara dari segala yang dilarang.

Kedua, salat: Pupuklah cinta dengan tetap dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Jadikanlah rasa cinta sebagai energi positif yang mendorong seseorang semakin aktif ibadah, pergi ke masjid, semakin semangat belajar, dan semakin banyak menolong dan berbagi kebaikan. Jangan malah sebaliknya.

Ketiga, zakat: Cinta butuh pengorbanan, namun ingat tidak perlu berkorban jiwa raga secara total kepada dia. Dia tetap bukan apa-apa, bukan suami istri. Perjuangan dan pengorbanan perlu diarahkan untuk mempersiapkan diri meraih masa depan yang lebih baik.

Keempat, puasa: Tahan dulu dia belum milikmu, janganlah melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Segala sesuatu ada waktunya. Tahan diri, dan alihkan pikiran, perhatian, serta energi yang dimiliki untuk hal-hal yang lebih penting dan lebih baik. Semua akan menjadi indah pada masanya.

Kelima, haji: Kalau sudah siap secara fisik, psikis, sosial dan ekonomi maka terbuka pintu bahagia. Pergilah untuk membangun mahligai rumah tangga. Tidak perlu ditunda-tunda. Jika Allah telah mempertemukan pasangan seakidah dan kafa’ah, maka bisa bersegera.

Remaja yang jatuh cinta tetapi belum siap menikah juga harus diajari cara berkomunikasi yang asertif. Berani mengungkapkan pikiran, perasaan, hak, dan kebutuhan pribadi, memperhatikan dan menghormati pikiran dan perasaan orang lain dan menekankan penyelesaian masalah secara efektif (menggunakan bahasa yang baik, sopan, santun).

Katakan “TIDAK” pada ajakan yang menjurus kemaksiatan, bahkan menjurus pada hubungan suami-istri sebelum menikah, karena hal itu BUKAN tanda CINTA seseorang. Memang terkadang mengatakan “Tidak” untuk sesuatu yang menyenangkan amatlah berat, tetapi yakinlah bahwa hidup dengan menanggung konsekuensinya jauh lebih berat.

Upaya-upaya ini menjadi sangat penting, karena jika kita memilih untuk menikahkan anak akan banyak menimbulkan persoalan. Anak-anak yang seharusnya sekolah dan berproses di masyarakat agar menjadi sosok yang keren, berkarakter, dan visioner akan terhenti jika harus menikah dan memikirkan keluarga sebelum waktunya.

Pernikahan adalah perjanjian yang sakral dan sungguh-sungguh (mitsaqon gholidzo) yang mengedepankan kesadaran berpasangan, rasa kesalingan dan musyawarah. Hal ini bukanlah mudah, karena jika tidak dipahami dengan baik, maka banyak pasangan yang berakhir dengan perceraian yang membawa luka nestapa anggota keluarga. Dakwah pencerahan dengan pendekatan humanitas yang mengantarkan dan mempersiapkan remaja yang sehat, keluarga yang sakinah harus tetap digerakkan di masyarakat. Semoga tidak lagi banyak terjadi pernikahan dini di negeri ini, aamiin.

Related posts
Konsultasi Keluarga

Strategi Mengelola Hubungan dengan Anak Tiri

Pertanyaan: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Kak ‘Aisy yang saya hormati. Saya seorang perempuan lajang berusia di atas 30 tahun. Saya berencana menikah dengan…
Politik dan Hukum

Peran Keluarga dalam Pendidikan Politik

Oleh: Susilaningsih Kuntowijoyo Tahun 2024 merupakan tahun politik karena pada tanggal 14 Februari 2024 akan diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres)…
Keluarga Sakinah

Pengasuhan dan Generasi Anti Perundungan

Oleh: Elli Nur Hayati* Belakangan kita banyak mendengar dan melihat, baik secara langsung maupun tidak langsung, perundungan yang dilakukan terhadap seseorang yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *