Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Sebelum terbentuk sebuah negara bernama Indonesia, para pendahulu kita sudah mewariskan sebuah konsep dan praktik Bhineka Tunggal Ika. Hal itu dibuktikan dengan keragaman masyarakat Nusantara, baik dari segi suku, bahasa, agama, serta pulau yang ada.
Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah Diyah Puspitarini dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan tema “Keberagaman dan Nasionalisme Kaum Muda”, Jumat (15/10).
Dalam kesempatan tersebut, merujuk pada survei yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Mahasiswa (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (2018), Diyah menunjukkan ada: 58,15% pelajar dan mahasiswa yang cencerung mempunyai pandangan radikal; 51,1% yang intoleran kepada mereka yang seagama, dan; 34,3% yang bersikap intoleran terhadap pemeluk agama lain.
Penelitian lain menunjukkan bahwa: 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak lagi relevan, dan; 52% siswa setuju dengan kekerasan berkedok solidaritas keagamaan dan 14% di antaranya membenarkan serangan bom.
Berangkat dari data survei itu, Diyah kemudian memetakan beberapa sebab lunturnya nasionalisme di kalangan anak muda, yakni: (a) modernisasi; (b) tidak paham dengan Pancasila dan Dasar Negara; (c) ideologi negara yang bersifat dogmatis; (d) tidak memahami sejarah bangsa, dan; (e) praktik nasionalisme yang masih sebatas formalitas.
Baca Juga: Najib Burhani: Nasionalisme Kosmopolitan ala Kaum Milenial
Dihadapkan pada realitas itu, nasionalisme pada anak muda harus diajarkan dan ditumbuhkan oleh sub-kelompok masyarakat terkecil, yakni keluarga. Keluarga menjadi elemen penting dalam memberikan nilai-nilai nasionalisme kepada anak sejak dini. Selain keluarga, menurut Diyah, sekolah, komunitas, organisasi, dan masyarakat juga harus menjadi tempat belajar bagi anak muda untuk menumbuhkan nasionalisme.
Jika ditarik ke dalam lingkup Muhammadiyah, Diyah mengatakan bahwa para pimpinan dan kader Muhammadiyah perlu memasifkan dan mengintensifkan bentuk dakwah yang inklusif. Hal itu dapat dilakukan dengan dua cara, yakni: (a) memaknai cara dakwah sebagai bentuk kecintaan terhadap bangsa dan; (b) bergandengan tangan dengan berbagai pihak (lintas organisasi dan agama) dalam mengentaskan isu krusial bangsa.
Sebagai kader Muhammadiyah, umat, dan bangsa, kesadaran keberagamaan dan nasionalisme itu dapat diwujudkan dengan memiliki komitmen dan prinsip moral yang didasarkan pada nilai agama dan ketaatan kepada hukum negara yang berlaku.
Sebagai pungkasan, Diyah mengatakan, “ke depannya, anak-anak muda harus lebih berilmu dan mengedepankan logika serta nilai-nilai perdamaian, karena yang kita usung adalah aspirasi yang harusnya membentuk negara kita semakin beradab”. (silvi)