Oleh: Made Dike Julianitakasih Ilyasa
Matahari berang membikin panas segala yang ada di bumi. Setitik peluh mulai muncul menembusi pori. Kunci motor yang terikat gantungan bulat bergambar politikus kuputar dalam posisi mati. Tak pernah aku lama-lama perhatikan wajah politikus yang entah bagaimana selalu tersenyum lebar itu kecuali pada saat-saat seperti ini.
“Datang, tuh,” kata seorang ibu dalam bahasa Jawa yang tengah duduk menunggui anaknya di pelataran depan kelas. Sontak ibu-ibu di sekitarnya yang juga sedang duduk menunggu di bangku kayu menoleh kepadaku.
“Lo, bukannya baru kemarin lusa suaminya meninggal?” ibu lainnya menanggapi.
“Pantesan, pasti suaminya stres ngurus istri begitu. Yang dipikir cuma kerja, kerja, kerja. Mata duitan.”
“Perempuan mestinya ngurus anak suami di rumah yo, wong suami yang bagian cari uang.”
“Eh, Bun, belum tahu ya? Pas suaminya pergi katanya dheke sering terima tamu laki-laki .…” Percakapan itu terus berlanjut dalam bahasa Jawa.
Aih, dikira aku tak mengerti apa yang mereka perbincangkan? Biar mereka tahu betul aku perantau dari Sabang sana, rasa-rasanya mustahil juga kalau tak paham bahasa asal suamiku. Macam-macam warna primer yang saling bertabrakan melapisi dinding sekolah rupanya tak mampu ikut mewarnai hati.
Barang tentu jungkat-jungkit, mangkuk putar, dan ayunan di pojok petak seberang yang sudah luntur lagi usang lebih punya nilai daripada aku ini, dan lebih disukai. Lihat saja, para siswa yang mendengar dentang bel usai pelajaran, seperti sekawanan bawal menggeramus pelet, berebut menaiki tiga alat bermain itu segera setelah berbareng melantunkan doa selesai belajar cepatcepat.
Aku berdiri bersisian tiang, barang lima meter dari pintu kelas bercat hijau mencolok yang di atasnya terpajang papan akrilik bertuliskan “IB”. Sengaja aku menjaga jarak dari kumpulan ibu-ibu itu, mengawasi satu per satu siswa yang keluar dari kelas sambil sesekali menunduk mengamati gantungan kunci motor. Mau bagaimana lagi, setidaknya politikus dengan cengir sumbang dibuat-buat itu tampak lebih bersahabat daripada mereka di sana yang masih saja mencuri pandang kepadaku.
Seorang siswa bermata bundar jernih berjalan keluar kelas. Rambutnya yang lurus membentuk potongan curtain meriuk seiring tapaknya melangkah kikuk. Itu Bisma! Badanku menegap, berjalan cepat menuju ke arahnya. Aku peluk dan cium pipinya yang kenyal, lembut seperti moci. Rupanya ia tak begitu kaget, malah girang membalas peluk dan cium. Beberapa kali aku merasakan pandang mata orang-orang tertegun. Memang yang seperti ini, maksudku mengekspresikan kasih sayang melalui sentuhan fisik, belum lagi merupakan kebiasaan bagi banyak orang.
“Bu Meutia,” panggil Pak Guru di belakang Bisma menahan napas geram, kedua alis tebal itu mencureng. Gurat cakar ayam di tepi mata semakin jelas menegaskan kesepuhannya. Tanpa menunggu responsku, ia melanjutkan,
“Tolong didik anak Anda dengan baik. Ini sudah yang kesembilan kalinya dia melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh di kelas. Teman-temannya jadi tidak fokus belajar.”
Aku menatap Pak Guru dan Bisma bergantian. Yang belakangan ini malah menekuk kepala dalam-dalam, ketakutan. Aku pun mengangguk memohon maaf sekadarnya. Tak bisa lain, harus kutanya duduk perkaranya di rumah.
Ibu-ibu yang sedang berkumpul itu, meski tak berkata apa, sangat terasa bagiku tatapan mereka menuding dan seolah berbicara: ibu dan anak sama saja kurang ajarnya. Hush! Tak boleh kelewat berprasangka begitu, Meutia!
Baca Juga: Bersama Muhammadiyah, Delegasi Malaysia Tegaskan Komitmen untuk Palestina
Sesampainya di rumah, beres bersih diri kuajak Bisma duduk di sofa Lawson ruang tengah yang sebagian kain penutupnya sudah tanggal. Biar rumah (sebenarnya kontrakan) ini hanya seukuran 6 x 3,5 dan di beberapa sudut atap sering bocor, Bisma selalu terlihat lebih tenang berada di sini.
“Bisa Abang ceritakan kepada Bunda pertanyaan aneh apa yang dimaksud Pak Guru tadi?” tanyaku mengacarai.
Baru saja merasa tenang, mendadak ia gelisah. Tangannya memilin ujung-ujung kaus, tak berani menatap.
“Abang cuma nanya…,” sahutnya ragu dengan masih menunduk. Sesaat kemudian meneruskan, “Kenapa botol panda Abang yang ditaruh di kulkas bisa pecah?”
Ah, botol minuman kesayangan itu, meledak karena ditaruh di freezer semalaman dan lupa diminum. Rupanya dia masih menyayangkan. Tak urung pipiku menggembung menahan tawa. Bisma mengangkat kepala, mengerjap cepat. Entah mana yang lebih menggemaskan: mata bundar bola pingpong itu ataukah Pak Guru yang tak siap mempunyai siswa kritis.
“Abang,” aku bersiap menjelaskan, “Air yang ada di dalam botol jika disimpan di kulkas, tadinya segini,” jari-jariku membentuk seukuran botol,
“Bisa-bisa jadi segini, lalu…,” jemari kurenggangkan dan, “Duaaaarrrrr!” kedua tanganku merentang. Konsep sederhana anomali air. Bisma melongo takjub, selang tiga detik kemudian ia bertepuk tangan tertawa gembira. Duh, namanya saja “Bisma”—tokoh wayang yang mengerikan, disegani, pemberani, ditakuti. Namun, tingkahnya justru lebih banyak pemalu, menggemaskan, naif, terkadang penakut.
Aku menepuk kepalanya pelan, menyuruhnya tidur siang. Tumpukan pesanan kebutuhan bulanan seperti sabun, sikat gigi, sampo, dan kawankawannya menunggu untuk dikemas.
Sudah beberapa pekan sejak perusahaan distribusi cat besi dan kayu tempatku bekerja ditutup permanen, aku mengelola toko online yang menjual segelintir keperluan harian serta perlengkapan ibu dan anak. Bos memerlukan datang langsung ke rumah untuk mengucapkan maaf sedalam-dalamnya sekaligus terima kasih paling tulus, kemudian memberi pesangon. Tak ada yang bisa kucegah, beliau lantas menjadi buah bibir ibu-ibu di sekolah. Ponsel berdering, menunda kegiatan memotong-potong bubble wrap.
“Halo?”
“Bu, kalau mau nipu enggak gini juga, dong, caranya! Saya, kan, sudah order piyama set A ukuran XL, kenapa yang datang malah S? Ini, sih, di anak saya juga enggak muat!”
Sontak kurasai aliran darah pampat seketika. Kaget bukan main. “Sebentar saya cek dulu, ya,” aku membolak-balik catatan pesanan. Astaga, benar saja Ibu itu pesan piyama set A ukuran XL.
“Ibu bisa mengajukan pengembalian barang—”
“Ndhasmu! Dikira ngembalikan barang enggak pakai duit? Situ yang salah, kok, saya yang rugi?”
Aku menelan ludah.
“Maaf, nanti saya kirim ulang pesanannya. Mohon ditunggu.”
Panggilan diakhiri dari seberang. Begitu saja, tak pelak lagi pening dan gemetar menyerang serentak. Aku menghitung-hitung uang di laci meja rias. Pesangon dan warisan suami ludes dipakai bayar masuk sekolah Bisma dan modal jualan. Hanya cukup untuk seminggu ke depan, kalau harus dikurangi kerugian karena salah order ini juga .…
Tuhan, tak adakah yang bisa kukerjakan dengan benar?
“Bunda? Bunda kenapa menangis?” Diusapnya wajahku dengan jari-jemari mungil itu. Ternyata sejak tadi ia memperhatikan dari balik pintu kamar.
“Gara-gara Abang, ya?”
“Abang nakal?”
“Bunda marah sama Abang?”
Aku menggeleng, bergeming, lalu menangis lagi. Bagaimana bisa Tuhan menitipkan anak yang begitu penurut, penyayang, dan berbakti seperti ini? Aku sama sekali tidak pantas …. “Kita jalan ke alun-alun, yuk?”
Bisma gesit mengambil jaket dan helm untuk kupakai, meraih celana panjang untuk dia sendiri. Entah mulai kapan ia tahu cara menenangkan. Dan, oh, dia menyerahkan kunci motor juga. “Nanti di sana kita naik delman, ya?”
Aku tersenyum mengiyakan. Mendadak teringat kalau Bisma sangat ingin naik becak berkuda itu sudah dari lama sekali. Aku bisa menyisihkan sedikit uang makan untuk membayar sekelumit kebahagiaan bersama Bisma.
Tak apa, ‘kan?
*Penulis adalah seorang Guru SD Muhammadiyah 1 Ambarketawang