Bandung, Suara ‘Aisyiyah – Zaman berubah. Perubahan itu juga memengaruhi pola pengasuhan terhadap anak. Dosen PG-PAUD Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya, Elfan Fanhas Fatwa Khomaeny mengatakan bahwa di era digital ini, orang tua harus meng-upgrade keilmuannya tentang pola pengasuhan, sebab jika tidak demikian, orang tua akan kewalahan mengontrol aktivitas anak.
Fanhas menjelaskan, pola pengasuhan seringkali dikaitkan dengan 3 (tiga) hal. Pertama, dikaitkan dengan masa lalu, yakni orang tua menjelaskan tentang nilai dan norma. Kedua, dikaitkan dengan masa kini, yakni bagaimana agar anak dapat menghadapi tantangan dan perubahan sosial-budaya yang terjadi. Ketiga, dikaitkan dengan masa depan, yakni dalam rangka anak menyambut masa depan dengan segala dinamikanya.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam forum Gerakan Subuh Mengaji yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Jawa Barat secara daring, Senin (30/1). Adapun tema “Holistic Transcendent Parenting” yang diangkat dalam pengajian kali ini merupakan hasil disertasi narasumber.
Dalam kesempatan tersebut, Fanhas menekankan bahwa orang tua jangan sampai abai untuk mengembangkan kematangan berpikir anak. “Orang tua dan anak tidak hanya fokus pada pengembangan aspek pengetahuan dan keterampilan tentang pemanfaatan media digital sebagai proses adaptasi zaman, tetapi juga dituntut secara simultan mengembangkan kematangan dan kebijaksanaan sehingga bersikap dewasa dan bertanggung jawab dalam pemanfaatan media digital,” kata dia.
Baca Juga: Mengasuh Anak Menggunakan Teknik Hypnoparenting
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa anak tidak cukup dibekali dengan pengatahuan dan keterampilan untuk menggunakan media digital, tapi harus diiringi dengan kedewasaan. Merujuk konsep kedewasaan dalam al-Quran, Fanhas menjelaskan bahwa dewasa menurut al-Quran adalah dewasa fisik, pikiran, mental, psikologis, dan spiritual.
“Kalau berbicara tentang kedewasaan yang kita bangun pada diri anak, maka itu akan menjadi auto-kontrol. Ketika anak melakukan hal yang tidak baik, maka dengan sendirinya, ‘oh iya, ini tidak baik’. Minimal, auto-kontrol itu bisa mengantisipasi sebelum terjadi, atau ketika terjadi dia punya kesadaran untuk segera kembali kepada yang lebih baik,” pungkasnya. (sb)