Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Baru-baru ini terjadi kasus penculikan anak di Yogyakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. Selama kurun waktu Januari 2023, sudah terjadi 5 kali penculikan anak dengan salah satu korban meninggal dunia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) mencatat, sepanjang tahun 2022, ada 28 kasus penculikan anak. Angka tersebut mengalami kenaikan, pada tahun 2021.
Dosen Psikologi Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Ratna Yunita Setiyani turut memberikan tanggapannya. Menurutnya, maraknya kasus penculikan anak yang masih sering terjadi di Indonesia, dinilai akan memberikan masalah psikologis tersendiri untuk anak, terutama korban penculikan itu sendiri.
Hal ini dikarenakan munculnya perasaan terancam, terisolasi, dan ketakutan saat berada di lingkungan asing. Sementara korban penculikan akan berada jauh dari lingkungan sekitarnya, bahkan mengalami tindakan fisik dan pelecehan seksual. Hal itulah yang membuat psikologis korban terdampak. Dampak psikologis sangat bergantung pada bagaimana proses penculikan tersebut, apa yang terjadi selama anak diculik, dan setelah penculikan tersebut.
“Anak yang mengalami trauma akan tampak berbeda dari segi perilaku yang ditampakkan, seperti lebih banyak diam dan termenung, berada pada kondisi emosi marah, tidak menentu, dan agresif, histeris, suka menyendiri, mimpi buruk, hingga melakukan perilaku menyakiti, baik pada diri sendiri maupun kepada orang lain,” kata Ratna, Selasa (31/1).
Baca Juga: Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran
Lebih lanjut, Ratna menyampaikan bahwa pemulihan trauma korban penculikan membutuhkan proses dan waktu sesuai dengan tingkat keparahannya. Sedangkan orang tua dan lingkungan sekitar juga memiliki peran besar dalam memberikan rasa aman pada anak sebagai korban.
Dia menyampaikan beberapa tips yang dapat dijadikan sebagai panduan untuk memberikan kenyamanan psikologis pada anak sebagai upaya recovery kondisi mental anak pada kasus penculikan. “Namun sebelum melakukan upaya-upaya ini, ada baiknya jika setelah anak bisa kembali, kita melakukan deteksi dini terhadap kondisi psikologis anak,” kata dia.
Menurutnya, deteksi dini yang dilakukan adalah mencermati dalam beberapa hari apakah ada perubahan sikap perilaku dan kebiasaan anak, ataukah masih sama dengan sebelum peristiwa penculikan terjadi. Kalau misalnya anak sudah kembali seperti biasa sama sekali tidak ada perubahan, maka kita bisa lebih tenang bahwa anak tidak mengalami trauma. Namun upaya lainnya perlu dilakukan jika kita dapati anak menunjukkan gejala yang tidak biasanya sebelum dan sesudah penculikan terjadi.
Ratna memberikan tips sebagai upaya recovery kondisi mental anak pada kasus penculikan. Menurutnya, hal pertama yang harus dilakukan adalah menjadi pendengar yang baik bagi anak. Meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita anak tanpa ada judgement apapun. Tidak perlu memaksa anak untuk bercerita secara rinci tentang kejadian penculikan itu. Biarkan anak mengungkapkannya ketika ia ingin cerita.
Kedua, membangun rasa aman dalam kegiatan sehari-hari dan memberi keyakinan bahwa situasi telah baik. Hal ini juga perlu ditanamkan bersama dengan orang-orang sekitar. Ketiga, memberikan curahan kasih sayang yang ekspresif agar anak merasa disayangi sehingga dapat membantu pemulihan kondisi psikologis anak pascatrauma.
Namun, jika ternyata anak memberikan gejala yang lebih serius atas trauma yang dialaminya, maka akan lebih baik jika anak dirujuk ke Psikolog untuk dilakukan konseling dan mendapatkan terapi yang diperlukan sesegera. “Jangan lupa juga untuk melakukan pemeriksaan fisik bila anak menunjukkan ketidaknyaman secara fisik,” kata Ratna. (sinta/sb)