Oleh: Fauziah Mona Atalina*
Menurut data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023, ada 1.276 kasus kejahatan terhadap perempuan di ranah publik yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022. Kasus tertinggi adalah kasus siber sebanyak 869 kasus, termasuk kasus doxing di dalamnya.
Oxford British and World English Dictionary mengartikan doxing sebagai mencari dan mempublikasikan informasi pribadi atau identitas tentang individu tertentu di internet, biasanya dengan niat jahat. Doxing sebagai praktik mengekspos dan menyebarkan informasi pribadi secara tidak sah, menjadi ancaman nyata bagi generasi muda perempuan dalam ruang digital.
Dalam era yang semakin terhubung dan tergantung pada teknologi, generasi muda perempuan sering terlibat secara aktif dalam berbagai platform daring, seperti media sosial, forum diskusi, dan komunitas daring. Namun, kegiatan daring yang begitu intens ini juga membuka celah serangan doxing yang berdampak serius terhadap privasi, keamanan, dan kesejahteraan perempuan muda.
Salah satu dampak doxing adalah peningkatan ketakutan dan kecemasan yang dirasakan oleh generasi muda perempuan akibat informasi pribadinya disebarluaskan tanpa persetujuan mereka. Hal ini memunculkan perasaan tidak aman dan mengganggu kebebasan mereka dalam berekspresi di dunia maya.
Ketakutan akan penyebaran informasi pribadi yang tidak sah juga meningkatkan risiko pelecehan, ancaman, dan bahkan kekerasan online terhadap generasi muda perempuan. Mereka rentan menjadi target serangan verbal yang merendahkan, menghina, dan bahkan serangan yang mengancam keselamatan.
Baca Juga: Oversharing dalam Bermedia Sosial
Doxing juga berdampak negatif pada kehidupan pribadi, pekerjaan, dan hubungan sosial generasi muda perempuan. Dengan informasi pribadi yang bocor, mereka berisiko menghadapi gangguan serius dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, doxing dapat menyebabkan kerugian finansial, seperti pemerasan atau penipuan yang mengancam stabilitas keuangan mereka. Selain itu, doxing juga dapat merusak reputasi dan karier mereka.
Al-Qur’an sejatinya telah memberikan pedoman hidup bagi umat muslim untuk menghormati privasi dan martabat setiap individu, termasuk dalam ruang digital. Dalam surah al-Hujurat (49: 12) disebutkan (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (buruk), karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa”.
Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak membuat asumsi negatif atau menghakimi orang lain tanpa bukti yang jelas. Dalam konteks doxing, berarti kita harus berpikir dua kali sebelum menyebarkan informasi pribadi orang lain secara tidak sah.
Untuk melindungi generasi muda perempuan dari ancaman doxing, perlu upaya bersama berbagai pihak. Penyedia dan pengembang platform daring harus menerapkan kebijakan yang ketat tentang perlindungan privasi dan menindak tegas yang melanggar. Pihak penyedia platform juga harus meningkatkan kesadaran warga tentang doxing dan menyediakan sumber daya untuk mengatasi. Pemerintah juga harus turut berperan dengan membuat dan mengimplementasikan regulasi yang melindungi privasi dan menghukum pelaku doxing.
Selain itu, pendidikan tentang keamanan digital dan privasi harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan. Generasi muda perempuan perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan untuk melindungi diri mereka sendiri dalam ruang digital.
’Aisyiyah dapat merangkul Nasyiatul ‘Aisyiyah, Ipmawati Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), dan Immawati Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dalam melakukan pelatihan tentang pengaturan privasi, penggunaan yang bijak dari platform daring, dan cara mengatasi doxing. Pendidikan literasi digital yang bijak wajib diberikan kepada semua kalangan agar ruang digital bisa menjadi ruang yang aman, inklusif, dan menjadi tempat tumbuh dan berkembang tanpa rasa takut akan penyebaran informasi pribadi yang tidak sah.
*Ketua Departemen Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah