FinansialGaya Hidup

Dyah Suminar: Pengusaha Tidak Boleh “Alergi” pada Perubahan Zaman

Berbisnis Jangan Alergi Perubahan Zaman
Berbisnis Jangan Alergi Perubahan Zaman

Berbisnis Jangan Alergi Perubahan Zaman

Jika Anda menyusuri Jalan Urip Sumoharjo, Yogyakarta, ada sebuah butik busana muslim dengan bangunan fisik yang terlihat cukup megah, Griya Muslim Annisa. Butik ini merupakan salah satu usaha dari Dyah Suminar. Seorang pengusaha yang terkenal akan etos kerjanya yang tinggi. Bukan hanya Griya Muslim Annisa yang ia kelola, beberapa butik, salon kecantikan, hingga guesthouse yang bernaung di bawah payung Margaria Group dibangun dan dibesarkan berkat tangan baja Dyah.

Bagi perempuan yang lahir pada tahun 1956 ini, memiliki bisnis adalah suatu hal yang perlu dilakukan. Dan ini bukan suatu kemustahilan, meski tak besar di lingkungan keluarga pengusaha. Dyah menjelaskan banyak pemuda saat ini yang tidak percaya diri berwirausaha karena tidak memilki basic sebagai pengusaha atau dibesarkan dalam lingkungan keluarga pebisnis. Namun, Dyah adalah bukti nyata bahwa seorang pebisnis tidak melulu dari lahir dari rahim para pebisnis juga.

Dyah sendiri lahir dan besar dari keluarga yang mayoritas bekerja sebagai pegawai. “Contohnya saya. Besar di lingkungan pegawai murni 100 persen. Kakak saya ABRI. Ayah pegawai negeri, dan ibu saya guru. Tapi toh saya tetap bisa belajar,” ujarnya. Guru utama Dyah dalam berbisnis adalah suaminya sendiri, Herry Zudianto. Semenjak memutuskan menikah padah tahun 1980an, suaminya memberi pilihan kepada Dyah: menjadi pegawai seperti saudaranya atau belajar berbisnis pada suaminya. Kebetulan, Herry yang berasal dari Yogyakarta sendiri dibesarkan dalam kultur pengusaha.

Dyah akhirnya memilih untuk belajar berbisnis pada suaminya. Baginya, belajar berbisnis termasuk hal fleksibel karena bisa dilakukan sembari menjaga anak-anaknya. “Pak Herry itu memang orang Yogyakarta. Saya dari Cilacap. Bahkan seluruh keluarga beliau dari dulu tinggal di Kauman, Kotagede dan punya usaha batik sejak dulu. Dulu ketika saya menikah tahun 80-an, semua usaha batik yang di Malioboro pribumi dan Muhammadiyah. Hampir semua pengusaha batik itu orang-orang pribumi dan beberapa saudara beliau.”

Prinsip Berbisnis

Selain percaya diri, hal lain yang menurut Dyah perlu dilakukan saat berbisnis adalah memulainya dengan hal yang kita sukai dan dengan pertimbangan yang rasional. Jangan berpikir untuk terlalu muluk-muluk terlebih dahulu, seperti bekerja sama dengan perusahaan besar. Selain itu, seorang pebisnis juga harus memiliki kemauan, kemampuan, dan kesiapan untuk menerima risiko dan mau rekoso (sengsara).

Menurutnya, akan lebih baik jika modal usaha diusahakan dari kantong sendiri terlebih dahulu. Jika pun memutuskan untuk bekerja sama, ia harus memercayai betul partner bisnisnya. “Kerja sama itu seperti orang menikah. Kita harus mengenal persis rekan kerja kita dari a sampai z. Jadi, kalau untung atau rugi ya ditanggung bersama-sama.”

Dyah dan suaminya bukanlah tipikal pengusaha yang alergi pada perubahan zaman. Bagi keduanya, perubahan zaman dan teknologi berefek pada perubahan pola perilaku konsumen. Imbasnya, bisnis harus juga menyesuaikan kebutuhan konsumen. Jika seorang pebisnis enggan mengubah pola bisnisnya, bukan tak mungkin usahanya akan hancur. Oleh karena itu, ia tak segan-segan merekrut anak-anak muda untuk menjadi tim kreatif. Ia menilai anak-anak muda memiliki potensi yang besar untuk berinovasi. Ia juga berpendapat bahwa estafet sebuah bisnis biasanya gagal karena “si tua” merasa paling pintar dan paling benar sehingga tidak mau mendengarkan tuntutan yang lebih muda.

“Barangkali saya dan Pak Herry memang memiliki banyak pengalaman dalam berbisnis. Tetapi kalau mau menyesuaikan zaman, kita harus realistis. Kami harus sadar bahwa kami ini sudah masa lalu. Mungkin punya pengalaman, tapi ilmu-ilmu yang sekarang diserahkan anak-anak muda,” ujar perempuan alumnus Jurusan Manejemen, Universitas Gadjah Mada ini.

Berbekal kedisiplinan dan kecermatan yang sudah ditanamkan sedari kecil oleh ibunya serta ilmu bisnis dari suaminya, kini Dyah terbukti menjadi salah satu perempuan pengusaha yang usahanya bisa kita temukan di mana-mana. Dyah membagi sedikit rahasia bagi para pebisnis yang hendak mengembangkan usahanya, yaitu memiliki hobinya. Dyah mengaku bahwa berkebun adalah hobi yang sampai kini ia tetap nikmati. Baginya, hobi adalah sebuah upaya relaksasi dan katarsis pasca sibuk berbisnis. “Kalau nggak punya hobi, bisa stress nanti ngadep pekerjaan terus,” pungkasnya. (dian)

 

Sumber: Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Agustus Tahun 2017

Related posts
Gaya Hidup

Gaya Hidup: Pilihan atau Perubahan?

Oleh: Rezza Fahlevi  Gaya hidup merupakan cerminan dari pilihan dan keputusan yang dibuat setiap hari, mencakup berbagai aspek kehidupan seperti pola makan,…
Kalam

Gaya Hidup Halal

Oleh: Lailatis Syarifah* Kenikmatan dunia amatlah membuai pandangan sehingga siapapun bisa tergoda dan menjadi kalap mata, meraup kemewahan, dan gelimang harta tanpa…
Berita

Tips Menjaga Kesehatan Mental Pasca-Terpapar Covid-19

Yogyakarta, Suara ‘aisyiyah –  Jumat (17/9), akun Instagram @sehatq_id mengadakan siaran langsung dengan mengusung tema “Kesehatan Mental Pasca Covid” dengan menghadirkan Hertha…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *