Tokoh

Eggi Arguni: Perempuan Peneliti Atasi DBD

Eggi Arguni

Oleh: Ahimsa W. Swadeshi

Sudah pernah mendengar penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), kan? Penyakit ini dinilai oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 sebagai penyakit paling kritis yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan bahkan berpotensi menyebabkan kematian. Saking berbahayanya, penyakit ini mengundang upaya berbagai pihak untuk turut terlibat memikirkan cara menekan angka kasus infeksinya. Salah satu sosok yang juga memainkan peran dalam upaya ini adalah seorang perempuan peneliti dari Indonesia, yakni dr. Eggi Arguni, Sp.A.(K), MSc., Ph.D.

Perempuan yang akrab disapa Eggi ini memulai perjalanannya menjadi seorang peneliti saat mengambil studi doktoral di Graduate School of Medicine di Chiba University, Jepang, pada tahun 2000-2005. Usai itu, ia melanjutkan studi Pendidikan Dokter Spesialis Anak dan setelahnya menjadi staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) hingga sekarang.

Pada tahun 2011, ia bergabung dalam World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta, sebuah program pengendalian DBD dengan teknologi Wolbachia.

Sebelum bernama WMP, program ini awalnya lebih dikenal dengan nama Eliminate Dengue Project (EDP) yang merupakan kerja sama antara UGM dan Monash University, Australia, dan juga didukung oleh Yayasan Tahija. Program kolaboratif yang dikerjakan oleh Eggi dan tim dinilai sukses dan efektif menurunkan 77% kasus demam berdarah di Yogyakarta. Hal ini bahkan juga diakui oleh jurnal terkemuka dunia the New England Journal of Medicine (NEJM).

Bukan tanpa alasan perempuan ini menaruh minat dalam penyelesaian masalah DBD. Menurutnya, penyakit ini dapat menyebabkan kematian bila tidak ditangani dengan benar. “Sedih sekali bila punya pasien DBD yang tidak bisa diselamatkan,” tuturnya.

Selain itu, usaha yang telah dijalankan untuk mencegah transmisi virus ke manusia masih memiliki banyak kendala. Ini menjadi motivasi bagi Eggi untuk turut berkontribusi dalam menekan angka infeksi demam berdarah, salah satunya dengan menjadi seorang peneliti.

Sebenarnya, ketertarikan Eggi dalam bidang penelitian telah muncul sejak berada di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Bergabung dengan tim ekskul Sains di sekolahnya, ia mengatakan, “Dunia penelitian menurut saya hal yang menantang dan memerlukan pendekatan-pendekatan ilmiah untuk pembuktian hipotesisnya. Hasil penelitian tidak selalu sesuai dengan yang kita harapkan, banyak hal yang mempengaruhi.” Oleh karena itu, ia menganggap dunia penelitian menjadi hal yang menarik.

Baca Juga: Belajar dari Jacinda Ardern, Yakin Masih Ragukan Pemimpin Perempuan?

Minat tersebut yang juga membawa Eggi untuk kemudian mendalami subspesialistik di bidang infeksi dan penyakit tropis, serta menjadi Diagnostic Team Leader WMP Yogyakarta. Lebih jauh, Eggi menjelaskan bahwa yang ia kerjakan bersama WMP adalah memanfaatkan Wolbachia untuk dimasukkan ke tubuh nyamuk Aedes aegypti yang nantinya akan berkompetisi dengan virus dengue untuk memperebutkan makanan.

Nyamuk yang mengandung Wolbachia akan mengalami modifikasi RNA sehingga virus dengue tidak bisa melakukan replikasi di dalam sel tubuh nyamuk. Wolbachia juga meningkatkan sistem imun nyamuk dengan‘membajak’ sistem autofagi nyamuk agar terlindungi dari infeksi virus dengue. Upaya ini seperti vaksinasi agar nyamuk memiliki imunitas dari virus.

Berbagai mekanisme ini akan menekan replikasi virus dan menghalangi virus dengue untuk dapat bertahan hidup, sehingga kemudian virus tidak dapat ditularkan ke manusia. “Pada saat populasi nyamuk sudah sebagian besar mengandung Wolbachia, kita harapkan efek pencegahan transmisi dengue ke manusia dapat terjadi,” ungkapnya.

Teknologi Wolbachia ini oleh Eggi dan tim WMP telah sukses dijalankan di Kabupaten Sleman dan sedang dikembangkan di Kabupaten Bantul. Secara global, sebenarnya teknologi ini telah diimplementasikan di beberapa negara lain, seperti Brazil, Kolumbia, Meksiko, Sri Lanka, Vietnam, Australia, Fiji, Kiribati, New Caledonia, dan Vanuatu. Ia pun berharap ke depannya teknologi ini tidak hanya diterapkan di Yogyakarta, tetapi juga di daerah lainnya di Indonesia, pun di negara-negara lain yang endemik demam berdarah dengue.

Perempuan yang saat ini mengajar di FK-KMK UGM dan telah menerbitkan berbagai publikasi tersebut mengajak para perempuan lain untuk turut tergerak mengembangkan minat dalam bidang penelitian. “Perempuan merupakan aset yang sesungguhnya sangat dibutuhkan dalam bidang penelitian. Perempuan dinilai lebih teliti, perhatian, dan bekerja dengan sepenuh hati,” ungkapnya.

Adanya unit penelitian, kelompok ilmiah remaja (KIR), dan semacamnya dapat menjadi lahan belajar bagi para perempuan. Pun bagi yang sudah menjalani studi, pengalaman mengerjakan skripsi dan tesis adalah hal berharga yang dapat memupuk ketertarikan untuk meneliti dan mengembangkan pengetahuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *