Oleh: Trias Setiawati*
‘Aisyiyah berawal dari organisasi berskala kecil pada 1917 di kampung Kauman Yogyakarta. Kini, ‘Aisyiyah telah dikenal tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di kancah dunia. Salah satu tokoh pemimpin organisasi ini adalah Elyda Djazman yang menakhodai ‘Aisyiyah selama tiga periode dari tahun 1985 hingga 2000.
Elyda lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 11 Juli 1940. Ayahnya, H. M. Bustami Ibrahim, belajar di Arab Saudi selama tujuh tahun dan menjadi guru di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia lantas pindah ke Medan. Sang ayah awalnya menjadi guru mengaji di kampung di Jalan Darat, kawasan di mana penduduknya tidak salat dan mengaji. Bustami juga pernah menjadi Kepala Kantor Urusan Agama (KUA), Kepala Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA), hingga pernah menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Utara. Semantara ibu dari Eliyda adalah pengajar di Sekolah Guru Atas (SGA).
Elyda lahir ketika ayahnya menjabat Ketua PWM Sumatera Utara. Sejak kelas 4 SD, ia sudah menjadi anggota Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA). Saat itu, ia pernah menjadi juara mengarang dengan judul “Cita-citaku”. Tulisannya dibacakan di seluruh kelas di sekolahnya. Saat SMP, Elyda masih juga aktif di NA. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke SGA dan lulus 1958. Setelahnya, Elyda mengajar di SD Muhammadiyah.
Saat disibukkan aktivitas sebagai seorang guru, ada kegelisahan muncul dalam benak Elyda. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah akan selamanya menjadi guru? Kegelisahan ini akhirnya membuat Elyda mengambil keputusan penting. Setelah dua tahun megajar, Elyda memutuskan untuk merantau ke Solo dan melanjutkan studi di IKIP Muhammadiyah Solo pada 1960. Tahun 1964, ia lulus sarjana muda dengan ujian negara. Bulan Agustus di tahun yang sama, Elyda diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di PGA Muhammadiyah Solo.
Di tahun 1964 juga, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berdiri dan mengadakan musyawarah nasional di Solo. Djazman Alkindi, yang akhirnya menjadi suaminya, menjadi ketua pertama dan Elyda diamanahi sebagai Ketua Departemen Keputrian IMM.
Saat terjadi huru-hara tahun 1965 dan tidak ada perkuliahan, Elyda kembali pulang ke Medan. Di sana, ia mendirikan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) jurusan anak. Setelah situasi aman di 1966, Elyda lantas kembali lagi melanjutkan kuliah di Solo hingga selesai doktoral di tahun 1967. Di tahun yang sama, Elyda menikah dan masih aktif di IMM sebagai Ketua Departemen Keputrian dan Wakil Ketua Departemen Kader.
Proses Menjadi Pemimpin
Elyda memulai perjalanannya di ‘Aisyiyah sebagai bendahara “kecil” Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (PPA) sesudah Muktamar di Surabaya pada 1962. Elyda berkisah, ia pernah mendampingi Profesor Baroroh Baried (mantan Ketua Umum PP ‘Aisyiyah) bertugas ke Makassar untuk menghadiri pengajian akbar.
Menurutnya, saat itu Baroroh disambut bak presiden. Namun ternyata, Baroroh hanya mengisi pengajian selama 20 menit. Ia kemudian meminta Elyda untuk mengisi pengajian tambahan selama 40 menit.
Baca Juga: Daftar Ketua Umum PP Aisyiyah dari Masa ke Masa
Berbekal ilmu dan bakat dari sang ayah yang juga pendakwah ulung, Elyda mampu berpidato dengan gagah di depan jemaah. Saat itu, Elyda menyampaikan tema kepemimpinan perempuan, mensyukuri kehadiran Nabi Muhammad saw. yang mengangkat derajat perempuan, surga di telapak kaki ibu, dan pentingnya melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah swt.
Kepemimpinan di ‘Aisyiyah
Elyda terpilih menjadi Ketua Umum PP ‘Aisyiyah pada Muktamar di Solo tahun 1985. Saat itu, usianya 45 tahun. Pada Sidang Tanwir jelang Muktamar Solo, Elyda menulis “Sistem Kaderisasi Kepemimpinan ‘Aisyiyah” yang diterima secara aklamasi dan disambut dengan suka cita di Muktamar. Pada periode 1985-1990, Elyda juga aktif sebagai anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat dan pimpinan Majelis Kader.
Elyda tercatat sebagai pelopor Kursus Kesehatan Jiwa Remaja di RS PKU Muhammadiyah, sebuah program penanggulangan kenakalan remaja, yang menjadi cikal bakal program Keluarga Sakinah yang akhirnya diterima secara nasional hingga ada program pemerintah Desa Bina Keluarga Sakinah (DBKS).
Kepemimpinannya terus berlanjut hingga terpilih kembali di Muktamar ‘Aisyiyah 1990 di Yogyakarta dan di Muktamar 1995 di Banda Aceh. Pada Muktamar 2000 di Jakarta, Elyda mengundurkan diri karena kondisi suaminya, Djazman, sudah sakit.
Pada 1997, Elyda menjadi anggota MPR utusan golongan dan pernah menjadi Ketua KOWANI. Ia juga pernah diundang World Health Organization (WHO) ke India selama 10 hari, juga ke lima negara Arab untuk melihat kondisi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Elyda juga merupakan penerima Universitas Muhammadiyah Malang Award sekaligus Universitas Muhammadiyah Surakarta Award pada 2015.
Selama memimpin, Elyda sangat menekankan proses kaderisasi dan komunikasi berdasarkan psikologi agar dapat dekat dengan setiap orang, termasuk dengan Presiden Soeharto hingga berhasil mendapatkan kertas cek senilai 80 juta rupiah untuk membeli rumah yang dijadikan sebagai kantor ‘Aisyiyah.
Elyda dikenal sebagai pribadi yang pandai menjalin komunikasi dengan semua pihak, menjaga kebersamaan untuk membawa kemajuan dan harus berdasarkan persaudaraan atau ukhuwah. Ia juga dikenal mampu berbicara dengan ringan, lucu, dan lugas hingga berjam-jam. Mesti diakui, Elyda berhasil mengantar ‘Aisyiyah menjadi organisasi terkemuka di bidang pendidikan, kesehatan, sosial di tingkat nasional dan internasional.
*Dosen Prodi Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomika-Universitas Islam Indonesia; Ketua Pusat Studi Gender Universitas Islam Indonesia; dan Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah 2022-2027