Kalam

Etika dalam Mengembangkan Ilmu Pengetahuan

ilmu pengetahuan
ilmu pengetahuan

ilmu pengetahuan (foto: pixabay)

Oleh: Moh Soehadha

Islam menempatkan ilmu pengetahuan sebagai hal yang utama dalam kehidupan manusia. Karena itu, penuntut dan pengembang ilmu pengetahuan diberi derajat yang tinggi dan buah perjuangan dalam menempuhnya dinilai sebagai perjuangan para syuhada.

Sifat hakiki ilmu pengetahuan sebagai anugerah dalam kehidupan manusia telah digariskan sejak manusia pertama, Adam as., diciptakan Allah sebagai  khalifah di muka bumi. Makna tentang aspek hakiki ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia antara lain tersirat dari firman Allah, yaitu QS. al-Baqarah [2] ayat 31 sebagai berikut:

وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمۡ عَلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبِ‍ُٔونِي بِأَسۡمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ

Artinya, “dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar”.

Selain itu,  makna tentang aspek hakiki ilmu pengetahuan juga terdapat dalam QS. al-‘Alaq [96] ayat 5.  Adapun semangat untuk menuntut ilmu pengetahuan dan mensyukurinya, secara gamblang dituangkan dalam beberapa ayat dalam  QS. ar-Rahman.

Sejak kehidupan manusia pertama di dunia, yaitu dalam kehidupan Nabi Adam, pengetahuan tentang benda-benda dan apa saja yang ada di bumi serta sifat dan fungsinya, menjadi pengetahuan yang mendasar. Dengan anugerah Allah, sifat dasar “keingintahuan” tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk yang lekat dengan ilmu pengetahuan. Dari sifat keingintahuan (curiosity) itu, ilmu pengetahuan yang tiada batas diperingan dalam pencariannya oleh manusia, karena Allah memberi panca-indera, daya imajinasi, dan kemampuan konseptualisasi serta refleksi pada setiap diri manusia.

Baca Juga: Membangun Tradisi Keilmuan dalam Masyarakat

Selain tiada batas, ilmu pengetahuan yang menjadi ciri kehidupan manusia juga bersifat netral, seperti dua sisi mata uang. Artinya, ilmu pengetahuan dapat menjadi sarana bagi manusia untuk membangun dan berbuat baik. Sebaliknya, dengan ilmu pengetahuan itu pula dapat timbul kerusakan di bumi karena kepentingan manusia. Problem itulah yang kemudian melahirkan pemikiran para filsuf, cerdik pandai, dan agamawan tentang pen-tingnya nilai etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Pembicaraan tentang etika di kalangan filsuf, baik dari pandangan Barat maupun Timur umumnya ditujukan untuk merumuskan  nilai-nilai universal, dan bagaimana nilai-nilai itu saling berhubungan dan mendukung satu sama lain. Artikel ini secara singkat mendeskripsikan tentang etika dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai nilai universal yang diajarkan dalam Islam.

Ilmu Pengetahuan Perspektif Islam

Manusia dapat menemukan ilmu pengetahuan setidaknya dari empat sumber. Pertama adalah keyakinan berupa wahyu (QS. Yunus ayat 57) dan teladan Rasul.  Al-Quran merupakan basis pengetahuan alam; tesis dari tempat Tuhan, manusia, alam; dan pengetahuan dalam segala hal (Al Faruqi, 1986). Kedua adalah gerak isyarat alam dan lingkungan. Peredaran bumi dan matahari, pergantian siang dan malam, tetumbuhan, hewan, sungai, gunung, lautan adalah sumber pengetahuan bagi manusia karena menimbulkan keingintahuan dan memberi jalan pemahaman terhadap sebuah pengetahuan (QS. Ali Imran: 190-191; QS. al-Ghafir: 57; QS. al-Ghasyiyah: 17-20).

Ketiga adalah realitas, peristiwa, dan sejarah. Apa yang terjadi hari ini dan kemarin adalah sumber pengetahuan yang dapat memberi pengaruh pada pemikiran dan tindakan tertentu yang dilakukan manusia (QS. Yusuf: 111). Keempat adalah manusia sebagai individu maupun dalam konteks sebagai anggota suatu kelompok. Manusia diciptakan sebagai makluk yang sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya (QS. at-Tin ayat 4 dan QS. Ibrahim ayat 4) sehingga memiliki kemampuan untuk memproduksi, mengelola, dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Baca Juga: Rasulullah Mengangkat Derajat Manusia

Meskipun derajat manusia yang memiliki pengetahauan ditinggikan, namun al-Quran juga memberi peringatan, terutama dalam berbagai kisah yang termuat di dalamnya tentang perilaku manusia yang buruk dan sombong setelah diberikan ilmu kepadanya. Pendek kata, bahwa kelebihan intelektual manusia membuat ia memiliki derajat yang tinggi, namun juga dapat membuatnya hina jika jalan ilmu pengetahuan yang ia tempuh dan ia dapatkan hanya untuk kepentingan dirinya semata, bukan untuk kemaslahatan manusia dan harmoni alam semesta. Oleh karena itu, dalam pencarian ilmu pengetahuan dibutuhkan moralitas atau akhlak yang dalam konsep filsafat sering disejajarkan dengan  etika.

Etika Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Etika dapat diberi pengertian sebagai nilai dan norma yang menjadi panduan bagi individu maupun kelompok dalam bertindak. Dalam diskusi filsafat, etika dianggap sebagai cabang pengetahuan yang mencakup moral, nilai, norma, ataupun kode etik dalam melakukan tindakan (Magnis-Suseno, 1987; Bertens, 2001).

Pentingnya etika yang berisi moral dalam kehidupan manusia tercermin dari sebuah ungkapan dari filsuf  Immanuel Kant yang ada di batu nisan makamnya: “Coelum stellatum supre me, lex moralis intra me”, artinya:  “Surga berbintang ada di atasku, hukum moral ada dalam diriku”.

Dengan demikian, etika ilmu pengetahuan adalah panduan bagi ilmuwan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Kewajiban mereka bukan hanya memberi pemahaman, melainkan juga memberi teladan dalam tindakannya sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan itu sendiri, seperti bermanfaat untuk yang lain, objektif, terukur, terbuka, dan tidak sepenuhnya mutlak kebenarannya sehingga dapat dievaluasi dan dikritik melalui kerja intelektual yang baru.

Baca Juga: Harmonisasi Kehidupan Alam Semesta

Dalam perspektif Islam, etika dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan untuk masyarakat dapat dikaitkan dengan konsep sakhkhara, yaitu penundukan dunia seisinya, atau penundukan apa yang ada di langit dan di bumi oleh Allah untuk dimanfaatkan oleh manusia secara bertanggung jawab. Hal ini  sebagaimana yang terdapat dalam QS. al-Jâtsiyah [45] ayat 12-13 sebagai berikut:

ٱللَّهُ ٱلَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ ٱلۡبَحۡرَ لِتَجۡرِيَ ٱلۡفُلۡكُ فِيهِ بِأَمۡرِهِۦ وَلِتَبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِهِۦ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا مِّنۡهُۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya, “Allahlah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir”.

Ini adalah etika pertama dalam pengembangan ilmu pengetahuan, bahwa pada hakikatnya ilmu pengetahuan adalah anugerah Allah sebagai cara untuk memanfaatkan alam secara bertanggung jawab. Dengan perspektif itu, maka ilmu pengetahuan bukanlah hal yang sejajar dengan dengan Islam sebagai “sistem gagasan utama”. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat, dengannya melalui kekuasaan Allah, alam seisinya ditundukkan untuk manusia.

Adapun Islam adalah “sistem gagasan” yang dapat mendasari atau sebagai pandangan hidup dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Etika memberi panduan bagi ilmuwan bahwa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, ia tidak hanya harus memberi pemahaman, tetapi juga memberi teladan tentang tindakan yang bertanggung jawab.

Dalam kaitannya dengan etika, Islam sebagai pandangan hidup memiliki aspek ganda. Pertama, memberi arti pada berbagai realitas sosial dan psikologis bagi para penganutnya, dengan demikian mendapatkan “bentuk konseptual yang objektif”. Kedua, pada saat yang sama membentuk realitas sesuai dengan isi agama itu. Pada aspek pertama tersebut, maka aktivitas pengembangan sains, dapat dipandang sebagai cara umat memberi arti terhadap kebesaran Allah yang telah menciptakan alam seisinya untuk dimanfaatkan melalui kerja intelektual manusia. Ini adalah etika yang kedua dalam pengembangan ilmu pengetahuan, bahwa pertanggungjawaban yang hakiki dari kerja intelektual itu adalah kembali kepada Allah, karena Allah pemilik ilmu yang hakiki.

Banyak ayat al-Quran yang memberi isyarat bahwa dalam kejadian dan gejala alam seisinya terdapat tanda kebesaran Allah dan hal itu hanya dapat dimengerti oleh para pemikir. Kita dapat mengambil contoh dalam QS. ali-Imran [3] ayat 190-191 berikut:

إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

Artinya, sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

Ini adalah etika yang ketiga atas pengembangan ilmu pengetahuan, bahwa kerja intelektual haruslah bermanfaat untuk kemaslahatan manusia, alam, dan semua makluk.

Seringkali intelektual mengejar sebuah manfaat atas kerja intelektualnya, tetapi pada saat yang sama dia melupakan bahwa apa yang akan diraihnya itu memang bermanfaat pada satu sisi, tetapi telah memusnahkan potensi kehidupan pada sisi yang lain.

Hal itu misalnya dapat dicontohkan dalam program “revolusi hijau” di bidang pertanian pada masa lalu di Indonesia, yang akibat buruknya masih dirasakan hingga kini. Penerapan pengetahuan tentang benih padi unggul untuk mengejar pertumbuhan produksi pangan telah menghilangkan 257 jenis padi lokal di Jawa, di Dayak Hulu Sungai Bahau 54 varietas padi punah, dan di Dayak Krayan 37 varietas juga hilang (Khudori, 2002; Abdullah, 2014). Oleh karena itu, etika dalam pengembangan pengetahuan harus memperhatikan kelestarian spesies yang lain.

Baca Juga: Maklumat: Sastra Harus Terlibat dalam Sejarah Kemanusiaan

Dalam pekembangan sejak tahun 1980-an hingga kini, etika dalam pengembangan ilmu pengetahuan kemudian tidak hanya berhenti pada pengutamaan nilai-nilai kemanusiaan saja, namun juga kearifan terhadap makhluk hidup lainnya. Etika moral dalam mengutamakan kearifan terhadap semua makluk ini kemudian dikenal dengan istilah “speciesism”.

Istilah speciescism pertama kali dicetuskan oleh Richard D. Ryder (psikolog dan filsuf) untuk mendefinisikan sebuah prasangka yang didasari oleh golongan spesies, untuk memprakarsai gerakan hak-hak hewan. Bukunya, Victim of Science (1975) sebagai serangan terhadap percobaan dalam ilmu pengetahuan  terhadap hewan. Idenya banyak menginspirasi Undang Undang  di Inggris dan di Eropa untuk melin-dungi hewan di tahun 1980. Speciescism lalu diidentikkan dengan bentuk ketidakadilan yang lain seperti seksisme dan rasisme (www.62stockton.com ).

Dalam pandangan etika lingkungan, speciesism adalah perwujudan dari etika biosentris yang melampaui etika antroposentris sebagaimana ada dalam tradisi filsafat aristotelian judeo-christian atau  juga ekoteologi Yahudi-Kristen mengkonsepsikan Tuhan sebagai dzat yang transenden dan tidak menjadi bagian dari kosmis alam.

Keterpisahan antara Tuhan dengan kosmis alam dalam tradisi Yahudi-Kristen menyebabkan adanya pandangan bahwa Tuhanlah yang menetapkan aturan kosmis tersebut dari luar. Sebagai pencipta kosmis, Tuhan terpisah dari kehidupan manusia dan makhluk lainnya karena eksistensi-Nya yang berbeda dengan eksistensi manusia dan makhluk lainnya (Douglas, 1976: 32; Bellah, 1991 dalam Schumann, 2000: xviii).

Keberadaan lingkungan di sekitar manusia, baik biotis maupun abiotis dianggap sebagai sumber kehidupan bagi manusia. Perspektif Yahudi-Kristen dalam mengkonsepsikan relasi manusia dengan alam tersebut cenderung memberikan pembenaran dan hak kepada manusia untuk menundukkan alam (White, 1967 dalam Susanto, 2007: 38) sehingga manusia sangat eksploitatif dan menjadi penyebab utama kerusakan alam. Hal itu berdasarkan asumsi bahwa manusia dianggap sebagai makhluk yang diberi wewenang untuk memanfaatkan lingkungan alam karena kedudukannya yang lebih tinggi dibandingkan makhluk lainnya.

Dewasa ini para teolog Kristen merespons pendapat Lynn White yang menyatakan bahwa ajaran agama mendorong perilaku eksploitatif  terhadap alam lingkungan,  sebagai sebuah kritik. Bagi teolog Kristen kontemporer, pendapat White memberi pengaruh positif bagi upaya untuk memikirkan kembali tafsir agama klasik (rethink our old religion) menuju pemikiran baru tentang sistem moral dan religi yang peka terhadap krisis ekologi (Kearns, 2003: 468).

Hal yang sama juga terjadi di kalangan ulama Islam yang mencoba merumuskan kembali hakikat kedudukan manusia dengan makluk lainnya yang disalah-artikan, sehingga memunculkan cara kerja ilmu pengetahuan yang selalu mengutamakan kepentingan manusia belaka, mengakibatkan kerusakan lingkungan dan disharmoni dalam hubungan manusia dengan alam dan makluk lainnya.

Baca Juga: Muhammadiyah Hadir untuk Kemanusiaan Universal

Oleh karena itu, etika dalam pengembangan ilmu pengetahuan juga harus menempatkan semua makluk dalam kedudukan yang “seimbang”. Etika ini dapat dikaitkan dengan QS. Al Ahzab :72, bahwa Allah pun telah melakukan dialog dengan makluk lainnya yang dalam ilmu pengetahuan sering dianggap abiotis.

Ayat tersebut telah membuka tafsir baru bahwa manusia dipandang oleh Allah memiliki kedudukan yang sama dengan makhluk lainnya, termasuk makhluk abiotis seperti lautan, bumi, tanah, sungai, gunung, dan langit. Mereka hendak diberi amanat oleh Allah, tetapi hanya manusia yang mengaku sanggup memikul amanat itu, sementara makhluk lainnya enggan memikulnya. Atas sikap manusia yang merasa sanggup memikul amanat itu kemudian dikatakan oleh Allah sebagai makluk yang zalim dan bodoh.

Ini mengajarkan tentang dua etika dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sekaligus. Pertama, bahwa cara kerja intelektual harus selalu memperhatikan kelestarian makhluk dan alam semesta serta sikap arif terhadapnya. Kedua, rasa percaya diri yang berlebihan dan ambisi berlebihan dalam pengembangan ilmu pengetahuan justru membuat manusia itu sendiri menjadi bodoh.

Related posts
Hikmah

Berlebih-lebihan dalam Beragama menurut Al-Quran

Oleh: Muhammad Chirzin* Allah swt. menurunkan petunjuk, kebenaran, dan cahaya terang benderang bagi kehidupan umat manusia sepanjang masa. Setiap orang yang berpegang…
Berita

Faturrahman Kamal: Islam adalah Agama Fitrah

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah menggelar Pengajian Malam Selasa mengangkat tema “Aqidah Sebebagai Asas Pandangan Hidup Seorang Muslim”. Pengajian…
Kalam

Larangan Menjadikan Hawa Nafsu sebagai Tuhan

Islam adalah agama tauhid. Dalam Q.S. al-Ikhlas Allah swt. menegaskan bahwa Dia-lah satu-satunya Tuhan, tempat segala sesuatu bergantung, tidak beranak dan tidak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *