
selfi (ilustrasi: freepik)
Oleh: Susilastusi
Kita menjumpai sesorang yang sedang selfi di berbagai keramaian entah di tempat wisata, tempat makan yang terkenal (bisa unik atau yang terkenal), acara-acara formal, acara informal atau acara-acara yang bersifat khusus seperti reuni, pertemuan trah dan lainnya, kemudian mengunggahnya di media sosial. Namun ada yang ekstrem, yaitu mengunggah melalui jejaring sosial Facebook, foto selfi bersama seorang yang telah berpulang. Kondisi seseorang yang sedang sakit dengan segala macam selang yang berada di tubuhnya juga sering diunggah di halaman media sosial. Hal ini jelas selfi yang tidak pada tempatnya. Pertanyaan besarnya, mengapa orang sangat suka sekali melakukan swafoto (selfi) segala aktivitas kesehariannya kemudian mengunggahnya ke media sosial?
Bahkan dewasa ini seseorang yang akan melamar pekerjaan, baik sebagai pegawai negeri, atau swasta juga diminta oleh pemberi kerja mencantumkan akun media sosial yang dimiliki. Tentu saja keharusan ini bukan satu kebetulan, tetapi ada tujuannya. Salah satunya menelusuri jejak aktivitas keseharian, aktivitas sosial, serta kecenderungan kepribadian lainnya yang bisa dianalisis dari unggahan-unggahan orang tersebut di media sosial.
Berdasarkan aspek kemajuan teknologi, kemajuan fitur-fitur gawai, termasuk kamera, fitur segala macam media sosial bisa dikelola dalam satu gawai menjadi salah satu faktor mengapa seseorang mulai menggemari mengunggah foto-foto dirinya. Kemajuan dalam fitur gawai menjadi dorongan untuk membagikan momen-momen indah yang pernah terjadi dan baru terjadi menjadi kuat.
Awalnya, seseorang mengunggah foto hanya sekedar berbagi kebahagiaan dan melihat respons dari teman-temannya yang terhubung dalam media sosial. Namun tanpa disadari unggahan sudah mulai pada capaian-capaian keberhasilan. Keberhasilan-keberhasilan yang diunggah dengan foto-foto yang spektakuler di media sosial mungkin untuk menjadi media informasi kepada koleganya, namun bisa juga dimaknai berbeda sebagai salah satu bentuk kenarsisan.
Tulisan Mulawarman dan Aldila Dyas Nurfitri yang berjudul “Perilaku Pengguna Media Sosial Beserta Implikasinya Ditinjau dari Perspektif Psikologi Sosial Terapan” yang dimuat dalam buletin Psikologi Vol. 25 tahun 2017 menyebut ada banyak faktor yang mendorong sesorang gemar menggugah foto di media sosial. Pertama, kegiatan tersebut sebagai wujud dari eksistensi diri. Berswafoto dan menyebarkannya di media sosial tidak sekadar terfokus pada penampilan diri si pengguna. Swafoto merupakan upaya representasi diri di media sosial, sebuah upaya agar dianggap ‘ada’ atau eksis dalam jaringan.
Baca Juga: Riya’ Beragama melalui Media Sosial
Seseorang yang melakukan swafoto juga tengah berusaha mengkonstruksikan identitas sosialnya dengan cara memaksimalkan atau meminimalkan karakter positif atau negatif dalam dirinya supaya self-esteem tetap terpelihara. Swafoto yang sukses ditandai dengan banyaknya pujian.
Apabila sudah demikian, maka individu merasa puas dan semakin terdorong untuk kembali melakukan swafoto dan mengunggahnya di media sosial. Namun, bila kondisinya terbalik, individu dapat merasa diacuhkan dan tidak dihargai oleh lingkungan sosialnya. Keadaan tersebut bisa memicu keinginan untuk tidak kembali mengunggah swafoto atau tetap melakukan swafoto, namun dengan evaluasi tertentu.
Kedua, swafoto merupakan salah satu bentuk narsisme digital (Nasrullah, 2015). Sebuah swafoto yang diambil menunjukkan bahwa penggunanya tengah merancang dirinya dan hasil rancangan itu, selain untuk eksistensi diri, juga sebagai bentuk pertunjukkan di depan panggung untuk menarik kesan pengakses atau pengguna lain dalam jaringan pertemanan di media sosial (Shaw & Costanzo, 1982).
Sebuah swafoto juga, misalnya, harus dilihat dari latar belakang objek foto tersebut. Banyak foto diri dengan latar belakang sebuah lokasi tertentu dan ini menunjukkan bahwa si pengguna sedang berada di tempat tersebut. Di lain kesempatan, swafoto di dalam kendaraan, seperti pesawat terbang. Ketiga, swafoto juga dapat menandakan bahwa pengguna melakukan keterbukaan diri (self-disclosure) di media sosial.
Seseorang yang mengunggah foto-foto dirinya di media sosial pada dasarnya orang yang bisa terbuka pada pihak lain, dia membuka dirinya pada pihak lain, dan bersedia diberi komentar oleh pihak lain. Tidak jarang ketika orang tersebut di media sosial jumlah temannya (followernya) cukup banyak didaulat menjadi ambassador untuk produk-produk tertentu. Produk-produk yang menggunakan dirinya sebagai ambassador akan diunggah di halaman media sosial yang dimilikinya.
Etika dalam Berselfi (swafoto)
Manusia sebagai individu memiliki kebebasan untuk mengembangkan dirinya, pikiran-pikirannya, memutuskan tujuan hidupnya. Manusia harus bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihan yang telah diambilnya. Kesadaran dalam dirinya inilah yang akan menuntunnya untuk menentukan tindakan yang akan diambilnya. Hati nurani, ideologi yang diyakini yang akan menuntun sesorang dalam mengambil keputusan. Dalam konteks ini, maka seseorang harus bertanggung jawab atas tindakan yang diambilnya.
Namun manusia sebagai seorang individu tidaklah hidup dalam ruang yang kosong, ruang yang hampa. Ia merupakan makhluk sosial hidup dalam sebuah mata rantai sosial mulai dari unit yang terkecil hingga masyarakat di mana ia tinggal dan beraktivitas. Lingkungan sosial di mana ia tinggal tentunya memiliki norma-norma yang disepakati bersama untuk menjaga kohesivitas kelompok.
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi telah menghadirkan realitas baru. Realitas dunia maya yang bisa jadi berbeda dengan realitas sesungguhnya. Manipulasi-manipulasi even bisa saja dilakukan. Konflik-konflik horizontal bisa saja terjadi bila kita tidak hati-hati ketika kita mengunggah sesuatu di media sosial. Telah banyak contoh tentang hal itu.
Kita sebagai seorang individu dan seorang muslim perlu kiranya mempunyai kendali diri sebelum mengunggah sesuatu melalui media sosial. Pertama, kenali tujuan kita ketika akan mengunggah sesuatu. Pertimbangkan kembali untung rugi ketika kita akan mengunggah sesuatu. Ini penting karena karakter media sosial yang tidak bisa kita hentikan sebarannya. Kalaupun kita menghapusnya tidak berarti orang lain tidak melihat unggahan kita. Di media sosial kita akan terhubung dengan individu lain dan kita juga tidak bisa mengontrol apakah unggahan kita akan dibagikan kepada orang lain. Semua berlangsung sangat cepat dan massif.
Kedua, lakukan verifikasi secara cermat, terutama ketika kita akan mengunggah foto dengan latar suatu tempat tertentu, budaya tertentu atau yang berkaitan dengan individu lain. Verifikasi ini penting agar kita tidak salah meng-upload. Bisa jadi ada larangan-larangan tertentu yang tidak kita ketahui. Bila kita akan mengunggah foto kita bersama dengan rekan kita yang sedang sakit, misalnya, tidak ada salahnya meminta ijin pada keluarganya.
Ketiga, ketika kita akan memberi caption pada foto yang akan kita unggah, perhatikan pilihan diksi. Carilah diksi yang tidak menimbulkan mispersepsi. Pilihlah diksi yang bisa memberikan motivasi positif, yang menumbuhkan semangat atau merupakan sebuah apresiasi.
Keempat, rasa empati. Kegemaran kita mengunggah foto-foto apapun itu perlu juga diimbangi dengan rasa empati, terutama bila menyangkut individu. Misalnya, menengok orang sakit, melayat dan lainnya. Bisa jadi keluarga keberatan bila foto kerabatnya diunggah walaupun oleh teman dekatnya.
Baca Juga: Nilai Al-Quran dan Logika Media Sosial
Bila kita masuk dalam satu grup di media sosial, perhatikan aturan main di grup tersebut, terutama bila anggotanya sangat heterogen. Toleransi dan saling menghargai keyakinan, prinsip individu perlu dijaga. Dalam hal ini admin dalam grup menjadi kunci mengatur lalu lintas tatacara mengunggah foto atau memberikan komentar. Jangan sampai admin membiarkan anggota dalam grup perang kata-kata atau perang gambar yang bisa menganggu kohesivitas kelompok.
Sanksi terhadap pelanggaran etika adalah ada pada dirinya sendiri, serta lingkungan sosial di mana dia berada. Bagaimana dengan sanksi di dunia maya? Siapa yang mengatur? Bentuk sanksi di dunia maya bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, bisa respons negatif, di-unfollow, diblokir.
Namun secara yuridis formal, sudah ada regulasi yang mengatur yaitu Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penerapan undang-undang ini sudah dilakukan dan sudah banyak menjerat pemilik akun media sosial yang menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian, termasuk foto-foto yang direkayasa.
Media sosial pada dasarnya merupakan sarana kita menjalin relasi sosial. Kita tidak menghindar dari realitas ini. Tinggal yang perlu kita bangun adalah bagaimana media sosial itu bisa kita manfaatkan secara positif dan bisa mendukung aktivitas kita. Pengendalian diri terkait konten-konten atau gambar-gambar yang akan kita ungguh sangat diperlukan.