Politik dan HukumTokoh

Etika Politik Hatta, Sebuah Refleksi Sejarah #1

  • Menjelang Pemilu 2024, Suara 'Aisyiyah menyediakan ruang #pemilukita. Ruang ini kami buka agar masyarakat dapat bersama-sama mewujudkan pemilu yang substantif dan inklusif.

Oleh: Muhammad Yuanda Zara*

Pertanyaan tentang relasi yang ideal antara etika dan politik merupakan pertanyaan yang telah lama diajukan oleh para intelektual dan publik secara umum.

Sebagaimana dikemukakan oleh Edward Hall & Andrew Sabl dalam Political Ethics: A Handbook (2022), sejak dahulu orang mempertanyakan, bukankah term ‘etika politik’ itu sebenarnya merupakan suatu frasa yang kontradiktif? Di satu sisi, para politisi yang melakukan kegiatan politik menganggap bahwa perjuangan politik yang mereka lakukan adalah untuk memajukan kepentingan umum, sementara di sisi lain masyarakat menilai bahwa yang politisi lakukan biasanya adalah untuk kepentingan dirinya semata. Namun, konsep etika politik tetap dibutuhkan sebagai panduan tentang bagaimana politisi berpikir dan bertindak sesuai dengan standar moral.

Di dalam sejarah Indonesia modern, terdapat berbagai catatan mengenai pemikiran dan penerapan etika kepemimpinan dalam politik oleh para pemimpin di Indonesia. Pertama adalah terkait integritas dari pemimpin, yang mengindikasikan perlunya seorang pemimpin memiliki nilai-nilai pribadi yang utama seperti kebijaksanaan, kejujuran, kesederhanaan, dan keselarasan antara pemikiran dan tindakan.

Salah satu tokoh Indonesia yang dikenal memiliki integritas tinggi adalah Mohammad Hatta. Hatta menduduki berbagai posisi politik tertinggi, mulai dari sebagai wakil presiden hingga perdana menteri. Hatta membangun integritasnya dari muda. Hidup di Batavia dan Rotterdam tidak membuat Hatta silau.

Baca Juga: Fatmawati: Pahlawan Nasional Juga Pejuang Aisyiyah

Alih-alih gandrung hura-hura, Hatta memilih fokus pada sekolah, menulis, dan berorganisasi. Bahkan, ketika Belanda membuang Hatta ke Digul di Papua di tahun 1936, Hatta lebih banyak membawa peti buku daripada barang bawaan lainnya.

Integritas Hatta teruji di masa ketika ia menjadi pemimpin negara. Ia menolak penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadinya. Misalnya, ketika ia ingin bertemu dengan ibundanya di tahun 1950, Hatta meminta mobil kerabatnya, Hasjim Ning, yang digunakan, mengingat ini adalah urusan keluarga sementara mobil Hatta adalah mobil negara.

Hatta bahkan menolak penggunaan properti dari suatu lembaga negara oleh lembaga negara lainnya. Sebagai contoh, ia melarang penggunaan kertas Sekretaris Negara untuk kepentingan Wakil Presiden.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa etika politik pada hakikatnya berkaitan dengan perangkat moral tentang bagaimana politik seharusnya dipikirkan dan dijalankan, yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kunci, seperti integritas, kebijaksanaan, keadilan, transparansi, dan mementingkan kepentingan publik. Memimpin adalah mengemban amanah, yang menuntut adanya tanggung jawab. Pemimpin-pemimpin yang memahami etika politik akan berperan penting dalam mewujudkan kedamaian, keadilan, dan kemajuan dalam suatu organisasi politik, termasuk negara.

NB: tulisan ini terbit di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Juni 2023. Dimuat ulang dengan beberapa perbaikan tanpa mengubah substansi.

*Staf Pengajar Prodi Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta 

Related posts
Politik dan HukumTokoh

Etika Politik Natsir, Sebuah Refleksi Sejarah #2

Oleh: Muhammad Yuanda Zara* Pada bagian yang lalu, kita telah membahas mengenai etika politik Mohammad Hatta, selanjutnya adalah mengenai konsep pelayanan publik….
Kalam

Etika Politik menurut Islam

Ajaran Islam memuat dua dimensi, yakni duniawi dan ukhrawi. Dimensi duniawi menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam semesta. Sementara dimensi…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *