Ajaran Islam memuat dua dimensi, yakni duniawi dan ukhrawi. Dimensi duniawi menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam semesta. Sementara dimensi ukhrawi menyangkut hubungan manusia dengan Allah swt.
Kedua dimensi ini tidak dapat dipisahkan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda bahwa setiap amal keduniaan yang didasari pada niat baik akan digolongkan menjadi amal akhirat. Sebaliknya, amal akhirat yang didasari pada niat buruk akan tergolong amal dunia.
كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الدّنْياَ وَيَصِيْرُ بِحُسْنِ النِيَّة مِن أَعْمَالِ الآخِرَة، كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الأخرة ثُمَّ يَصِيْر مِن أَعْمَالِ الدُّنْيَا بِسُوْءِ النِيَّة
Artinya, “banyak amal perbuatan yang tergolong amal keduniaan, tapi karena didasari niat baik maka ia tergolong amal akhirat. Banyak amal perbuatan yang tergolong amal akhirat, tapi ia tergolong amal dunia karena didasari niat buruk”.
Oleh karenanya, setiap perbuatan mesti didasarkan pada niat baik agar mendapat hasil yang baik pula, termasuk kaitannya dengan politik. Islam mengatur beberapa etika umum dalam berpolitik.
Pertama, nilai dasar. Merujuk pada al-Quran dan as-sunnah, nilai dasar kehidupan politik memuat delapan (delapan) poin utama, yaitu keadilan (al-‘adalah), persaudaraan (al-ukhuwwah), persamaan (al-musawah), musyawarah (asy-syura), pluralitas (at-ta’adudiyyah), perdamaian (as-silm), pertanggungjawaban (al-mas’uliyyah), dan otokritik (an-naqd az-zatiy).
Di dalam Q.S. al-A’raf [7]: 29, Allah swt. secara tegas memerintahkan kepada manusia untuk berlaku adil. “Qul amara Rabbī bil qisthi”. Nilai keadilan ini mesti diwujudkan dalam kehidupan politik.
Baca Juga: Peran Politik Perempuan: Belajar dari Seruan Aisyiyah Tahun 1955
Selain itu, Allah juga memerintahkan manusia untuk melakukan kritik terhadap diri sendiri (otokritik). Perintah ini termaktub dalam Q.S. al-Isra’ [17]: 14. Allah swt. berfirman,
ٱقْرَأْ كِتَٰبَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ ٱلْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
Artinya, “bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu”.
Kedua, kekuasaan. Menurut Islam, kekuasaan adalah amanah Allah. Kekuasaan adalah manifestasi dari misi kekhalifahan manusia yang ditujukan untuk mewujudkan kemaslahatan dan kerahmatan bagi semesta. Oleh karena itu, kekuasaan harus mengandung prinsip amanah, tanggung jawab, dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat.
Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Mu’minun [23]: 115,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَٰكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
Artinya, “maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”.
Ketiga, tata pemerintahan yang baik. Pemerintahan harus dikelola dengan baik di semua sektor, mulai dari politiknya, ekonominya, administrasinya, dan sebagainya. Tata kelola pemerintahan yang baik akan melahirkan keadilan dan kemaslahatan bagi masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, tata kelola pemerintahan yang baik mensyaratkan adanya pemimpin dengan kualifikasi dan kriteria tertentu, yaitu punya integritas, kapabilitas, berjiwa kerakyatan, visioner, berjiwa negarawan, punya kemampuan diplomasi, dan berjiwa reformis. (bariqi)
*dirangkum dari Himpunan Putusan Tarjih 3, Bab Etika Politik dan Etika Bisnis