Kiai Haji Ahmad Dahlan menjawab kebutuhan bangsa yang saat itu berada dalam situasi keterjajahan dengan membentuk-tegakkan Muhammadiyah. Pada awal berdirinya, Muhammadiyah mengkhususkan diri pada dua bidang utama, yaitu pendidikan dan kesejahteraan sosial. Jawaban atas tantangan zaman yang diberikan oleh K. H. Ahmad Dahlan itu sejalan dengan tuntutan masyarakat agar sebagai anak negeri jajahan mereka dapat memiliki harkat untuk mengubah diri dan masyarakatnya.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Anhar Gonggong, sejarawan, dalam sarasehan pendidikan dalam rangka Milad 101 Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Aula Madrasah, Senin (9/12).
Menjawab Tantangan Zaman
“Melalui tokoh-tokoh pendidikan di Muhammadiyah, seperti K. H. Ahmad Dahlan, K. H. Mas Mansur, dan K. H. Kahar Muzakkir, Muhammadiyah telah melakukan usaha-usaha bagi pencerdasan umat dan bangsa. Karena jasanya, ketiga tokoh tersebut telah diberi gelar Pahlawan Nasional,” ungkapnya.
K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang pembaharu agar Islam mampu menghadapi tantangan zaman. K. H. Mas Mansur yang merupakan mantan Direktur Mu’allimin dan Pengelola Jawa Hokokai (Persatuan Kebaktian Jawa bersama Hatta pada 1944) adalah seorang anggota BPUPKI. Sementara itu, K. H. Kahar Muzakkir adalah pendiri Sekolah Tinggi Islam yang menjadi UII bersama Mohammad Hatta. “Tiga tokoh tersebut berupaya menjadikan masyarakat yang adil dan makmur berdasar Pancasila dengan dibimbing dan diridhai oleh Allah swt.,” lanjutnya.
Diakui oleh Anhar bahwa perkembangan Muhammadiyah sempat berjalan lamban karena beberapa hal, seperti mendapat tentangan atau diabaikan oleh para pejabat; guru-guru Islam di pedesaan yang bertahan dengan gaya lama; hierarki-hierarki keagamaan yang diakui Pemerintah; dan komunitas-komunitas yang menolak ide-ide Islam modernis.
Anhar juga berbicara mengenai perkembangan pendidikan di era Revolusi Industri 4.0 ini. Era ini bagi Anhar memiliki dampak tersendiri sehingga masyarakat perlu mencontoh sikap dan usaha-usaha yang telah dilakukan ketiga tokoh tersebut untuk menjawab tantangan sejarah yang dihadapi dalam periode hidupnya.
Tajdid dan Ijtihad Menjadi Watak Distinctive
Dalam kesempatan yang sama, Habib Chirzin, Anggota Badan Pembina Harian Madrasah Muallimin Muhammadiyah, menyampaikan sejumlah hal terkait perkaderan. Menurutnya, bentuk perkaderan dari lembaga pendidikan dan pengkaderan seperti Mu’allimin dan Mu’allimaat Muhammadiyah serta Pondok Pesantren Muhammadiyah-‘Aisyiyah di seluruh Indonesia saat ini semakin memerlukan penghayatan dan peningkatan sense of mission dan sense of orientation.
Dikatakannya, khidmat Muhammadiyah hingga memasuki abad ke-2 ini membawa konsekuensi pengembangan, bahkan pembaharuan peran dan keberadaan Muhammadiyah. Sebagai global civil society dalam arus global (good) governance, tajdid dan ijtihad menjadi watak distinctive warga Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah, dan amar ma’ruf nahi munkar. Muhammadiyah harus terpanggil untuk menggeluti wilayah peradaban yang lebih luas dan mendalam.
Landasan yang dibangun oleh Muhammadiyah, lanjut Habib, dalam pembinaan peradaban utama ialah integrasi antara agama dan ilmu pengetahuan. Pada hakikatnya pengetahuan adalah hak setiap orang yang akan membentuk masyarakat berilmu sehingga sampai pada pencapaian peradaban.
“Strategi dan pencerdasan kehidupan bangsa oleh Muhammadiyah harus dilakukan secara holistik, berbasis mukadimah Anggaran Dasar; Matan, Keyakinan, dan Cita-cita Hidup; Kepribadian Muhammadiyah; serta Khittah Perjuangan Muhammadiyah. Rumusan tersebut merupakan hasil penghayatan perkembangan dan panggilan zaman yang telah dilakukan para tokoh Muhammadiyah yang menjadi tuntunan baku dalam pengelolaan persyarikatan Muhammdiyah,” pungkasnya. (Syifa)
Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 1 Januari 2020, hlm. 20.
Sumber ilustrasi : https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/12/10/pji47n282-melegendanya-madrasah-muallimin-tempat-calon-pemimpin-umat