Kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari perjuangan rakyat dan juga para pahlawan, salah satunya yaitu Fatmawati. Fatmawati adalah Pahlawan Nasional yang dikenal jasanya sebagai penjahit bendera merah putih. Namun, bukan hanya itu, kiprahnya juga sebagai Ibu Negara pertama yang mendampingi Sukarno dalam setiap kondisi dan turut memperjuangkan nasib perempuan melalui Nasyiatul Aisyiyah.
Tumbuh Besar di Lingkungan Muhammadiyah
Fatmawati dilahirkan di Bengkulu pada Senin, 5 Februari 1923 dengan bantuan dukun bersalin, karena pada masa itu belum ada dokter atau bidan. Ayahnya Bernama Hassan Din dan ibunya bernama Siti Chadijah. Kedua orang tuanya telah terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan melalui Muhammadiyah. Mulanya Hassan Din bekerja di Borsumij (perusahaan milik Belanda), namun setelah Belanda mengetahui bahwa Hassan adalah anggota Muhammadiyah, ia kemudian diberhentikan dan sering dipanggil ke kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Meskipun begitu, Hassan Din dengan dukungan penuh dari sang istri, tetap teguh melanjutkan perjuangannya di Muhammadiyah.
Pada umur 6 tahun, Fatmawati mulai bersekolah di sekolah formal Ongko Loro yang didirikan oleh Muhammadiyah selama satu tahun. Pada tahun berikutnya, ia kemudian pindah ke sekolah Ongko Siji bernama Hollandsh Inlandsche School (HIS). Ketika Fatmawati duduk di bangku kelas empat, ia dan orang tuanya harus pindah ke Palembang karena faktor ekonomi. Disana ia melanjutkan sekolahnya ke HIS Muhammadiyah Bukit Kecil.
Sejak masih kecil, Fatmawati juga telah banyak diajarkan agama Islam oleh datuknya, dan belajar menulis dan membaca Al-Quran pada sore hari. Bakat seni Fatmawati sudah mulai terlihat pada saat itu, salah satunya yaitu seni membaca Al-Quran. Dengan kemampuan yang dimilikinya, ia pernah membaca Al-Quran pada saat Pembukaan Kongres Muhammadiyah di Palembang tahun 1936.
Saat remaja, ia juga aktif di organisasi Nasyiatul Aisyiyah (NA). Pada saat itu, NA berfokus pada pemberian ruang gerak dan pembinaan untuk anak-anak dan remaja perempuan. Di sinilah Fatmawati mengasah kemampuan berpikirnya untuk memahami kondisi perempuan di Indonesia pada saat itu.
Fatmawati Bertemu Soekarno
Berawal Ketika Sukarno diasingkan di Bengkulu, kemudian mengajar di sekolah Muhammadiyah, pada saat itu Fatmawati bertemu dengan Sukarno sebagai seorang guru dan murid. Fatmawati dikenal sebagai murid yang pintar dan supel, sehingga mampu memikat hati Sukarno. Kedekatan mereka semakin terlihat ketika Fatmawati tinggal bersama keluarga Sukarno karena tawarannya untuk bersekolah di Rooms Katholik Vakshool. Namun, hal tersebut ternyata membawa kecurigaan pada Inggit Garnasih, istri Sukarno. Akhirnya Fatmawati memilih untuk tinggal di rumah neneknya, tetapi ia dan Sukarno masih sering bertemu untuk pelajaran tambahan.
Pada umur 17 tahun, Fatmawati meminta saran kepada Sukarno karena ada laki-laki yang meminangnya. Namun, bukannya memberi saran, pada saat itu Sukarno menyatakan perasaannya dan berniat meminang Fatmawati. Fatmawati sebagai perempuan Muhammadiyah, menerima lamaran Sukarno dengan syarat ia tak mau dipoligami, sehingga Sukarno harus menceraikan Inggit secara baik-baik.
Baca Juga: Djuanda, Tokoh Muhammadiyah yang Nyaris Terlupakan
Pada tahun 1943, Sukarno dan Inggit resmi bercerai. Kemudian Sukarno melangsungkan pernikahannya dengan Fatmawati yang saat itu diwakilkan oleh Opseter Sardjono karena Sukarno sedang tidak berada di Bengkulu. Fatmawati kemudian datang ke Jakarta untuk mendampingi Sukarno pada masa kedudukan Jepang. Pada tahun 1944 Fatmawati melahirkan putra pertama mereka bernama Muhammad Guntur Sukarno Putra.
Perjuangannya dalam Kemerdekaan Indonesia
Kehidupan Fatmawati sebagai istri Sukarno diwarnai dengan pergolakan dan peperangan oleh Jepang. Peran pentingnya diawali ketika ia terlibat langsung dalam memperebutkan kemerdekaan pada saat itu. Sebagai istri dari tokoh besar, ia selalu mendukung apa yang diperjuangkan Sukarno. Fatmawati menjadi saksi berbagai peristiwa penting yang dialami oleh Sukarno dan turut andil didalamnya.
Pada tahun 1945, setelah Jepang kalah dari Sekutu dan menyerah tanpa syarat, para pemuda mendesak Sukarno dan Muhammad Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sukarno kemudian diculik dan dibawa ke Rengasdengklok. Pada saat peristiwa itu, Fatmawati ikut serta dengan membawa Guntur yang masih kecil. Kesetiaan Fatmawati ini yang juga menguatkan Sukarno yang berselisih paham dengan kaum pemuda.
Peran Fatmawati lainnya yang sangat berpengaruh ialah ketika ia menjahit bendera merah putih. Kain yang ia jahit itu merupakan pemberian dari perwira Jepang yang pada awalnya akan digunakan untuk menjahit baju anak yang sedang dikandung Fatmawati. Namun atas inisiatif Fatmawati kain tersebut akhirnya ia gunakan untuk menjahit bendera merah putih yang sampai saat ini dijadikan sebagai bendera negara Indonesia. Bendera tersebut digunakan pertama kali pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pada saat itulah Fatmawati resmi menjadi Ibu Negara pertama pasca Indonesia merdeka. Perjuangan Fatmawati dalam kemerdekaan memang bukan bergerilya melawan musuh, tetapi ia mendukung penuh Sukarno, membantu para gerilyawan untuk memasok kebutuhan makan dan pakaian mereka, serta mendukung berbagai program sosial untuk meningkatkan kondisi hidup masyarakat Indonesia, khususnya kaum perempuan.
Atas jasa-jasa yang ia torehkan, Fatmawati ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 4 November 2000 oleh Presiden Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid melalui Keppres Nomor 118/TK/2000. (Salma Asyrofah)
1 Comment