Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi
Fatwa adalah suatu penjelasan atau jawaban yang diberikan oleh mufti kepada mustafti (orang yang bertanya) tentang suatu persoalan, yang biasanya berkaitan dengan isu keagamaan secara umum. Dalam pengertian ini, Rasulullah dapat dikatakan sebagai mufti pertama, sedangkan para sahabat adalah mustafti. Setelah Nabi wafat, otoritas mufti ini terus turun-temurun ke generasi berikutnya hingga hari ini. Tentu, tidak setiap orang layak disebut mufti. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyandang predikat ini.
Dahulu mufti adalah sosok personal, tetapi pada zaman modern ini otoritas mufti dapat juga kita jumpai pada lembaga-lembaga fatwa yang berisi para ulama kompeten. Ada Dār al-Iftā’ di Mesir, Ri’āsah al-‘Āmmah li al-Bu’ūts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftā’ di Arab Saudi, Dā’irah al-Iftā’ al-‘Ām di Yordania, The European Council for Fatwa and Research di Eropa, dan lain sebagainya. Di Indonesia, untuk menyebut sebagian, terdapat Majelis Tarjih dan Tajdid di Muhammadiyah, Lembaga Bahtsul Masail di NU, Dewan Hisbah di Persatuan Islam, dan Majelis Ulama Indonesia.
Selain itu, dahulu fatwa disampaikan secara tradisional melalui lisan dan pertemuan tatap muka. Hari ini, fatwa bisa didiseminasikan melalui berbagai media seiring perkembangan teknologi informasi. Fatwa yang dikeluarkan oleh mufti, baik yang personal maupun kelembagaan, bervariasi temanya: mulai dari akidah, ibadah, muamalah hingga isu perempuan secara spesifik.
Perempuan dalam Fatwa: Perspektif Historis
Dalam salah satu definisi yang lain, fatwa tidak harus selalu berkaitan dengan pertanyaan dari mustafti. Fatwa bisa juga dimaknai sebagai pendapat otoritatif atau pendapat yang diterima dalam mazhab tertentu. Menurut catatan Lena Larsen (dalam How Muftis Think: Islamic Legal Thought and Muslim Women in Western Europe, Leiden: Brill, 2018), isu perempuan dalam literatur fatwa klasik kurang mendapat perhatian. Hal itu tidak masuk dalam kategori tema utama pembahasan.
Larsen menyimpulkan ini dari tema-tema yang terdapat dalam Kitab Al-Muwaṭṭa’ karya Imam Malik yang, menurutnya, adalah salah satu sumber fatwa paling awal (one of the earliest written fatwa sources) dalam sejarah Islam. Menurut Larsen, tema utama dalam Al-Muwaṭṭa’ dibagi ke dalam dua kategori besar, yaitu ibadah dan muamalah. Sayangnya, isu perempuan hanya disinggung dalam sub-bahasan pernikahan, perceraian, dan penyusuan di bawah kategori tema muamalah. Kategorisasi tema keagamaan semacam ini tampaknya menjadi model penulisan kitab-kitab fikih atau kompilasi fatwa yang muncul pasca Al-Muwaṭṭa’.
Larsen, misalnya, membuktikan hal ini terjadi pula pada kitab kumpulan fatwa yang terbit paling awal pada paruh kedua abad ke-9, antara lain Kitāb Al-Nawāzil. Kitab ini berisi sejumlah fatwa yang diberikan oleh fukaha Hanafi, lalu dikompilasi oleh Abu Laits al-Samarqandī (w. 983). Selain itu, kitab kompilasi fatwa paling otoritatif dari mazhab Hanafi, yaitu Al-Fatāwā al-‘Ālīmjiriyyah dan kompilasi fatwa dari mazhab Maliki berjudul Kitāb Al-Miʻyār juga tersusun dengan kategorisasi tema yang kurang lebih sama dengan kategorisasi Al-Muwaṭṭa’. Bagi Larsen, hal ini sekali lagi menandai bahwa isu perempuan belum menjadi objek utama kajian dalam fatwa-fatwa, tetapi sekadar menjadi subordinasi dari struktur tema besar yang ada.
Baca Juga: Karya Muhammadiyah untuk Visi Perempuan Berkemajuan
Isu perempuan sebagai tema besar dan utama dalam diskursus keislaman, khususnya fatwa, dapat ditelusuri sejak akhir tahun 1800-an. Uniknya, awal diskursus ini tidak muncul di Barat, tetapi justru dari Timur Tengah, tepatnya Mesir.
Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (w.1873) adalah tokoh Mesir modern yang konon pertama kali mengangkat isu perempuan ini ke gelanggang diskursus keagamaan publik. Hourani, sebagaimana dikutip Larsen, mengatakan bahwa Al-Tahtawi adalah tokoh yang getol menyerukan pentingnya perempuan memiliki hak yang sama seperti laki-laki dalam soal akses pada pendidikan.
Gagasan Al-Tahtawi ini lalu didukung dan dielaborasi lebih lanjut oleh Qasim Amin, hingga kemudian ia menelurkan karya yang cukup kontroversial tentang perempuan berjudul Taḥrīr al-Mar’ah. Dalam bukunya ini, Amin antara lain mengampanyekan fatwa tentang larangan poligami, kewajiban pendidikan bagi perempuan (minimal pendidikan dasar), penghapusan cadar dan pemisahan jenis kelamin, hak perempuan untuk menentukan sendiri pilihan-pilihannya dalam soal perkawinan, dan lain sebagainya.
Setelah Qasim Amin, nama-nama pembaharu seperti Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha turut andil dalam meletakkan isu perempuan sebagai objek bahasan dalam fatwa keagamaan. Abduh misalnya pernah mengerjakan dan mengajukan sebelas proposal yang meluaskan hak perempuan untuk menuntut cerai, juga menentang praktik poligami yang menurutnya bertentangan dengan karakteristik dasar dari pernikahan itu sendiri.
Ridha, dalam catatan Larsen, juga memuji karya Qasim Amin dan bahkan mengkritisi para pengkritik buku Amin sebagai orang yang bodoh (foolish) dan tidak memiliki argumen kuat. Dengan kata lain, Ridha banyak bersimpati dengan gagasan Amin terkait pembebasan hak-hak perempuan.
Tidak hanya Abduh dan Ridha, Larsen juga mencatat nama Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qaradhawi sebagai tokoh ulama yang banyak memberikan perhatian pada isu perempuan di dalam fatwa-fatwa yang mereka keluarkan. Al-Ghazali bahkan termasuk orang yang memberikan apresiasinya kepada Qasim Amin.
Muhammadiyah dan Perhatiannya pada Isu Perempuan
Muhammadiyah sebagai organisasi yang banyak mengambil inspirasi dari gagasan para pembaharu ini, juga telah dan terus memberikan perhatian pada isu perempuan, tak terkecuali dalam fatwa dan putusannya. Ini tampak dari komitmen pendirinya, Ahmad Dahlan, beserta para perintis awalnya. Setelah lima tahun lahirnya Muhammadiyah, mereka merasa perlu untuk mendirikan satu wadah organisasi yang menjadi media aktualisasi kaum hawa untuk menebarkan manfaat pada masyarakat dan sekitar.
Atas dasar itu, didirikanlah ‘Aisyiyah pada tahun 1917, dan segera setelah itu bermunculan banyak program dan aktivisme yang sarat nilai dari perkumpulan perempuan Muhammadiyah ini. Bahkan, pada tahun 1926, ‘Aisyiyah telah menerbitkan satu majalah yang hingga hari ini kita semua masih dapat membacanya, yaitu Suara ‘Aisyiyah.
Perhatian Muhammadiyah pada isu perempuan juga dibuktikan melalui sikap keagamaannya. Untuk menyebut sebagian, putusan tarjih tahun 1972 di Wiradesa Pekalongan adalah satu misal. Putusan ini menghasilkan satu tuntunan progresif tentang perempuan. Di dalamnya, selain dibahas tentang beberapa hal mendasar tentang pergaulan dan akhlak perempuan dalam dan dengan berbagai elemen/pihak, dikupas juga tentang bagaimana interaksi perempuan dengan kesenian, ilmu pengetahuan, jihad, hingga politik.
Bahkan, di sinilah Muhammadiyah membuka pintu bagi perempuan untuk bisa berkiprah menjadi hakim, suatu profesi yang pada tahun-tahun lahirnya putusan ini persepsi masyarakat tentang perempuan masih kental dengan nuansa domestik.
Dalam sikap keagamaannya yang lain, Muhammadiyah juga menjadikan isu dan kepentingan perempuan sebagai salah satu dasar argumentasi dalam berfatwa. Ini misalnya tampak dari fatwa tarjih Muhammadiyah tahun 2007 tentang Hukum Nikah Sirri dan Perceraian di Luar Sidang Pengadilan.
Muhammadiyah barangkali menjadi salah satu atau bahkan mungkin satu-satunya ormas Islam yang menganggap bahwa perceraian yang dilakukan di luar persidangan tidaklah sah dan mewajibkan setiap pasangan suami-istri untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga resmi negara yang terkait dengannya. Dalam dua fatwa tersebut, salah satu argumentasi yang dibangun berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan perempuan.
Dalam fatwa tentang Perceraian di Luar Sidang Pengadilan tertulis, “Memang dalam fikih klasik, suami diberi hak yang luas untuk menjatuhkan talak, sehingga kapan dan di mana pun ia mengucapkannya, talak itu jatuh seketika. Keadaan seperti ini dipandang dari sudut pemeliharaan kepentingan keluarga, kepastian hukum, dan ketertiban masyarakat tidak mewujudkan maslahat bahkan banyak merugikan terutama bagi kaum wanita (isteri). Oleh karena itu, demi terwujudnya kemaslahatan, maka perceraian harus diproses melalui pengadilan”.
Adapun dalam fatwa tentang Hukum Nikah Sirri dijelaskan, “Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya, apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak”.
Baca Juga: Siti Bariyah, Sosok Perempuan Pertama Penafsir Ideologi Muhammadiyah
Satu produk ijtihad Muhammadiyah terbaru yang juga patut untuk disinggung di sini adalah Fikih Perlindungan Anak. Putusan yang dirumuskan tahun 2018 ini meskipun bertajuk tentang perlindungan anak, tetapi mengandung beberapa hal yang berkaitan dengan isu perempuan.
Di antaranya ialah bagaimana memandang anak, baik laki-laki maupun perempuan, secara adil. Ini misalkan ditegaskan oleh putusan tersebut dalam kalimat, “makna kata al-walad atau al-mawlūd mengandung arti bahwa tidak ada diskriminasi antara anak laki–laki dan anak perempuan. Keduanya sama-sama dilahirkan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan, sehingga tidak layak untuk ditelantarkan”.
Demikian halnya dengan kalimat, “Al-Quran juga telah menegaskan bahwa bertindak diskriminatif kepada anak adalah kebiasaan jahiliyyah, seperti membedakan antara laki-laki dan perempuan. Perbuatan ini dicela dengan keras [An-Nahl (16): 58-59]. Rasulullah sendiri juga pernah menegur seorang lelaki yang memperlakukan anak lakilakinya secara lebih istimewa daripada anak perempuannya agar lelaki itu menyamakan antara keduanya. Jelaslah bahwa adil terhadap semua anak tanpa membedakan jenis kelamin merupakan ajaran Islam”.
Di samping itu, isu perempuan lain di Fikih Perlindungan Anak juga terbahas ketika menyinggung human trafficking yang kebanyakan korbannya adalah perempuan dan anak perempuan, usia pernikahan anak perempuan, aborsi, dan lain sebagainya.
Perhatian Muhammadiyah pada isu dan kepentingan perempuan bisa kita lihat dalam kebijakan dan sikap keagamaannya. Dari sini tampak bagaimana Muhammadiyah menjadikan isu perempuan bukan sebagai isu marginal, melainkan isu sentral dalam diskursus keagamaan.
Hal ini tidak terlepas dari visi Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah yang memang banyak terinspirasi dari gagasan-gagasan pembaharu di Timur Tengah. Visi Ahmad Dahlan yang selalu meniupkan semangat tajdid keagamaan inilah yang pada gilirannya dilembagakan oleh dan dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah.