Oleh: Ahimsa W. Swadeshi
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang selalu dielu-elukan memunculkan sebuah pertanyaan besar: Apakah kehadirannya membawa manfaat atau malah sebaliknya?
Kehadiran media sosial yang semestinya digunakan untuk memudahkan sosialisasi justru menjelma menjadi sebuah paradoks. Pasalnya, UNICEF (2020) melaporkan bahwa terdapat 45% dari 2.777 anak muda usia 14-24 tahun di Indonesia yang pernah mengalamai cyberbullying alias perundungan melalui ruang daring. Umumnya, perundungan ini berbentuk ujaran-ujaran negatif yang disampaikan melalui aplikasi chat atau penyebaran dokumentasi pribadi tanpa izin.
Rahma Kusuma Fitri, psikolog PKU Muhammadiyah Yogyakarta, menjelaskan, “cyberbullying bertujuan untuk menakut-nakuti, membuat marah, atau mempermalukan seseorang atau kelompok yang menjadi sasaran.” Hal ini belakangan umum terjadi di kalangan anak muda. Ia mengungkapkan beberapa alasan, di antaranya kemudahan akses teknologi informasi dan komunikasi, kurangnya empati dan kontrol diri, kurangnya kontrol masyarakat, dan sebagainya. Lebih lanjut, Rahma menegaskan tidak adanya adab bermedia juga menjadi alasan lain. “Sebagai warga Muhammadiyah, kita diajarkan tentang ‘Akhlaq Sosmediyah’,” ungkapnya.
Jiwa jadi Taruhan
“Dampak cyberbullying dapat mempengaruhi beragam aspek, yaitu psikologis, fisik, sosial, dan akademik korban,” ungkap Rahma. “Bahkan, dalam jangka panjang, korban cyberbullying sangat rentan mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). “Gangguan-gangguan psikologis ini pastinya akan berpengaruh pada kondisi tubuh sehingga sistem kekebalan tubuh lebih lemah dan rentan terhadap penyakit fisik.
Selain itu, kehidupan sosial korban juga akan terpengaruh karena korban cenderung akan menarik diri dari lingkungan sosial. Tidak sedikit anak yang kemudian memilih putus sekolah karena merasa malu dan tidak nyama atas apa yang menimpa mereka. Pada kasus-kasus yang lebih parah, korban cyberbullying bahkan sampai memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya.
Menurut Rahma, langkah-langkah yang dapat dilakukan orang tua adalah sebagai berikut: 1) terima perasaan yang hadir dalam diri anak dan dengarkan apa saja yang dirasakannya, 2) tanyakan pada anak bagaimana awal mula peristiwa cyberbullying terjadi, kapan, serta siapa yang terlibat, 3) bila korban cenderung menyalahkan diri sendiri, maka dia perlu diyakinkan bahwa peristiwa itu adalah kesalahan pelaku, bukan korban, 4) jika masih berlangsung, kuatkan anak agar tidak merespons ujaran di media sosial tersebut, serta 5) jika diperlukan, orang tua bisa menghubungi psikolog untuk mendampingi anak dan ahli hukum untuk memberikan perlindungan hukum.
Baca Juga: Mencegah Bullying Pada Anak
Membangun Digital Citizenship
Cyberbullying seakan-akan merupakan penyakit yang menjangkiti interaksi manusia dengan teknologi informasi dan komunikasi. Ismail Fahmi, Direktur Drone Emprit, lebih jauh memandang bahwa ini berkaitan dengan proses membangun digital citizenship agar dapat mengelola dan memanfaatkan media sosial secara bijak. Wujud nyatanya adalah bisa membedakan informasi yang penting maupun tidak, bisa menahan untuk tidak membagikan informasi privat atau rahasia, bisa mengelola waktu, termasuk bisa terbebas dari adanya cyberbullying.
Sebagai negara dengan literasi media tertinggi di Eropa, Finlandia disebutkan oleh Fahmi merupakan salah satu role model menarik dalam menjawab masalah ini. Saking cyberbullying telah menjadi momok, fenomena cyberbullying bahkan masuk ke dalam salah satu fokus edukasi digital citizenship yang dilakukan di sekolah.
Negara benar-benar menyadari pentingya edukasi literasi digital untuk masyakarat dan oleh karenanya berupaya memasukkan edukasi tersebut secara terpadu dalam kurikulum sekolah. Fahmi mengenalkan kurikulum pembelajaran milik commonsense.org yang telah dipakai secara global. Sayangnya, edukasi kewargaan digital masih menjadi upaya setengah-setengah di Indonesia. Waktu yang sebenarnya bisa dipakai untuk memberikan edukasi tentang bagaimana bisa memanfaatkan teknologi itu secara optimal dan bijak juga belum bisa diwujudkan.
Fahmi sempat bereksperimen untuk mengaplikasikan pembelajaran literasi tersebut. Salah satunya bersama siswa-siswi kelas 5 SD Muhammadiyah Pucang, Surabaya. Ia memberikan edukasi melalui tema “is it cyberbullying?”. Rupanya, para siswa itu terpanggil untuk saling berbagi pengalamannya mengalami perundungan dan saling belajar.
Namun, semakin ke sini Fahmi menyadari bahwa upaya tersebut masih belum cukup. “Kita nggak akan bisa lewat seminar, webinar, yang singkat-singkat ini. Ini harus terstruktur lewat kurikulum, terstruktur mulai dari playgroup, SD, SMA paling tidak, dan melibatkan guru dan orang tua,” terangnya. Ia pun mendorong Muhammadiyah dan ‘Aisiyiyah untuk mau berinisiatif mengambil peran dengan mengaplikasikan kurikulum ini.
*Baca Selengkapnya di rubrik Liputan Utama Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Juli 2023