Hikmah

Fikih Difabel: Perspektif Keadilan dan Kemanusiaan dalam Islam

Oleh: Ika Sofia Rizqiani

Different Ability People atau difabel secara umum memiliki arti bahwa setiap orang di dunia ini memiliki kemampuan berbeda, sedangkan dalam makna khusus istilah difabel digunakan untuk mengganti ungkapan “penyandang cacat” yang memiliki konotasi merendahkan manusia. Sekitar 1 miliar orang atau 15% dari penduduk bumi merupakan difabel dalam pengertian yang kedua. Sementara itu, di negara-negara berkembang sekitar 82% difabel hidup di bawah garis kemiskinan.[1]

Menurut Mohammed Ghaly, kata Arab yang paling populer semakna dengan disabilitas adalah i‘āqah,’ awaq, dan ta‘wīq. Adapun orang yang memiliki disabilitas disebut mu‘āq, ma‘ūq, dan mu‘awwaq. Terdapat juga kata-kata lain mengandung eufemisme untuk menyebut mereka yang memiliki disabilitas, seperti al-fi’āt al-khāșșah —kelompok khusus, żawū al-iḥtiyājāt al-khāșșah —orang-orang berkebutuhan khusus, dan al-afrād gair al-‘ādiyyīn —individu-individu luar biasa.[2]

Kelompok difabel megalami keterbatasan akses yang merentang dari berbagai sektor mulai dari ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, hingga keagamaan. Stigma dan stereotip yang berkembang di tengah masyarakat memperparah keadaan atau kondisi hidup mereka menjadi semakin susah, bahkan dalam pelayanan yang disediakan oleh negara. Oleh sebab itulah, perlu adanya pandangan yang memuat nilai Islam dalam mengatur kehidupan manusia termasuk memenuhi hak-hak sipil kelompok difabel.

Seperti halnya manusia pada umumnya, kelompok difabel juga memiliki kebutuhan fisik dan psikis yang perlu dipenuhi. Maka dari itu, untuk dapat memenuhi segala kebutuhan mereka, diperlukan tuntunan atau panduan agar interaksi antar manusia terutama dengan kelompok difabel dapat berjalan dengan semestinya sesuai dengan fitrah.

Dalam perspektif Islam, sakit atau disabilitas bukan bersumber dari jiwa yang buruk, jahat, bahkab hukuman dari Tuhan, atau apa pun praduga yang selalu diyakini secara umum di masyarakat Arab pra-Islam dan di kebudayaan pada sepanjang sejarah. Oleh sebab itulah Islam memahamkan sebaliknya, bahwa hal-hal tersebut adalah sunnatullah yaitu ketetapan Allah untuk meletakkan hukum-hukum-Nya di atas segala ciptaan, baik di langit maupun bumi.

Menyusun fikih difabel diperlukan pemahaman yang mendalam terkait kata difabel itu sendiri. Kata difabel merupakan adopsi dari bahasa Inggris difable yang nyatanya tidak memiliki makna.[3] Menurut web Kementerian Sosial Republik Indonesia difable merupakan pemendekan kata/singkatan (abreviasi) dari different ability people.

The Americans with Disablities Act of 1990 (undang-undang disabilitas Amerika Serikat tahun 1990) merumuskan disabilitas sebagaimana berikut: 1) Suatu penurunan fisik atau mental yang secara substansial membatasi satu atau lebih kegiatan kehidupan yang pokok (misalnya, berbicara, berjalan, dan mendengar), 2) suatu catatan tentang penurunan fisik atau mental tersebut, atau 3) keadaan yang dinilai memiliki penurunan fisik atau mental tersebut.[4]

Baca Juga: Green Life Style Ramadan & Idulfitri

Perlu dukungan dan kontribusi semua pihak dalam memenuhi hak-hak kelompok disabilitas, mulai dari lembaga pendidikan, dunia usaha, serta memberikan rumah layak huni bagi mereka. Baik masyarakat maupun pemerintah tak luput dalam melindungi kaum disabilitas dari diskiriminasi, penelantaran, eksploitasi, pelecehan maupun tindak kekerasan.

Pun dengan media massa yang semakin membantu dalam membangun stigma positif terhadap kelompok difabel, salah satu contoh besarnya adalah banyak pemberitaan mengenai prestasi dari atlet difabel.

Muhammadiyah menyusun secara khusus perihal fikih difabel sebagai respon terhadap persoalan sosial-keagamaan. Istilah fikih dalam Muhammadiyah dikembalikan kepada makna sesungguhnya, yaitu totalitas memahami ajaran Islam yang tersusun dan memiliki bagian-bagian penting dalam mengatur kehidupan manusia.

Membangun paradigma fikih Muhammadiyah perlu memiliki nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah), dan ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah), tujuannya agar dapat menyelesaikan masalah dengan cara yang arif serta kekinian.

Terdapat tiga nilai dasar terkait fikih difabel yang terserap langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu:

  1. Tauhid, yaitu keyakinan bahwa segala yang ada adalah ciptaan Allah dan manusia wajib mengimaninya, “Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan (menciptakan pula) bumi seperti itu. Perintah-Nya berlaku padanya agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Aṭ-Ṭalāq [65]:12)
  2. Keadilan, yaitu perintah berlaku adil kepada sesama manusia. Baik difabel atau bukan, keduanya memiliki kedudukan yang setara di mata Allah dan perlu diperlakukan dengan adil, “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.” (An-Naḥl [16]:90)
  3. Kemaslahatan, yaitu menjaga hak-hak difabel seperti membantu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya bahkan diberikan ruang untuk berkontribusi di segala bidang, selaras dengan tujuan risalah Islam rahmatan lil alamin, “Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (Al-Anbiyā’ [21]:107)

Bentuk kasih sayang Allah pada manusia, tidak terkecuali kelompok difabel, ialah menempatkannya sebagai makhluk Allah yang memiliki kemuliaan dan kedudukan tertinggi. Manusia memiliki kemulian karena Allah menciptakannya dengan dibekali berbagai macam potensi, terutama potensi memiliki pengetahuan tanpa akhir. Allah berfirman, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan! Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Maha Mulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. Al-‘Alaq [96]:1-5.

Daftar Pustaka

AS, Fauzan. “Fikih Difabel Muhammadiyah, Apa Maksudnya?”  2021. Web. 01 Februari 2024.

Bhatty, Isra, et al. Praeger. US: Praeger, 2009. Print.

Ghaly, Mohammed. Islam and Disability. London: Taylor & Francis, 2009. Print.

Hadi, Sopian. “Memenuhi Hak Difabel.”  2021. Web. 01 Februari 2024.

Maftuhin, Arif, Abidah %J Indonesian Journal of Islam Muflihati, and Muslim Societies. “The Fikih Difabel of Muhammadiyah: Context, Content, and Aspiration to an Inclusive Islam.” 12.2 (2022): 341-67. Print.

 

[1] International Labour Organization (ILO).

[2] Mohammed Ghaly, Islam and Disability, hlm. 40.

[3] Kata difable tidak dijumpai dalam kamus Macmillan English Dictionary for Advanced Learners International Student Edition. London: Bloomsbury Publishing dan Macmillan Publishers, 2002, hlm. 383.

[4] Dikutip oleh Isra Bhatty, Asad Ali Moten, Mobin Tawakkul, dan Mona Amer, dalam “Disability in Islam,” hlm. 159.

*Dosen Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sukabumi

Related posts
Berita

BIKKSA Kabupaten Magelang Gelar Sosialisasi Fikih Difabel

Magelang, Suara ‘Aisyiyah – Biro Konsultasi Keluarga Sakinah ‘Aisyiyah (BIKKSA) Kabupaten Magelang pada Ahad (24/9) menyelenggarakan Sosialisasi Fikih Difabel dan Pelatihan Pendamping…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *