Hikmah

Fikih Tata Kelola Agraria: Solusi Perubahan Iklim

fikih agraria
fikih agraria

fikih agraria (foto: pixabay)

Oleh: Moh Soehadha*

Kesejahteraan masyarakat selalu terkait dengan daya dukung lingkungan atau sumber daya alam sebagai sumber penghidupan. Jika kerusakan lingkungan terjadi dan berdampak pada perubahan iklim, maka kehidupan masyarakat akan terganggu. Perubahan iklim berdampak pada curah hujan, musim panas, kekeringan, naiknya suhu di muka bumi, rusaknya terumbu karang, dan hal-hal lainnya yang dapat menyebabkan terganggunya kehidupan semua makhluk di muka bumi sehingga dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan sangat besar (Keman, 2007; Julismin, 2013; Cahyantoro, 2019).

Perubahan iklim sudah terjadi sejak jutaan tahun yang lalu akibat peristiwa alam. Namun, perubahan iklim yang terjadi saat ini cenderung disebabkan oleh ulah manusia yang eksploitatif. Aktivitas itu antara lain pembabatan hutan, konversi lahan hutan, sabuk hijau dan lahan subur untuk pemukiman dan infrastruktur, kegiatan pertambangan, pembakaran gas, batu bara, minyak bumi, dan sebagainya (UNDP Indonesia, 2007).

Indonesia dianggap memiliki peran yang signifikan dalam menyumbang penyebab perubahan iklim karena Indonesia termasuk dalam sepuluh negara dengan area hutan terluas di dunia. Secara khusus menurut data World Resources Institute, Indonesia memiliki luas hutan tropis ketiga di dunia. Dengan kondisi hutan yang luas, Indonesia dianggap sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, terutama karena deforestasi.

Deforestasi hutan menyumbang 49% dari total emisi yang menyebabkan perubahan iklim. Hampir setiap tahun Indonesia mengalami defo-restasi hutan akibat kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Indonesia pernah mencatat angka deforestasi tertinggi, yakni mencapai 3,51 juta ha/tahun pada 1996-2000. Luas tersebut terdiri atas 2,83 juta ha lahan kawasan hutan dan 0,68 ha non-kawasan hutan. Kebakaran hutan yang hebat menjadi pemicu tingginya deforestasi di tanah air, bahkan dampaknya dirasakan hingga ke beberapa negara tetangga.

Deforestasi tertinggi kedua di Indonesia terjadi pada periode 2014-2015 dengan luas 1,09 juta ha yang terdiri atas 0,82 juta ha lahan kawasan hutan dan 0,28 ha lahan non-kawasan. Masih terjadinya tumpang tindih perizinan pengelolaan kawasan hutan, ancaman kebakaran hutan, serta pengalihan lahan hutan menjadi pemukiman masyarakat menyebabkan terjadinya deforestasi di tanah air.

Hal ini tentu ironis jika dikaitkan dengan komitmen Indonesia yang telah meratifikasi kesepakatan Paris dan berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 42% per 2030. Pada titik inilah pentingnya rumusan fikih tata kelola agaria dilahirkan oleh Muhammadiyah untuk menjadi panduan bagi umat dan pengambil kebijakan, terkait dengan problem pelestarian lingkungan dan perubahan iklim.

Tata Kelola Agraria di Indonesia

Momentum penting dimulainya kebijakan agraria setelah kemerdekaan, yaitu pada tahun 1960 saat terbitnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang dikenal sebagai UUPA. UUPA dianggap sebagai tonggak pembaruan agraria, karena memuat hal-hal yang terkait dengan transformasi hukum agraria masa kolonial menuju hukum nasional untuk menjamin kepastian hukum; mengakhiri feodalisme dengan cara membatasi penguasaan lahan yang tidak terkendali; memberikan hak kepemilikan bagi petani yang kekurangan lahan; dan sebagai wujud pelaksanaan pasal 33 UUD 1945. Namun, dalam perkembangan pada masa pemerintah orde baru hingga masa reformasi, UUPA tersebut masih “dipetieskan” (kebijakan yang tidak ditindaklanjuti lagi melalui implementasi yang jelas).

Pada tahun 2018 di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebagai implementasi visi Nawacita, telah ditandatangani Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Disebutkan dalam Perpres tersebut, bahwa penyelenggaraan Reforma Agraria dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Namun demikian, problem agraria di Indonesia masih terus membutuhkan penyelesaian.

Pemerintah tampak belum sungguh-sungguh melibatkan unsur lain yang cukup memengaruhi pelaksanaan pembaruan agraria, seperti unsur komunitas adat, lembaga swadaya masyarakat, dan agamawan. Konflik agraria terus terjadi dan pengurangan ketimpangan dalam struktur penguasaan lahan masih jauh dari harapan (KPA, 2020).

Baca Juga: Perempuan dan Lingkungan Hidup

Berbagai indikator tentang masih jauhnya hasil dibanding harapan rakyat terhadap tata kelola agraria yang dilakukan pemerintah hingga kini, antara lain dapat dilihat dari lima problem berikut: (1) belum tercapainya swasembada pangan dan pembangunan pertanian; (2) rusaknya ekosistem dan problem lingkungan; (3) konflik agraria yang terus terjadi; (4) terpinggirkannya komunitas adat beserta tata nilai budaya bangsa; (5) krisis pedesaan; (6) masih kurangnya akses masyarakat terhadap perumahan yang layak dan ruang publik yang memadai.

Agraria Perspektif Islam

Tanah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena di atas tanah itulah manusia bertempat tinggal dan melangsungkan hidupnya. Hampir semua komunitas budaya di dunia mengidentikkan tanah sebagai bumi, dan bumi dikiaskan sebagai ibu. Tanah yang identik dengan bumi, dan bumi yang dikiaskan sebagai ibu dapat menemukan relevansinya dalam perspektif Islam, karena manusia diciptakan dari tanah. Hal ini sebagaimana termuat dalam Q.S. Sād [38] ayat 71,

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِّن طِينٍ

Artinya, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah’”.

Al-Quran juga banyak memuat rujukan terkait dengan bagaimana kedudukan tanah, fungsi, dan pengaturannya dalam kehidupan manusia. Berdasarkan fungsinya yang berbeda-beda menurut konteksnya, sekurangnya tanah memiliki empat fungsi menurut al-Quran, yaitu;  a) sebagai asal usul penciptaan manusia oleh Tuhan, antara lain terdapat dalam Q.S. as-Sajdah [32 ayat 7; b) sebagai lahan pertanian tempat tumbuhnya tanaman, seperti dalam Q.S. al-A‘rāf [7] ayat 58; c) sebagai bahan untuk membuat bangunan dan tempat bangunan berdiri, seperti tersebut dalam Q.S. al-Qashash [28] ayat 38; d) sebagai ruang publik, tempat berkumpul, hal itu dapat dilihat dalam Q.S. al-Mursalāt [77] ayat 25.

Dari pemahaman di atas, tanah memiliki makna yang luas dan kompleks karena sebagai sumber penghidupan, tanah juga identik dengan bumi dan dikiaskan dengan ibu yang memiliki hakikat sumber penghidupan. Pengertian itu sejajar dengan konsep agraria sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dengan terang membatasi cakupan sumber-sumber agraria itu pada pasal 1 ayat (2); “Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya…”

Fikih Agraria

Pembaruan dan tata kelola agraria memiliki arti penting sebagai upaya pelestarian lingkungan. Sebab kasus kerusakan lingkungan, seperti kebakaran hutan dan hilangnya wilayah hutan penyangga ekosistem antara lain disebabkan oleh tata kelola agraria yang kurang baik. Alasan kebutuhan akan investasi untuk peningkatan laju ekonomi negara, menyebabkan laju kerusakan lingkungan di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Kasus kebakaran hutan di beberapa wilayah, terutama di luar Jawa umumnya disebabkan oleh perilaku buruk para pengusaha yang memiliki Hak Guna Hutan (HGU) dalam mengelola industri perkebunan secara masif. Cara arif dalam memperlakukan hutan dan ladang yang telah lama diterapkan oleh peladang tradisional semakin luntur. Ladang tradisional dan hutan adat beralih menjadi perkebunan kelapa sawit dan industri perkebunan besar lainnya yang cenderung eksploitatif dan rakus dalam mengelola lahan perkebunan dan hutan.

Ekologi Mendalam

Banyak studi antropologi menggambarkan tentang cara hidup masyarakat lokal yang sederhana, tidak rakus, dan arif terhadap lingkungan. Kearifan budaya lokal didukung oleh tata nilai adat dan kebudayaan mereka yang turun temurun. Demikian halnya dalam perlakuan terhadap tanah, masyarakat adat memandang bahwa manusia adalah jagad cilik (mikrokosmos) dan alam seisinya termasuk bumi, tanah, udara, air, dan semesta alam adalah jagad gedhe (makrokosmos). Kehidupan yang damai adalah ketika tercipta harmoni antara makrokosmos dan mikrokosmos.

Dalam konsep ekologi cara pandang masyarakat yang demikian mencerminkan sikap yang sesuai dengan pandangan ekologi mendalam (deep ecology) yang ekosentris. Pandangan ekologis ekosentris tidak hanya mementingkan kebutuhan manusia dalam memperlakukan alam dan makhluk hidup lainnya. Namun, secara keseluruhan, baik makhluk yang dianggap hidup (biotis) maupun yang dianggap tidak bernyawa (abiotis) memiliki kedudukan yang sama sebagai pendukung harmoni alam dan manusia.

Pandangan ekologi mendalam semacam ini menyebabkan manusia tidak rakus (eksploitatif), karena tata kelola lingkungan tidak menempatkan manusia sebagai kepentingan utama (antroposentris). Sikap terhadap alam adalah untuk semua, untuk sekalian alam. Tidak hanya manusia, demikian juga dengan makhluk hidup (biotis) lainnya, juga tidak ditempatkan pada kedudukan yang lebih tinggi dari makhluk yang dianggap tidak hidup atau tidak bernyawa (abiotis). Dengan demikian, ekologi mendalam melampaui pandangan antroposentris pandangan biosentris.

Dalam pandangan ekologi mendalam, semua makhluk Tuhan baik biotis maupun abiotis ditempatkan pada kedudukan yang seimbang. Oleh karena itu, pada dasarnya tidak ada perbedaan antara makhluk biotis maupun abiotis karena semua memiliki peran demi terciptanya keseimbangan lingkungan atau ekosistem. Ikan yang dianggap makhluk biotis, tidak mungkin dapat hidup ketika sungai atau laut yang dianggap sebagai makhluk abiotis yang menjadi tempat hidupnya telah rusak.

Baca Juga: Beralih ke Teknologi Ramah Lingkungan, Bisakah?

Pada hakikatnya cara pandang masyarakat adat terhadap lingkungan sesuai dengan konsep ekologi mendalam. Tidak menempatkan manusia sebagai makhluk utama dalam memandang manfaat dan daya dukung lingkungan (antroposentris) tersebut, sesuai atau sejalan dengan tata nilai yang diajarkan dalam Islam. Hal itu sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Ahzāb [33] ayat 72.

Ayat ini mengandung makna bahwa manusia dipandang oleh Allah memiliki kedudukan yang sama dengan makhluk lainnya, termasuk makhluk abiotis seperti lautan, bumi/tanah, sungai, gunung, dan langit. Mereka hendak diberi amanat oleh Allah, namun hanya manusia yang mengaku sanggup memikul amanat itu, sementara makhluk lainnya enggan memikul amanat itu. Atas sikap manusia yang merasa sanggup memikul amanat itu, kemudian dikatakan oleh Allah manusia sebagai makhluk yang zalim dan bodoh.

Ayat tersebut memberi petunjuk pada manusia, bahwa selayaknya manusia menghargai makhluk lain dalam tata kehidupan di muka bumi. Menghargai makhluk lainnya atau menciptakan relasi harmoni dalam tata lingkungan, di antaranya dengan cara melestarikan alam (makrokosmos) karena jika salah satu unsur ekosistem telah rusak, maka rusaklah ekosistem secara keseluruhan. Kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh ulah tangan manusia tersebut pada akhirnya akan mengakibatkan musibah bagi manusia itu sendiri.

Kerusakan ekosistem itu disebabkan oleh perilaku zalim dan bodoh, yang ditunjukkan dengan sikap rakus (eksploitatif) dan tidak mau berpikir tentang hukum alam atau sunatullah. Allah mengingatkan tentang sikap rakus dan bodoh yang mengakibatkan musibah itu dalam Q.S. al-Rūm (30) ayat 42 berikut,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Artinya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Dalam kehidupan masyarakat adat, pandangan masyarakat adat dan kebudayaannya yang adiluhung tersebut antara lain diimplementasikan dalam berbagai aturan adat dalam mengelola lahan. Untuk kepentingan harmoni alam dan manusia, komunitas adat melakukan pembagian jenis lahan berdasarkan kemanfaatannya dan perlindungan ekosistem.

Oleh sebab itu, di samping terdapat lahan peladangan untuk aktivitas ekonomi, juga dikenal tanah atau hutan larangan yang terus dilindungi dan tidak boleh dilakukan aktivitas apa pun di lahan tersebut. Hutan larangan merupakan bagian dari cara untuk melestarikan ekosistem, dan biasanya secara turun temurun transformasi pengetahuan lokal tersebut diajarkan melalui mitos dan folklore.

Prinsip Konservasi 

Konsep tentang penundukan alam (taskhīr), sebagaimana termuat dalam Q.S. Luqman [31]: 20 sering disalahartikan sebagai hak manusia sepenuhnya untuk memanfaatkan alam, termasuk dalam memanfaatkan sumber-sumber agraria. Ayat tersebut sesungguhnya menyiratkan makna bahwa jika manusia hanya memanfaatkan alam termasuk tanah untuk kepentingannya saja (antroposentris), tanpa ada ilmu pengetahuan dan kehendak untuk memelihara, maka hanya akan mendatangkan kerusakan seluruh isi bumi. Oleh karena itu, Islam mengajarkan sikap untuk senantiasa melestarikan alam.

Prinsip konservasi dalam tata kelola agraria dapat dikaitkan dengan konsep al-iḥsān yang berarti “melindungi dan menjaga dengan sempurna” (al-Qardawi, 2001: 184-185). Pemanfaatan tanah atau sumber-sumber agraria oleh manusia harus dalam batasan, bahwa itu tidak merusak lingkungan.

Secara umum, tata nilai Islam mengajarkan tiga konsep utama ekoteologi, yaitu: (1) al-intifā‘ yang berarti mengambil manfaat dari sumber agraria sesuai batasan tidak merusak lingkungan; (2) al-i‘tibār yang berarti mempelajari ilmu atau hal-hal yang terkait dengan tanah dan sumber-sumber agraria, dan; (3) al-iṣlāh atau ri‘āyah yang berarti membangun, memelihara atau melestarikan, dalam hal ini melestarikan lingkungan.

Jika diimplementasikan dengan baik, ketiga prinsip konservasi tersebut akan menghasilkan jalan terbaik dalam memanfaatkan kekayaan alam dengan tanpa merusaknya, sehingga dapat dicegah dampak buruk perubahan iklim. Melalui ilmu pengetahuan dapat dipetakan sumber-sumber agraria yang dapat dimanfaatkan, dan menghindari sumber-sumber agraria yang berfungsi sebagai sabuk pengaman konservasi lingkungan.

Dengan demikian, manusia tetap terjaga kebutuhan hidupnya yang berasal dari alam sebagai anugerah Allah, sekaligus manusia memiliki tanggung jawab untuk tetap menjaga alam sesuai fungsinya yang asli. Muhammadiyah dapat mengupayakan literasi dan gerakan konservasi lingkungan, pertanian, dan usaha kecil dan mene-ngah melalui pemanfaatan sumber-sumber agraria dalam program atau gerakan wakaf agraria.

*Ketua Divisi Publikasi dan Kerja Sama Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga

Related posts
Berita

Anak Muda Muslim Responsif Terhadap Dampak Perubahan Iklim

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Dampak perubahan iklim menjadi isu penting saat ini. Dampaknya sudah dirasakan seperti cuaca ekstrem, suhu panas udara yang…
Berita

Majelis Kesehatan PP Aisyiyah Gelar Seminar Perubahan Iklim

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Majelis Kesehatan PP ‘Aisyiyah gelar seminar perubahan iklim, peran perempuan, dan kesehatan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang tangguh,…
Berita

Ernyasih Sampaikan Gangguan Kesehatan Mental Akibat Terjadinya Perubahan Iklim

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Penyebab dari perubahan iklim biasanya disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan yang kemudian menyebabkan polusi udara….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *