Oleh: Hajar Nur Setyowati
Sujak bertanya pada Kiai Ahmad Dahlan, mengapa Kiai selalu memperhatikan Q.S. al-Maun? Pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu muridnya yang kelak menjadi Ketua Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) itu justru dijawab Kiai Dahlan dengan mengajukan pertanyaan, “Apakah jamaah pengajiannya itu sudah mengerti dan mengamalkan apa yang diperintahkan dalam surat al-Maun?”
Sujak pun menjawab bahwa mereka sudah mengerti dan hafal membacanya dalam salat, tetapi tidak tahu cara mengamalkannya. Kiai Dahlan pun menjelaskan, bahwa mengamalkan surat tersebut dilakukan dengan mempraktikkannya. Lantaran para muridnya belum mengamalkan, maka ia menutup pengajian dan meminta murid-muridnya untuk mencari orang miskin dan memberinya sabun untuk mandi, pakaian yang layak, makanan, serta minuman.
Ilustrasi tersebut dapat ditemukan dalam buku biografi tentang Kiai Dahlan. Percakapan itu juga menjadi salah satu fragmen penting dalam film Sang Pencerah. Fragmen tersebut menyadarkan kita secara telak, betapa pentingnya mengamalkan ayat-ayat al-Quran melalui apa yang disebut dengan gerakan praksis: gerakan berbasis nilai. Kita tidak cukup memuliakan al-Quran dengan membaca dan menghafalkannya saja, tetapi juga mempraktikkannya agar al-Quran benar-benar dapat menjadi panduan hidup dan memberi dampak besar bagi kehidupan.
Baca Juga: Redefinisi Ashnaf Zakat dalam Perspektif Tarjih
Ihwal dampak ini, Muhammadiyah telah membuktikannya melalui keberadaan Rumah Sakit hingga klinik, sekolah hingga Perguruan Tinggi, panti asuhan hingga panti lansia, koperasi, dan berbagai layanan sosial-ekonomi lainnya. Betapa pentingnya praksis dari Q.S. al-Maun sehingga teologi al-Maun menjadi landasan teologis dakwah filantropi Muhammadiyah yang kemudian menjadi salah satu penanda identitas gerakan Muhammadiyah.
Teologi al-Maun mengacu pada Q.S. al-Maun yang menunjukkan pemahaman eksistensialisme keagamaan maupun aspek sosial keagamaan, bahwa ibadah seperti salat memiliki dimensi sosial. Bahkan dalam al-Maun disebutkan bahwa orang yang salat tetapi tidak memiliki kepedulian pada orang miskin dapat disebut sebagai orang yang mendustakan agama.
Kuatnya pesan kemanusiaan dalam surat ke-107 tersebut menjadikan al-Maun sebagai salah satu landasan teologis dakwah filantropi. Praktik filantropi dapat menjadi oase bagi problem kemiskinan karena ketidakadilan sosial. Situasi ini pula yang mendorong kemunculan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ingin mengurangi bahkan menghapus kemiskinan di dunia termasuk Indonesia. Pencapaian SDGs mensyaratkan pelibatan multi-pihak, baik pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat sipil, maupun filantropi.
Kemiskinan merupakan masalah krusial yang harus diatasi karena menjadi hulu dari berbagai problem pemenuhan hak dasar, baik itu akses layanan kesehatan, pendidikan, maupun ekonomi, seperti problem Angka Kematian Ibu (AKI), stunting, sanitasi, partisipasi sekolah, dan berbagai problem lainnya. Apalagi Indonesia juga memiliki problem ketimpangan ekonomi.
Negara-negara di dunia termasuk Indonesia harus berhadapan pula dengan dampak yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menghitung bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia akibat Covid-19 meningkat 9,7-10,2 persen pada tahun 2020 atau sekitar 26,2 juta – 27,5 juta.
Di tengah kompleksitas problem situasi kemiskinan tersebut, Indonesia ternyata memiliki potensi dana filantropi yang sedemikian besar, yaitu potensi dana zakat mencapai 217 triliun dan jumlah tanah wakaf tersedia seluas 1.400 km persegi atau setara 790 triliun. Kesadaran berbagi dan berkorban di balik gerakan filantropi juga merupakan modal sosial penting bagi gerakan membangun Indonesia dengan filantropi.
Bangsa Indonesia saat ini memerlukan penguatan dan pembaruan pengelolaan lembaga filantropi, mulai dari penafsiran ulang kelompok yang berhak menerima zakat di tengah bertambah kompleksnya problem sosial, hingga pendekatan atau strategi yang digunakan dalam pemanfaatan dana filantropi.
Dalam menafsirkan al-Maun, Muhammadiyah juga telah melihat secara kritis sebab-sebab kemiskinan. Kemiskinan juga terjadi lantaran faktor kultural maupun struktural yang akan mempengaruhi pendekatan filantropi Muhammadiyah-‘Aisyiyah dalam mengatasi masalah kemiskinan. Cara pandang yang demikian menjadi penting agar upaya-upaya filantropis bukan saja mengatasi masalah kemiskinan di permukaan, melainkan juga bersifat mendasar untuk mewujudkan kehidupan yang berkeadilan.