Inspirasi

Film 9 Putri Sejati, Inspirasi bagi Generasi “Zaman Now”

Sudahkah Anda menonton film 9 Putri Sejati? Jika belum, Anda perlu mencari tahu bagaimana caranya agar Anda dapat menontonnya. Sebab, film hasil kerja keras Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) PP Muhammadiyah ini merupakan film inspiratif yang sayang untuk Anda lewatkan. Film yang diluncurkan pertama kali di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya 62, Jakarta pada peringatan Hari Ibu Nasional (Desember 2018) ini berkisah mengenai sejarah dan kiprah perempuan Muhammadiyah dalam memperjuangkan emansipasi dan kesetaraan perempuan di Indonesia.

Bagi penggerak ‘Aisyiyah di seluruh Indonesia, film yang kembali diluncurkan di Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta pada Januari 2019 ini akan sangat bermakna. Hal tersebut karena film ini memberi gambaran kepeloporan para tokoh organisasi perempuan pertama di Hindia Belanda yang bernama Sopo Tresno dan pembentukan ‘Aisyiyah. Kesembilan putri yang dimaksud dalam film tersebut adalah Siti Bariyah, Siti Badilah, Siti Walidah, Siti Munjiyah, Siti Hayyinah, Siti Umniyah, Siti Aisyah, Siti Wasilah, dan Siti Zuhriyah. Siti Walidah merupakan ketua ‘Aisyiyah pada tahun keempat.

Cerita Inspiratif yang Berbingkai

Meskipun mengambil latar waktu, latar sosial, dan latar tempat yang mirip dengan film Sang Pencerah dan Nyai Ahmad Dahlan, film 9 Putri Sejati ini memiliki perbedaan dalam alur pembuka yang menarik, yakni kehidupan masa kini berupa percakapan antara seorang nenek dengan cucunya tentang peristiwa-peristiwa masa lampau. Dari cerita nenek inilah alur film dimainkan secara flashback serta dalam berbagai bingkai. Sesekali nenek dan cucu hadir kembali di tengah cerita untuk memberi garis bawah nilai-nilai yang terdapat dalam film.

Serupa dengan dua film yang telah disebut sebelumnya, film 9 Putri Sejati juga dimulai dengan gambaran perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan yang “mendobrak” tradisi dan kemapanan pandangan yang telah ada serta mendapatkan pertentangan dari sebagian masyarakat. Selanjutnya, film pun mulai fokus pada perin-tisan K.H.Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan dalam mencerdaskan perempuan. Forum sederhana yang diadakan pada masa itu tidak berjalan dengan mudah karena juga mendapat pertentangan. Di sinilah penonton mendapatkan pelajaran mengenai perjuangan murid-murid K.H. Ahmad Dahlan dalam melakukan perubahan. Perempuan-perempuan itu berusaha mengubah posisi perempuan yang semula sebagai konco wingking (yang hanya berada pada ranah domestik, yaitu sumur, dapur, dan kasur), menjadi eksis pada ranah publik.

Film ini dengan apik menampilkan kompetensi dan kepiawaian perempuan di ranah publik, misalnya (i) belajar-mengajar; (ii) berpidato di depan umum, bahkan dalam bahasa Asing; (iii) menulis hingga membuat majalah Suara ‘Aisyiyah; ((iv) berkoordinasi dengan pihak internal dan eksternal, bahkan menyelesaikan konflik; (v) ber-diplomasi dengan tokoh nasional hingga menjadi  terdepan dalam Kongres Perempuan; serta (vi) peran dan kompetensi lainnya.

Kepadatan Peristiwa

Musik dan pencahayaan film ini layak diacungi jempol. Namun, sekadar sebuah catatan, banyaknya fakta sejarah yang ingin ditampilkan dalam film ini membuat alur film ini terasa padat peristiwa untuk sebuah seni peran yang menghibur. Alurnya terkesan
sangat cepat beralih dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Namun, justru dengan paparan alur seperti ini, menonton film 9 Putri Sejati menjadi sebuah langkah praktis untuk mengikuti  rangkaian sejarah yang panjang. Meskipun demikian, fakta dalam sejarah tentu tidak sama dengan fakta dalam film yang merupakan fiksi.

Anda yang telah membaca sejarah awal perjuangan ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah akan lebih terbantu dalam memahami peristiwa dalam film ini. Misalnya, pada peristiwa keikutsertaan ‘Aisyiyah dalam Kongres Perempuan yang merupakan peristiwa penting,
namun mendapatkan porsi yang relatif sedikit. Tentu penonton yang telah membaca sejarahnya akan lebih cepat menangkap makna peristiwanya dibandingkan dengan yang tidak mengetahuinya.

Tampaknya film ini juga telah diupayakan menjadi sebuah film yang menghibur. Hal ini terbukti dengan kisah romantis yang ditampilkan dan mampu membuat riuh para penonton remaja saat film tersebut ditayangkan di Unisa. Acting para pemain pun tampak sangat ekspresif dan terlihat ditangani oleh tim kreatif yang serius, meskipun ada beberapa pemain yang terlihat masih harus memiliki tambah-an “jam terbang” untuk ber-acting yang lebih baik. Tentu saja, kemuncul-an tokoh-tokoh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dan Pimpinan Pusat Nasyiatul-’Aisyiyah dalam film ini juga memberi kesan tersendiri bagi para penonton.

Harapan Berbagai Pihak

Dalam kesempatan di Unisa, Ketua  Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) PP Muhammadiyah, Syukrianto A.R., mengatakan bahwa film ini dibuat untuk menampilkan sejarah dan kebesaran Muhammadiyah yang belum maksimal diketahui oleh masyarakat. Menurutnya, film ini dapat menghadirkan kembali gerak-gerik spirit Muhammadiyah melalui pemeran “srikandi” Muhammadiyah karena sesungguhnya peran perempuan dalam Muhammadiyah sangat besar. “Ke depan LSBO berharap dapat menciptakan karya tentang Muhammadiyah yang lain,” ujar putra A.R. Fakhruddin tersebut. (Adib Sofia)

Baca selengkapnya di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 3 Maret 2019, Rubrik Inpirasi, hal 32-33

Sumber Ilustrasi : https://www.youtube.com/watch?v=nWvwpjPSh3E

Related posts
Berita

Agus Taufiqurrahman: Muhammadiyah Harus Menggelorakan Dakwah Kultural

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Muhammadiyah dengan peran dakwahnya dikenal dengan gerakan yang melakukan dakwah bil hal. Salah satu peran dakwah Muhammadiyah dilakukan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *