Wawasan

Frustrasi dan Stres Caleg Gagal

Oleh: Elli Nur Hayati

Pemilu 2024 untuk memilih presiden dan anggota legislatif telah usai. Dari proses perhitungan yang masih berjalan, para kontestan telah dapat memperoleh gambaran apakah mereka akan gagal atau berhasil menjadi pemenang. Mereka hanya perlu menunggu pengumuman resminya. Para kontestan, calon anggota legislatif (caleg) yang gagal memperoleh jumlah minimal suara untuk dapat menjadi anggota legislatif, sedikit banyak tentu akan memiliki perasaan kecewa. Hal ini sangat wajar mengingat berbagai upaya yang sudah mereka lakukan dan juga biayanya yang tidak sedikit. Cukup jamak terjadi bahwa ada caleg yang sampai menjual tanah, rumah, kendaraan, dan aset-aset vital lainnya untuk membiayai pencalonan dan kampanye mereka.

Dalam menghadapi kegagalan itu, sebagian caleg dapat bersikap pasrah dan ikhlas. Namun, banyak pula yang tidak mampu menerimanya. Mereka sangat kecewa, marah, sehingga bahkan ada yang “kena mental” dan kehilangan kendali atas rasa kecewa dan kemarahannya. Dari media massa kita tahu berbagai ungkapan kekecewaan caleg gagal yang sering kali cukup memalukan.

Misalnya adalah menarik kembali berbagai macam “sumbangan” yang telah diserahkan kepada calon pemilih yang menjadi target kampanye pemilu. Mereka menarik kembali sumbangan bersak-sak semen, konblok yang telah dipasang di jalan kampung, hingga amplop berisi uang yang telah dibagi-bagikan. Mereka berpikir bahwa apa yang sudah “disumbangkan” itu layak untuk diminta kembali dari masyarakat karena masyarakat tidak memberikan imbal balik berupa suara kepada sang caleg.

Yang lebih memprihatinkan adalah ketika caleg gagal itu kemudian sampai terganggu keseimbangan mentalnya atau “kena mental” sehingga kehilangan akal sehatnya, masuk dalam dunia khayal, seolah dirinya telah menjadi seorang anggota legislatif. Caleg gagal ini lalu berbusana dan berperilaku layaknya anggota legislatif yang tengah menjalankan tugas. Gejala “kena mental” lainnya bisa be- la “kena mental” lainnya bisa be- “kena mental” lainnya bisa berupa perasaan terpuruk yang teramat dalam. Orang yang mengalami pukulan mental seperti ini merasa telah kehilangan segala-galanya dalam hidup.

Mereka merasa hampa, tidak punya lagi harapan dalam hidup, merasa dirinya sangat celaka sehingga dilanda kesedihan yang luar biasa. Menghadapi situasi seperti itu, anggota keluarga caleg gagal tersebut tentu merasa kebingungan dan mungkin hanya dapat memberikan nasihat. Apa yang sebetulnya terjadi dan bagaimanakah menyikapinya?

Toleransi Frustrasi dan Mental Block

Frustrasi adalah situasi mental ketika seseorang gagal mencapai apa yang menjadi target dalam kehidupannya. Ketika mengalami frustrasi, maka secara internal orang tersebut mengalami perpaduan antara perasaan marah, jengkel, kecewa, sedih, dan putus harapan. Sementara itu, stres adalah situasi mental ketika seseorang merasa ada dalam tekanan (under pressure) baik dari dalam diri maupun dari luar dirinya, sehingga terjadi reaksi psikologis dan fisiologis dalam dirinya. Misal, pikirannya menjadi sulit berkonsentrasi dan mudah lupa, perasaannya menjadi lebih sensitif (mudah marah atau tersinggung), fisiknya menjadi lebih lemah, berkeringat dingin atau jantung berdebar, serta perilakunya menjadi tidak terkendali atau menarik diri dari pergaulan.

Frustrasi biasanya dialami ketika seseorang mengalami kegagalan. Jadi, posisinya ada “di ujung jalan” dan gagal mencapai hasil yang diharapkan. Maka, frustrasi adalah ujung dari status mental seseorang yang telah berupaya sedemikian rupa dalam menghadapi berbagai tekanan untuk mencapai tujuan, tetapi tujuan tersebut gagal diraih. Tumpukan frustrasi menjadikan manusia mengalami stres. Memang tidak semua orang yang gagal mencapai sesuatu akan mengalami frustrasi. Ini disebabkan karena ada orang yang memiliki “toleransi frustrasi” yang lentur sehingga membuatnya menjadi lebih fleksibel dalam menghadapi kegagalan.

Mengapa seseorang mengalami frustrasi? Selain karena kurangnya toleransi frustrasi, beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa frustrasi disebabkan karena ketidaksiapan seseorang untuk memperoleh hasil yang terburuk atas usahanya. Artinya, orang tersebut mungkin telah menutup kesadarannya (mental blocking) bahwa tidak setiap tujuan itu dapat diraih sebagaimana yang dikehendaki oleh seseorang.

Mental blocking semacam itu tidaklah sehat karena kemungkinan sukses dan kemungkinan gagal itu harus ada dalam sistem kesadaran mental kita. Dengan kesadaran seperti ini maka orang tidak mengalami frustrasi ketika gagal, dan sebaliknya, tidak akan mengalami eforia yang berlebihan ketika berhasil. Kesadaran ini, dalam ilmu agama, dapat ditumbuhkan jika kita meyakini bahwa ada Sang Mahakuasa yang telah mengatur kesuksesan dan kegagalan dalam hidup kita. Optimistis memang penting karena optimis artinya pengharapan akan kebaikan di masa depan.

Sebagai manusia beriman tentu kita harus selalu memiliki pengharapan dan dugaan baik (husnudzan) terhadap masa depan kita. Namun, pengharapan baik tersebut harus diiringi dengan sikap tawakal, yaitu menyerahkan diri akan hasil akhir dari segala upaya dan ikhtiar kepada Sang Pencipta. Optimisme yang tidak diiringi dengan sikap tawakal dapat menjadi bumerang bagi seseorang, karena akan menjadikan manusia mengalami frustrasi, dan akhirnya menjadi stres. Tampaknya inilah yang cukup banyak dialami oleh para caleg yang gagal dalam pemilu.

Baca Juga: Pengumuman Jauara Lomba TikTok Milad Suara ‘Aisyiyah ke-98

Stres ringan yang dialami seseorang dapat diatasi dengan memperbaiki keterampilan orang tersebut dalam mengelola stress (coping). Namun, dalam kondisi stres berat di mana seseorang sudah mengalami gangguan kognitif (pikir), perasaan (emosi), fisiologis (fisik), dan psikomotor (perilaku), seperti kesulitan/gangguan tidur, tidak dapat berpikir jernih, merasa sedih yang sangat mendalam, sehingga fungsi sosial orang tersebut menjadi terganggu, maka ia harus dirujukkan kepada ahli kesehatan mental.

Psikiater adalah rujukan bagi mereka yang mengalami stres berat yang sudah diikuti dengan gejala klinis sehingga memerlukan intervensi obat-obatan untuk membantu kerja hormon dan saraf dalam tubuhnya agar stabil. Sementara itu, psikolog menjadi rujukan bagi mereka yang mengalami stres ringan hingga sedang, untuk menjalani konseling dan psikoterapi guna mengurai masalah yang telah menyebabkan stres. Psikiater dan psikolog dapat bekerja sama. Psikiater yang meresepkan obat-obatan yang dibutuhkan, sedangkan psikolog bekerja untuk memberikan psikoterapi dan konselingnya.

Perlunya Mental Seimbang

Pada prinsipnya, manusia bebas untuk mengembangkan cita-cita dan harapan yang tinggi, karena memang hidup harus diiringi oleh pengharapan baik/sukses yang kita kenal sebagai optimisme. Optimisme akan menjadi motor penggerak manusia untuk meraih prestasi terbaik dalam segala hal. Namun, sebagai manusia beriman, kita harus mengiringi optimisme ini dengan sikap tawakal, agar toleransi terhadap frustrasi akibat kegagalan dapat menjadi lebih fleksibel.

Sikap optimis dan tawakal itu harus seimbang ibarat kepak kedua sayap burung saat terbang. Dengan keseimbangan itu, kita akan terbang stabil dan terkendali, aman mencapai titik yang dituju. Mental manusia pun memerlu- ental manusia pun memerlukan keseimbangan seperti itu. Tanpa keseimbangan, kesehatan mental kita terganggu. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari fenomena frustrasi para caleg gagal dalam pemilu ini dengan bijak. Bercita-cita tinggi boleh, optimis boleh, tetapi hal itu harus disertai dengan sikap tawakal, juga hati dan pikiran yang lapang.

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *