Oleh: Lailatis Syarifah*
Kenikmatan dunia amatlah membuai pandangan sehingga siapapun bisa tergoda dan menjadi kalap mata, meraup kemewahan, dan gelimang harta tanpa membedakan jalan yang ditempuh, apakah dengan cara yang halal atau yang haram. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan peringatan kepada kita semua,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
Artinya, “Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman di mana orang tidak lagi mempedulikan dengan cara apa dia memperoleh hartanya, apakah dari jalan halal ataukah dari jalan haram.” (H.R. Bukhari).
Padahal Rasulullah juga memperingatkan bahwa kunci diterimanya ibadah seseorang dan amal salehnya adalah kehalalan harta yang diperolehnya. Harta yang tidak halal juga menjadi penyebab tercegahnya jawaban doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala. Itulah mengapa terkadang kita merasa sudah mengupayakan seluruh prosedur dan prasyarat agar doa terkabul, seperti berdoa dalam keadaan suci, tunduk, dan penuh harap kepada Allah subhanahu wata’ala, dan berdoa di waktu maupun tempat mustajab, namun perwujudan doa kita tak kunjung tergenggam. Hal ini bisa jadi disebabkan karena muasal dari harta yang kita peroleh. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ } وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
Artinya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai manusia! Sesungguhnya Allah itu Maha baik dan tidak menerima kecuali yang juga baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang mukmin dengan apa-apa yang Ia perintahkan atas para Rasul, lalu Rasul membaca (Wahai para Rasul! Makanlah dari yang baik dan berbuat baiklah, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa-apa yang kalian kerjakan) dan (Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami anugerahkan kepadamu sebagai rezeki). Kemudian Rasulullah menyebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambut dan pakaiannya berantakan, lalu dia menengadahkan tangannya ke langit sambil meminta pengabulan Tuhan, akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dia diberi makan dengan yang haram, maka bagaimana doanya akan dikabulkan” (H.R. Muslim).
Konsumsi barang yang halal, baik makanan, minuman, maupun pakaian, bukan hanya sekadar kewajiban bagi seorang muslim, namun ia merupakan kunci bermuaranya ibadah dan doa yang dilaksanakan. Oleh karenanya, memahami dan mengaplikasikan gaya hidup halal merupakan perkara esensial bagi setiap muslim.
Halal-Haram
Jika kita telusuri kata “halal” dalam al-Quran maupun as-Sunnah, akan kita dapati bahwa sebagian besar berhubungan dengan aktivitas konsumsi baik makanan, minuman, pakaian, maupun harta, serta memiliki korelasi dengan kegiatan “muamalah”. Kata “halal” juga diasosiasikan dengan kata “thayyib” yang artinya baik. Salah satunya seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 168 berikut,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا
Artinya, “Wahai manusia! Makanlah yang halal dan baik dari apa-apa yang ada di bumi”.
Kata “halal” juga berantonim dengan kata “haram”, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya mengenai orang-orang yang tidak peduli apakah hartanya didapat dari jalan yang halal atau jalan yang haram. Jadi, dengan memahami konsep muamalah, thayyib, dan haram, kita akan dapat menarik definisi gaya hidup halal secara komprehensif.
Prinsip Muamalah
Muamalah berasal dari kata âmalayuâmilu yang secara bahasa berarti saling melakukan. Artinya, kata ini mengandung kata kerja aktif yang harus mempunyai dua pelaku. Dengan demikian, pelaku dari kata kerja ini menjadi subjek sekaligus menjadi objek. Adapun secara istilah, muamalah merupakan bagian dari fikih yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya maupun dengan alam sekitarnya. Jadi, jika kita hubungkan kata muamalah dengan gaya hidup halal, maksudnya adalah gaya atau cara manusia berhubungan dengan manusia lain ataupun dengan benda-benda di sekitarnya.
Dalam masalah muamalah, terdapat satu kaidah fikih bahwa segala hal yang berkaitan dengan muamalah hukumnya adalah boleh, kecuali ada dalil, baik dari al-Quran dan atau as-Sunnah, yang mengharamkannya,
الأصل فى المعاملة الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Hal ini berarti bahwa dalam masalah muamalah, pada dasarnya segala hal yang berhubungan dengan interaksi antar manusia ataupun manusia dengan makhluk lain atau benda apa pun yang ada di muka bumi ini, semua hukumnya adalah ibâhah (dibolehkan) kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Karena kata haram berantonim dengan kata halal sebagaimana disebutkan di atas, dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan halal dalam masalah muamalah adalah selain yang diharamkan, dengan kata lain halal artinya adalah mubâh (boleh).
Jika kita menganalisis kembali kaidah fikih di atas, dapat kita pahami bahwa yang halal itu sangatlah luas karena pada asalnya semua hal yang berhubungan dengan muamalah adalah mubah/halal, kecuali ada dalil yang mengharamkan. Oleh karena itu, yang perlu kita perhatikan dalam menentukan yang halal adalah dengan mengetahui apa yang diharamkan. Hal ini disebabkan karena yang haram merupakan pengecualian dari semua yang pada asalnya halal.
Haram artinya adalah sesuatu yang dilarang. Namun, yang menetapkan pelarangan ini haruslah pembuat syariat, Allah subhanahu wata’ala, bukan kita sendiri atau orang lain yang melarangnya atas kita.
Ada beberapa hal yang dilarang oleh Allah dalam muamalah baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Meskipun demikian, semua yang dilarang itu dapat disimpulkan ke dalam dua hal, yaitu harâm lidzâtihi (dilarang karena zatnya) dan harâm lighairihi (dilarang karena hal lain).
Baca Juga: Buya Syafii Maarif dan Kehidupan Sederhananya
Contoh hal-hal yang dilarang karena zatnya adalah khamr, bangkai, darah, dan babi untuk dikonsumsi, zina, membunuh, dan mencuri untuk dilakukan, serta benda najis untuk dijadikan pakaian. Hal ini dapat ditilik dalam firman Allah, surat al-Baqarah ayat 173 dan 188, serta al-Isra’ ayat 32 dan 33, sebagai berikut,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya, “Sesungguhnya (Allah) mengharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi, serta apa-apa yang disembelih bukan karena Allah. Barangsiapa yang terpaksa (melakukan) tanpa berlebihan dan melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (Q.S. al-Baqarah: 173).
وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ…
Artinya, “Dan janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil” (Q.S. al-Baqarah: 188).
وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا
Artinya, “Dan janganlah kalian mendekati zina, karena hal itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk” (Q.S. al-Isra’: 32).
وَلَا تَقْتُلُوا۟ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ
Artinya, “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan (untuk dibunuh) kecuali dengan hak” (Q.S. al-Isra’: 33).
Adapun yang dilarang karena sebab lain adalah semua yang pada dasarnya halal, namun menjadi haram karena hal lain, seperti dilarang memakan makanan halal karena merupakan hasil curian, atau dilarang menjual anggur bagi pembeli yang berniat menjadikannya minuman keras, atau berjualan pada saat salat Jumat, sebagaimana dalam surat al-Jumuah ayat 9:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika telah dikumandangkan panggilan untuk salat Jumat maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Bagaimana dengan thayyib? Secara bahasa, thayyib berarti baik dan bagus. Para ulama mengatakan bahwa thayyib artinya baik dan bagus secara kuantitas maupun kualitas. Baik secara kuantitatif artinya tidak kekurangan dan juga tidak berlebihan (tawâzun). Adapun baik secara kualitatif artinya mengandung maslahat (kebaikan) dan tidak mengandung mudarat (kerugian) seperti mengandung gizi untuk makanan atau minuman. Allah memerintahkan untuk tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi sebagaimana dalam surat al-A`raf ayat 31 berikut:
يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ
Artinya, “Wahai anak Adam! Ambillah hiasanmu setiap memasuki masjid, dan makan serta minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.
Ayat di atas memerintahkan manusia untuk berhias serta menikmati kenikmatan dunia yang lain seperti makan dan minum, namun dengan cara yang tidak berlebih-lebihan. Dengan demikian, gaya hidup halal meliputi muamalah atau hubungan manusia dengan sekitarnya, baik dengan manusia lain ataupun benda-benda tak hidup seperti makanan, minuman dan pakaian, dalam koridor yang dibolehkan oleh Allah subhanahu wata’ala, dengan ketentuan menjauhi yang diharamkan, baik yang haram karena zatnya ataupun karena sebab lain, serta harus thayyib, yakni baik secara kuantitas maupun kualitas.
Wallâhu A`lam bis Showâb
*Dosen FEBI UIN Sunan Kalijaga & MPK-PPA