Surakarta, Suara ‘Aisyiyah – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menggelar Silaturahmi dan Halal Bihalal Keluarga Besar UMS pada Rabu (11/5). Kegiatan ini digelar secara luring di Edutorium KH. Ahmad Dahlan UMS.
Mengawali kegiatan, Kepala Perpustakaan UMS, Mustofa menyampaikan Ikrar Halal Bi Halal yang kemudian diterima oleh Sofyan Anif selaku Rektor UMS. Dalam kesempatan tersebut, Anif menegaskan bahwa dalam beberapa waktu terakhir, UMS telah melakukan langkah-langkah strategis guna meraih predikat sebagai World Class University.
Sementara itu, Dahlan Rais selaku Kepala BPH UMS mewakili seluruh pimpinan BPH menyampaikan permohonan maaf atas segala salah dan khilaf. Menurutnya, dalam halal bi halal umat Islam menjalankan dua perintah Allah sekaligus, yakni silaturahmi dan saling memaafkan.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa Islam yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah Islam yang berkemajuan. “Agama Islam itu sesungguhnya membawa kemajuan. Agama Islam itu bila dipahami dan diamalkan dengan benar akan membawa masyarakat ke arah masyarakat yang unggul, berbudaya tinggi, dan berperadaban yang melebihi peradaban lainnya,” terang Dahlan.
Islam, kata dia, dengan tegas melawan ketidakadilan, kebodohan, keterbelakangan, dan sebagainya. Dan itulah misi Muhammadiyah yang semestinya dipegang oleh UMS sebagai bagian dari gerakan Muhammadiyah.
Baca Juga: Implementasi Nilai Filantropi Pasca Ramadhan
Hadir selaku narasumber dalam kegiatan halal bi halal ini Ketua PWM Jawa Tengah, Tafsir. Ia mengatakan, di dalam PHIWM (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah), seorang muslim yang baik tidak hanya yang kuat akidahnya, baik akhlaknya, tapi juga punya kemampuan memahami al-Quran dan hadits secara bayani, burhani, dan irfani. “Memahami al-Quran dan hadits secara bayani, burhani, dan irfani itu sebenarnya adalah bahwa Muhammadiyah kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah tidak secara mekanistik-semantik, tetapi secara interpretatif”.
Metode pemahaman yang seperti itu, kata Tafsir, dapat diamati dalam pandangan Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan. Dengan metode itu pula Muhammadiyah tidak menganggap bid’ah tradisi halal bi halal, meskipun istilah tersebut tidak ada di dalam hadits.
Halal bi halal, menurut Tafsir, adalah tradisi untuk menjaga stabilitas sosial dan kerukunan masyarakat. Adapun alasan di balik pelaksanaannya di bulan Syawal besar kemungkinan adalah untuk melengkapi “kebersihan diri” seorang muslim. Di bulan Ramadhan, umat Islam telah melakukan bersih diri secara vertikal. Upaya melakukan bersih diri ini tidak lengkap jika tidak dilakukan secara horizontal, yakni dengan saling memaafkan antarsesama. (sb)