Liputan

Gerakan Filantropi Persyarikatan: Progresif hingga Inklusif

filantropi

Filantropi diakui berkontribusi dan memiliki potensi besar dalam mengatasi problem kemiskinan. Dalam praktiknya, gerakan filantropi yang sarat dengan misi kemanusiaan ini ternyata memiliki peran strategis dalam pengembangan dakwah yang bersifat inklusif.

Untuk mengetahui lebih lanjut terkait dengan potensi filantropi Islam dan perannya dalam dakwah inklusif, berikut hasil wawancara wartawan Suara ‘Aisyiyah dengan Hilman Latief.

Bagaimana sejarah filantropi Muhammadiyah‘Aisyiyah?

Jika bicara filantropi Muhammadiyah, sejarahnya ada pada sejarah Muhammadiyah awal. Langkah-langkah yang dilakukan Kiai Dahlan dalam mengorganisir muridnya maupun Muhammadiyah untuk membantu kelompok miskin, membuat sekolah, dan lainnya. Banyak yang dilakukan, tetapi yang menarik adalah Kiai Dahlan melakukan pembaruan, yaitu mengubah arah kiblat dan mengelola zakat.

Zakat-zakat itu diberikan pada para penerima manfaat yang sesuai al-Quran, yaitu delapan asnaf. Jadi upayanya sudah dilihat dari Kiai Dahlan yang ingin menerjemahkan dan mengimplementasikan praktik pelaksanaan zakat sesuai dengan al-Quran.

Kedua, praktik filantropi terinspirasi dari refleksi Kiai Dahlan dari surat al-Maun. Gagasan filantropi itu hadir dari sana, dan yang menarik adalah kemampuan Kiai Dahlan mengorganisir anak-anak muda pada saat itu bahkan sebelum Muhammadiyah berdiri. Artinya gerakan filantropi yang dilakukan Kiai Dahlan betul-betul dimunculkan nuansa kolektifnya.

Kiai Dahlan tidak semata-mata berbuat baik, tetapi mengajak orang bersama-sama untuk berbuat baik. Ada solidaritas kebersamaan dan kohesi yang dibangun secara bersama-sama untuk melakukan gerakan kebaikan. Baru setelah itu Muhammadiyah berdiri dan sudah biasa melakukan kegiatan-kegiatan yang berbasis kolektif.

Bagaimana potensi dan kesadaran Muzakki di lingkungan persyarikatan sejauh ini?

Lazismu sedang melakukan survei terkait dengan potensi ini, yang jelas potensinya besar, simpatisannya banyak, amal usahanya banyak juga. Potensi zakatnya juga besar. Hanya saja, semua potensi itu perlu dikonsolidasi.

Jangan sampai ada pimpinan yang pengelolaan zakatnya di suatu wilayah itu tidak benar namun pimpinannya diam saja. Jadi potensi besar itu harus diikuti juga dengan kebijakan yang kuat. Misalnya, banyak yang butuh bantuan, guru honorer perlu didukung, tetapi membuat lembaga zakat saja tidak mau, nah tidak bisa begitu. Hal ini harus berwujud aksi yang dimulai dari pimpinan setempat.

Apa sebenarnya visi filantropi Muhammadiyah?

Visi filantropi Muhammadiyah itu bagaimana sebetulnya Muhammadiyah memiliki kekuatan kolektif yang terjaga yang dapat memberikan dampak lebih besar kepada masyarakat. Selain itu, dapat melakukan gerakan secara sistematis kemudian juga semangat taawunnya yang kuat.

Bagaimana Muhamadiyah memaknai filantropi progresif? Mengapa Muhammadiyah menggagasnya? Apa yang membedakan dengan yang lain?

Gerakan filantropi harus memiliki pandangan yang lebih progresif dan lebih maju. Kita berbicara tentang kemiskinan, kesenjangan, kita juga bicara tentang ketidakadilan, ketiadaan peluang, dan sebagainya. Tentu saja membutuhkan perspektif yang lebih kuat dan sistematis.

Misalnya soal kemiskinan, kalau orang bicara tentang satu dua orang miskin membutuhkan bantuan, dia dapat memperoleh banyak bantuan. Tetapi kalau Anda berikan data statistik bahwa ada sekian juta orang yang tidak dapat memperoleh gizi yang layak dan kemudian ada ratusan orang yang tidak bisa makan, seberapa besarkah itu dapat berpengaruh?

Maka apakah kita memberikan bantuan hanya karena kasihan dengan satu dua orang saja atau kita ingin mengubah sesuatu yang dapat berdampak pada orang lain, karena itu Muhammadiyah bicaranya tentang sekolah. Kalau bicara tentang sekolah, seberapa besar dampak sekolah Muhammadiyah terhadap pencerdasan bangsa? Dampaknya kuat sekali.

Baca Juga: Jejak Emas Filantropi Muhammadiyah-Aisyiyah

Sekolah-sekolah Muhammadiyah-‘Aisyiyah yang disayang tetapi juga dibenci, suka diledekin karena mutu dan fasilitasnya yang terbatas tetapi kita tidak pernah menghitung berapa yang dapat lulus dari situ dan mereka sekarang jadi apa.

Oleh karena itu, filantropi yang kita bangun bukan semata-mata melihat bahwa kita harus membagi sembako, betul iya itu penting, tetapi pendidikan itu juga menjadi bagian bagaimana Muhammadiyah mengambil aspek-aspek itu.

Progresif pun harus dapat berpikir lebih sistemik karena masalah saat ini lebih kompleks, maka diperlukan paradigma dan cara pandang yang lebih kuat tentang praktik filantropi. Misalnya, masalah kemiskinan, kurang gizi dapat diatasi dengan program ketahanan pangan, kesehatan, termasuk aspek gender, bagaimana cara memberdayakan perempuan.

Bagaimana gerakan filantropi Islam di Muhammadiyah punya satu lompatan. Cara kita berbicara jika berhadapan dengan kelompok miskin dan mendekati masalah tentang kemiskinan. Kita tidak dapat mengelola dengan cara pandang lama, tetapi harus punya cara pandang baru yang adaptif. Kalau tidak mengubah cara pandang kita, gerakan filantropi akan ketinggalan juga tidak berdampak.

Di tengah problem kemiskinan yang kompleks, apa strategi  filantropi Muhammadiyah? Bagaimana mengubah pendekatan karitatif yang masih dominan?

Di Muhammadiyah secara umum dan Lazismu secara khusus, ada beberapa strategi yang dipakai. Pertama, pendekatan karitatif karena tidak semua orang dapat diberdayakan contohnya lansia. Tetapi mungkin juga betul, bahwa saat ini kita harus memiliki kekuatan untuk program pengentasan kemiskinan.

Pemberdayaan ekonomi mau kemana? potensinya mau kemana? kelompok petani mau diberdayakan bagaimana? dan mau apa sih? untuk hal itu memang kita belum punya pengalaman, yang luar biasa berbeda dengan pendidikan dan kesehatan yang kita sudah kuasai sejak lama.

Seperti masuk ke level yang baru, sepertinya kita belum bersiap, tidak hanya kita tetapi hampir semua entitas banyak yang tidak siap di dunia ini. Kira-kira memang harus banyak transformasi, Muhammadiyah‘Aisyiyah pun masih harus banyak belajar juga.

Melihat daya jangkau penerima manfaat filantropi yang cukup luas, Lazismu berpotensi dalam pengembangan dakwah inklusif. Bagaimana Lazismu memaknai dakwah inklusif? Apa peluang gerakan filantropi dalam konteks dakwah inklusif?

Pertama, inklusif dapat dimaknai dengan hal yang kita upayakan dan upaya itu dapat dinikmati dan dapat dirasakan oleh banyak pihak. Banyak pihak itu siapa? Kalau di Muhammadiyah itu kan banyak dikenal sebagai dakwahnya kelas menengah ke atas, orang-orang berpendidikan dan perkotaan. Kalau kita berbicara dakwah inklusif, berarti dakwah Muhammadiyah itu juga harus bisa menyentuh kelompok-kelompok kecil, komunitas pinggiran.

Bagaimana rumusan dakwah inklusif? Rumusan dakwah inklusif itu yang akan berujung pada filantropi inklusif, seperti misalnya lansianya harus diperhatikan, kelompok anak-anak terlantar harus diperhatikan. Gagasan kita untuk masyarakat di pedesaan bagaimana, ilustrasinya seperti inklusi finansial.

Maka kemudian inklusif dalam dakwah itu harus menyentuh banyak pihak. Narasi yang dibangun persyarikatan saat ini mungkin cenderung diterima masyarakat kalangan menengah ke atas, berkemajuan, peradaban maju, tetapi kita jangan lupa pembahasaan terhadap kelompok yang lain harus tetap dilakukan. Maka dari itu Muhammadiyah memiliki kelompok untuk dakwah komunitas. Ini saya kira yang harus banyak kita belajar.

Kedua, inklusif dalam pengertian bahwa masyarakat Indonesia itu luas, multikultural, dan sangat plural. Lalu dakwah kita bagaimana? Bahasa yang digunakan dalam berdakwah bagaimana? Dakwah yang dapat mendorong umat beragama untuk lebih produktif. Karena itulah inklusif dalam pengertian sebagaimana hubungan dakwah dapat dilakukan dengan narasi yang baik untuk menjaga kerukunan umat beragama.

Dakwah inklusif juga bisa dilihat dari perspektif gender, apakah perempuan itu domainnya perempuan saja atau ‘Aisyiyah saja? Muhammadiyah menempatkan perempuan seperti apa, itu harus juga dirumuskan dengan baik.

Apakah filantropi Muhammadiyah telah melakukannya? Seberapa siap Lazismu di berbagai tingkatan melakukan dakwah inklusif melalui filantropi? Apa tantangannya?

Saya kira sudah ya, walaupun memang situasinya kan tidak mudah dan berbeda tantangan di setiap tempat. Contohnya saja dakwah Islam di Papua, Muhammadiyah sudah banyak melakukan di sana. Tetapi memang kita harus punya kesepahaman yang sama yang dapat dilakukan oleh para pimpinan kita.

Gesekan kepentingan ada tetapi relatif banyak dialog yang dilakukan. Mendorong orang melakukan ibadah dan mengajak kebaikan. Oleh karena itu, Muhammadiyah juga harus mengambil peran untuk membangun relasi antar komunitas, organisasi, atau umat agama lain. Pada akhirnya bukan hanya Muhammadiyah saja yang bertanggung jawab, karena bukan tanggung jawab satu kelompok saja tetapi menjadi tanggung jawab bersama.

Gerakan filantropi mencakup berbagai aspek, mulai dari kemiskinan hingga kesehatan maupun pendidikan. Lantas, apa peran filantropi bagi ketercapaian Sustainable Development Goals (SDGs)?

SDGs itu kan salah satu standar yang dibangun oleh masyarakat internasional, ada sekitar 17 tujuan, seperti kesehatan, kemiskinan, kelaparan, pendidikan dan lainnya. Nah, filantropi di mana? Lembaga filantropi perannya memberi bantuan untuk mencapai nilai-nilai SDGs itu, misal memberi makan, gizi, jaminan kesehatan, pendidikan.

Lazismu sudah merumuskan itu di dalam rencana strateginya. Di Muhammadiyah sendiri sudah banyak hal yang dilakukan tetapi dampaknya belum pernah diukur termasuk ribuan sekolah yang dimiliki. Inilah pekerjaan rumah Muhammadiyah, makanya berorganisasi ini harus dipercanggih juga.

Apa peran strategis ‘Aisyiyah dalam gerakan filantropi progresif persyarikatan?

‘Aisyiyah itu kan organisasi perempuan yang luar biasa sama dengan Muhammadiyah, hanya secara narasi punya kekhususan. Saya kira banyak hal yang luar biasa tetapi lagi-lagi kecanggihan wacana dan aksi-aksinya mau diterjemahkan bagaimana lagi? Bagaimana ‘Aisyiyah bisa menyisir bukan hanya lansia, bagaimana khazanah keluarga dan perempuan itu dapat diterjemahkan banyak kalangan.

‘Aisyiyah sudah banyak berperan tetapi perlu diluaskan lagi, memperkuat perempuan di bidang ekonomi sehingga perlu memperkuat sektor keuangan. ‘Aisyiyah penting untuk memegang pengelolaan sektor-sektor keuangan, bagaimana pengelolaan itu dapat dilakukan secara baik.

Saya berharap program yang telah dilakukan saat ini punya modifikasi program yang lebih kuat dengan ‘Aisyiyah. Kerja sama dengan pihak-pihak luar negeri itu juga perlu dikuat. Dengan potensi itu saya kira dapat dikembangkan ke depannya arahnya ke mana, upaya ‘Aisyiyah untuk memperkuat isu perempuan tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia. (Syifa)

Related posts
Berita

Refleksi Akhir Tahun 2023, Lazismu Akan Perkuat Peran Penanggulangan Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia

Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Di Indonesia, angka kemiskinan masih relatif tinggi. Tidak heran jika pengentasan kemiskinan menjadi salah satu prioritas pembangunan Indonesia…
Berita

Bank Mega Syariah Berikan Beasiswa Senilai 500 Juta Rupiah melalui Lazismu

Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Sebagai salah satu bentuk pelaksanaan program pilar pendidikan, Lazismu PP Muhammadiyah menyelenggarakan kegiatan penyerahan beasiswa kepada para penerima…
Berita

Peduli Difabel, MKS PP Aisyiyah dan Lazismu Selenggarakan Pelatihan Bahasa Isyarat

Pasuruan, Suara ‘Aisyiyah – Majelis Kesejahteraan Sosial (MKS) Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Jawa Timur dipercaya oleh PP ‘Aisyiyah dan Lazismu pusat menggelar…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *