Oleh: Hilma Fanniar Rohman
Dalam sejarah pergerakan perempuan Indonesia, ‘Aisyiyah berdiri sebagai tonggak penting yang menggabungkan keimanan, ilmu pengetahuan, dan pengabdian sosial. Sejak didirikan pada 1917, ‘Aisyiyah tidak hanya bergerak di bidang pendidikan dan dakwah, tetapi juga menanam fondasi bagi pemberdayaan sosial dan ekonomi perempuan berbasis nilai-nilai Islam.
Kini, di tengah dinamika zaman yang cepat berubah ditandai oleh krisis ekonomi, ketimpangan sosial, dan disrupsi teknologi gerakan perempuan Islam dituntut melakukan lompatan. Dari mengelola amal usaha sebagai instrumen pelayanan sosial, menuju gerakan ekonomi yang lebih partisipatif, berkeadilan, dan berbasis kolektifitas.
Dari Amal Usaha ke Basis Ekonomi Umat
Amal usaha yang dikembangkan oleh ‘Aisyiyah telah menjadi tulang punggung gerakan sosial Islam perempuan di Indonesia. Lembaga pendidikan, layanan kesehatan, panti asuhan, hingga koperasi dan usaha mikro yang dikelola oleh kader-kader perempuan Muslim mencerminkan profesionalitas yang jarang ditemukan di organisasi berbasis keagamaan lainnya. Namun, dalam konteks sosial-ekonomi saat ini, pendekatan institusional tersebut perlu ditransformasikan ke dalam bentuk yang lebih luas dan mendalam: pemberdayaan ekonomi komunitas di akar rumput.
Kemandirian ekonomi tidak bisa hanya bertumpu pada kekuatan kelembagaan. Ia harus menjangkau keluarga-keluarga, terutama perempuan yang berada di lapisan sosial terbawah. Melalui pelatihan keterampilan, pendampingan usaha, penguatan literasi keuangan, dan akses permodalan berbasis syariah, ‘Aisyiyah dapat mendorong terciptanya komunitas-komunitas ekonomi lokal yang resilien dan mandiri.
Langkah ini penting karena ketergantungan pada program filantropi atau lembaga saja tidak cukup menjawab kebutuhan zaman. Gerakan ekonomi yang lahir dari bawah dari komunitas dan keluargaakan menciptakan daya tahan ekonomi yang lebih kuat, terutama dalam menghadapi krisis global.
Ekonomi sebagai Dakwah dan Pembebasan
Salah satu kekhasan gerakan perempuan Islam adalah keterpaduan antara spiritualitas dan aktivisme sosial. Dalam pandangan Islam, ekonomi bukan hanya persoalan duniawi, tetapi juga bagian dari tanggung jawab moral. Surah Al-Ma’un menjadi rujukan penting bagi ‘Aisyiyah dalam membumikan ajaran Islam dalam bentuk yang nyata: memberi makan orang miskin, memperhatikan anak yatim, dan tidak bersikap individualistik.
Konsep ini bisa dikembangkan dalam konteks ekonomi modern. Dakwah tidak lagi hanya berkutat pada ceramah dan pengajian, tetapi juga hadir dalam bentuk koperasi syariah, pelatihan usaha, pasar komunitas, dan inisiatif digital yang menghubungkan pelaku usaha perempuan dengan pasar yang lebih luas. Ini adalah bentuk dakwah yang membebaskan membebaskan perempuan dari kemiskinan, keterbatasan akses, dan ketimpangan informasi.
Baca Juga: Majelis Tarjih Muhammadiyah Dukung Skema Murur bagi Jamaah Haji Lansia
Melalui pendekatan ini, dakwah menjadi lebih membumi, lebih konkret, dan lebih kontekstual. ‘Aisyiyah tidak hanya mengajak umat untuk beriman, tetapi juga menunjukkan bahwa iman itu bisa diterjemahkan dalam bentuk keberdayaan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Peluang Digital dan Tantangan Inklusifitas
Kehadiran teknologi digital telah membuka ruang baru bagi perempuan Muslim untuk ikut ambil bagian dalam aktivitas ekonomi. Marketplace halal, platform edukasi daring, dan aplikasi keuangan syariah memberi peluang besar untuk memperluas jaringan dan mempercepat akses pasar.
Namun, tidak semua perempuan memiliki kemampuan atau kesempatan yang sama untuk memanfaatkan peluang ini. Kesenjangan literasi digital, keterbatasan infrastruktur, dan rendahnya akses terhadap modal masih menjadi hambatan serius, terutama di wilayah-wilayah terpencil.
Dalam konteks ini, ‘Aisyiyah memiliki posisi strategis sebagai organisasi akar rumput dengan jaringan nasional. Melalui majelis ekonomi, lembaga pendidikan, dan kader-kader yang tersebar di seluruh Indonesia, ‘Aisyiyah dapat memainkan peran sebagai penghubung menjembatani perempuan Muslim dengan dunia digital, sembari memastikan bahwa transformasi ekonomi tidak mengabaikan nilai, etika, dan keadilan sosial.
Kolektivitas sebagai Strategi Keberlanjutan
Kemandirian ekonomi yang berkelanjutan tidak cukup dibangun secara individual. Islam mengajarkan prinsip berjamaah, gotong-royong, dan musyawarah sebagai fondasi kehidupan sosial yang sehat. Dalam kerangka ini, gerakan ekonomi berbasis komunitas menjadi alternatif yang menjanjikan.
Koperasi perempuan, komunitas tani, jaringan produsen rumah tangga, dan pasar komunitas bisa menjadi instrumen strategis dalam membangun kemandirian ekonomi berbasis nilai. Model ini tidak hanya memungkinkan efisiensi usaha, tetapi juga menumbuhkan solidaritas, rasa kepemilikan bersama, dan kontrol sosial terhadap praktik usaha yang adil.
‘Aisyiyah, dengan jejaring kelembagaan dan pengalaman panjang dalam pemberdayaan sosial, bisa menjadi motor penggerak utama dalam membangun ekosistem ekonomi berbasis nilai Islam yang partisipatif dan berkeadilan gender.
Mewujudkan Ekonomi Rahmatan lil ‘Alamin
Gerakan ekonomi yang digerakkan oleh perempuan Islam bukan sekadar upaya untuk menopang pendapatan rumah tangga, tetapi juga bentuk nyata dari cita-cita Islam sebagai rahmat bagi semesta. Dalam konteks ini, ‘Aisyiyah memiliki warisan ideologis yang kuat: memadukan spiritualitas, ilmu pengetahuan, dan aktivisme sosial dalam satu kesatuan gerakan.
Transformasi ekonomi yang adil, inklusif, dan berkelanjutan adalah bagian dari misi besar tersebut. Dengan memperluas akses, memperkuat kapasitas, dan membangun kolektivitas, gerakan perempuan Islam dapat menjadi pelaku utama dalam membangun tatanan ekonomi baru—ekonomi yang menolak eksklusi, mengejar keadilan, dan berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
*Penulis adalah Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan, Peniliti ICONS
2 Comments